Kamis, 25 Juni 2009

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat
mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu. “Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.”Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”

Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang
untuk membeli mainan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu
memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.
Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu
kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya
datang. “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. “Aku tak punya
waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” Duh, maaf
aku pun tak memiliki rumah.

Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata
pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon
apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat
anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon
apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya.”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata
pohon apel.”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup
tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah
kapal untuk pesiar?”

“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan
bersenang-senanglah.”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal
yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui
pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “Maaf
anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi
untukmu.” “Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah
apelmu,” jawab anak lelaki itu.

“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon
apel.”Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.”Aku
benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang
tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon
apel itu sambil menitikkan air mata.

“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu.” “Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar
pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari,
marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

NOTE :
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika
kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita
akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk
membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah
bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita
memperlakukan orang tua kita.

Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita.

Selasa, 23 Juni 2009

Guru Sejati

"Kitorang di sini butuh guru, bukan burung!" Demikian lelucon atau mop yang populer di masyarakat Merauke, Papua, untuk mengolok-olok guru yang sering kabur dari sekolah dan kelayapan ke bar atau klub malam yang menjamur di kota. Kisah guru yang kabur dan membiarkan murid tanpa guru adalah gambaran lumrah di pedalaman Merauke.

Ketika guru lain memilih kabur, Frederick Sitaung (35) tetap bertahan menjadi satu-satunya guru di Kampung Poepe, Desa Welputi, Kabupaten Merauke, Papua. Pernah didera kelaparan sepekan, nyaris dipanah orangtua murid, hingga gaji terlambat datang berbulan-bulan, tak membuatnya goyah.

"Saya akan tetap menjadi guru di Poepe sampai dipindahkan atau pensiun," kata Frederick yang ditemui di sekolah tempatnya mengajar pada pertengahan Agustus lalu.

Tekad Frederick tak bisa dianggap sembarangan, mengingat Poepe terletak jauh di pedalaman. Untuk mencapai kampung ini, kita harus naik sepeda motor dari Merauke ke Distrik Okaba selama tujuh jam. Dua kali sepeda motor mesti dinaikkan perahu untuk menyeberang Sungai Kumbe dan Sungai Bian. Dari Okaba, perjalanan dilanjutkan menggunakan sepeda motor selama tiga jam, di tambah dua jam mendayung.

Frederick Sitaung lahir dan besar di Rante Pau, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Setamat Sekolah Pendidikan Guru Rante Pau tahun 1992, ia merantau ke Merauke menjadi guru. Pada tahun itu pula dia diterima sebagai calon pegawai negeri sipil, dengan tugas pertama mengajar di pedalaman Poepe, Distrik Okaba.

Sejak saat itu Frederick belum pernah pindah tugas mengajar ke tempat lain. Padahal, kebanyakan guru yang mengajar di Poepe tak bertahan lama, rata-rata bertahan satu atau dua tahun. Sudah tujuh guru yang meminta pindah tugas dari Poepe selama 15 tahun Frederick di sini.

Bisa dikatakan, hanya Frederick dan seniornya, Papalangi (65), yang bertahan di Poepe. Berdua, mereka menjadi guru "tetap". Juli 2007, Papalangi pensiun setelah mengajar 24 tahun. Dengan demikian, Frederick kini satu-satunya guru sekaligus kepala sekolah. Ia mengajar 51 murid kelas satu hingga enam.

Tugas berat

Menjadi guru di pedalaman tak mudah. Frederick harus gigih mencari murid ke hutan setiap tahun ajaran baru. "Setelah liburan, anak-anak banyak yang tak kembali, mereka asyik di hutan. Murid baru juga harus dicari, kami harus pintar memberi pengertian kepada orangtua agar menyekolahkan anaknya," tutur Frederick yang belum pernah pulang ke Rante Pau sejak bertugas di Poepe.

Saat ujian setiap tahun juga pekerjaan berat. Frederick harus mengantar murid ke Desa Welputi yang ditempuh dengan mendayung selama dua hari. "Kami bawa bekal dan gantian mendayung dengan anak-anak. Kami tidur di pinggir sungai yang banyak nyamuk dan buaya. Jadi, harus gantian berjaga," tuturrnya.

Mengajar di kelas juga bukan pekerjaan mudah karena seringnya siswa membolos. "Mereka bisa menghilang sampai dua bulan, jadi harus mengulang kembali pelajaran. Namun, kalau tidak naik kelas, orangtua bisa marah," katanya.

Banyak juga siswa yang pingsan di kelas. Mereka kelaparan karena ditinggal orangtua ke hutan tanpa bekal makanan. Frederick pun pernah terancam mati kelaparan.

Saat itu musim hujan tahun 1993. Daratan di Poepe menyempit karena telah berubah menjadi rawa-rawa. Semua orangtua pergi berburu ke hutan. Di kampung hanya ada Frederick, Papalangi, dan 20-an murid.

"Sudah setengah bulan para orangtua pergi," tuturnya. Beras jatah untuk guru—dia dan Papalangi—habis karena dibagi dengan para murid. Sementara bantuan dari kota kecamatan tak bisa diharapkan. "Waktu itu, untuk mencapai Poepe, perlu waktu dua pekan karena harus mendayung, menyusuri Sungai Buraka dari Okaba," kisahnya.

Alhasil, Frederick dan Papalangi hanya memakan daun-daunan dan ikan yang berhasil ditangkap di rawa-rawa. "Untunglah sepekan kemudian para orangtua datang membawa hasil buruan dan sagu," ujarnya.

Selain kerap terancam kelaparan, Sitaung kenyang berbagai pengalaman, mulai dari belajar berburu buaya dan rusa untuk bertahan hidup, ditantang berkelahi oleh murid, hingga nyaris dipanah orangtua murid.

Suatu ketika ia menemukan sepasang murid berbuat asusila pada jam istirahat. Ia menghukum mereka dan minta orangtuanya datang ke sekolah. Ketika datang, orangtua mereka justru marah dengan panah siap dilepas. Menurut mereka, guru tak berhak menghukum anaknya. Namun, mereka bisa diberi pengertian.

"Terkadang saya tak menyalahkan sepenuhnya teman guru yang kabur dari tanggung jawab mengajar di pedalaman. Perhatian pemerintah memang minim, beras, juga pengawas sekolah jarang yang datang," ungkapnya.

Guru sejati

Tak hanya mengajar anak-anak di sekolah, Frederick telah menjadi "guru" bagi masyarakat Poepe. Selama dua tahun terakhir ia merangkap sebagai pendeta sebab satu-satunya pendeta yang bertugas di sana tak pernah datang lagi. Gereja di Poepe juga dibangun atas prakarsa dia.

Berkali-kali ia membantu menyelesaikan konflik antarwarga, terkadang menjadi dokter saat bidan satu-satunya di kampung pergi ke kota. "Sebelum pergi, bidan biasa menitipkan obat-obatan kepada saya. Jadi, kalau ada warga sakit, saya yang obati," katanya.

Mulai Juli 2007, satu-satunya bidan di Poepe, Andriana Wetino (32), juga dipindah ke kota sehingga di kampung itu tak ada tenaga medis. Tugas Frederick pun tambah berat.

Sungguhpun telah bekerja keras, pengabdian Frederick masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah setempat. Untuk mengajukan sepeda motor dinas, guna mengganti sepeda motor miliknya yang sudah hancur, ia harus membuat proposal hingga tujuh kali. Terakhir, Frederick harus datang ke Merauke dan bersitegang dengan ajudan pejabat terkait sebelum diberi jatah sepeda motor.

Di tengah tugas beratnya, Frederick masih dibebani kewajiban menjaga istri, Agustina Somolangi (34), yang terserang sakit ginjal. Belum lagi, salah satu anaknya harus kos di Okaba untuk melanjutkan sekolah menengah pertama. Frederick "ngos-ngosan" membiayai beban hidup keluarga dengan gaji plus tunjangan Rp 1,8 juta. "Ini pilihan hidup saya, apa pun harus dihadapi," ucapnya.

Penghargaan dan pengakuan datang dari masyarakat. Itu pula yang makin menguatkan tekad dia. Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind-anim Distrik Okaba, Frederickus Mahuze, mengatakan, Frederick sangat berjasa bagi masyarakat Marind.

"Banyak guru-guru asli Marind yang tak tahan, tetapi Guru Frederick yang asalnya jauh di Sulawesi justru 15 tahun mengabdi. Dia telah berbuat banyak bagi masa depan anak-anak Poepe. Sayang, tak banyak guru seperti dia," kata Frederickus.

Di Balik Kesuksesan Google

Dalam daftar orang terkaya di Amerika baru-baru ini, terselip dua nama yang cukup fenomenal. Masih muda, usianya baru di awal 30-an, namun kekayaannya mencapai miliaran dolar. Nama kedua orang itu adalah Larry Page dan Sergey Brin. Mereka adalah pendiri Google, situs pencari data di internet paling terkenal saat ini.

Terlepas dari jumlah kekayaan mereka, ada beberapa hal yang perlu dicontoh dari kisah sukses mereka. Satu hal yang pertama, yang disebut Sergey Brin, yang kini menjabat sebagai Presiden Teknologi Google, yakni tentang kekuatan kesederhanaan. Menurutnya,
simplicity web adalah hal yang disukai penjelajah internet. Dan, Google berhasil karena menggunakan filosofi tersebut, menghadirkan web yang bukan saja mudah untuk mencari informasi, namun juga menyenangkan orang.

Kunci sukses kedua adalah integritas mereka dalam mewujudkan impiannya. Mereka rela drop out dari program doktor mereka di Stanford University untuk mengembangkan google. Mereka pun pada awalnya tidak mencari keuntungan dari proyek tersebut. Malah, kedua orang itu berangkat dari sebuah ide sederhana. Yakni, bagaimana membantu banyak orang untuk mempermudah mencari sumber informasi dan data di dunia maya. Mereka sangat yakin, ide mereka akan sangat berguna bagi banyak orang untuk mempermudah mencari data apa saja di internet.

Kunci sukses lainnya yaitu mereka tidak melupakan jasa orang-orang yang mendukung kesuksesan mereka. Larry dan Sergey sangat memerhatikan kesejahteraan SDM di Google. Kantornya yang diberi nama Googleplex dinobatkan sebagai tempat bekerja terbaik di Amerika tahun 2007 oleh majalah Fortune. Di sana suasananya sangat kekeluargaan, ada makanan gratis tiga kali sehari, ada tempat perawatan bagi bayi ibu muda, bahkan sampai kursi pijat elektronik pun tersedia. Mereka sadar, di balik sukses inovasi yang dilakukan Google, ada banyak doktor matematika dan lulusan terbaik dari berbagai universitas yang membantu mereka.

Larry dan Sergey memang tak pernah menduga Google akan sesukses sekarang. Kedua orang yang terlahir dari keluarga ilmuwan – ayah Sergey adalah doktor matematika, sedangkan Larry adalah putra almarhum doktor pertama komputer di Amerika – ini memang hanya berangkat dari sebuah masalah sederhana. Mereka berusaha memecahkan masalah tersebut, dan berbagi dengan orang lain. Namun, justru dengan kesederhanaan dan integritas mereka, mampu membuat Google saat ini menjadi mesin pencari terdepan, dikunjungi lebih dari 300 juta orang perhari. Diterjemahkan dalam 88 bahasa dengan nilai saham mencapai lebih dari 500 dolar AS per lembar, membuat sebuah kesederhanaan menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa.

Sebuah niat mulia, meski sesederhana apapun, jika dilandasi kerja keras dan integritas yang tinggi, akan menghasilkan sesuatu yang istimewa. Hal tersebut nampak dari contoh kisah sukses Larry Page dan Sergey Brin di atas. Google yang mereka dirikan terbukti telah membantu banyak orang untuk bisa mendapatkan apa saja dari internet. Dan kini, mereka pun mendapatkan imbalan yang bahkan tak diduga mereka sebelumnya. Kesuksesan sejati memang akan terasa saat kita bisa berbagi. Dan, Larry serta Sergey membuktikannya sendiri.

Belajar Dari Starbucks

Apa yang akan Anda lakukan jika ide Anda ditolak dan dilecehkan-bahkan dianggap gila-oleh 217 orang dari 242 yang diajak bicara? Menyerah? Atau malah makin bergairah? Jika pilihan terakhir ini yang Anda lakukan, barangkali suatu saat, sebuah impian membuat bisnis kelas dunia bisa jadi milik Anda. Yah, itulah kisah nyata yang dialami oleh Howard Schultz, orang yang dianggap paling berjasa dalam membesarkan kedai kopi Starbucks. "Secangkir kopi satu setengah dolar? Gila! Siapa yang mau? Ya ampun, apakah Anda kira ini akan berhasil? Orang-orang Amerika tidak akan pernah mengeluarkan satu setengah dolar untuk kopi," itulah sedikit dari sekian banyak cacian yang diterima Howard, saat menelurkan ide untuk mengubah konsep penjualan Starbucks.

Dalam buku otobiografinya yang ditulis bersama dengan Dori Jones Yang- Pour Your Heart Into It; Bagaimana Starbucks Membangun Sebuah Perusahaan Secangkir Demi Secangkir-Howard menceritakan bagaimana ia merintis "cangkir demi cangkir" dan menjadikan Starbucks sebagai kedai kopi dengan jaringan terbesar di seluruh dunia.

Awalnya, Howard Schultz adalah seorang general manager di sebuah perusahaan bernama Hammarplast. Suatu kali, ia datang ke Starbucks yang pada awalnya hanyalah toko kecil pengecer biji-biji kopi yang sudah disangrai. Toko ini dimiliki oleh duo Jerry Baldwin dan Gordon Bowker sebagai pendiri awal Starbucks. Duo tersebut memang dikenal sangat getol mempelajari tentang kopi yang berkualitas. Melihat kegairahan mereka tentang kopi, Howard pun memutuskan bergabung dengan Starbucks, yang kala itu baru berusia 10 tahun. Ia pun segera bisa dekat dengan Jerry Baldwin. Sayang, hal itu kurang berlaku dengan Gordon Bowker dan Steve, seorang investor Starbucks baru. Meski begitu, Howard tetap berusaha beradaptasi dan mencoba mengenalkan berbagai ide pembaruan untuk membesarkan Starbucks.

Suatu ketika, Howard Schultz datang dengan ide cemerlang. Ia mendesak Jerry untuk mengubah Starbucks menjadi bar espresso dengan gaya Italia. Setelah perdebatan dan pertengkaran yang panjang, keduanya menemui jalan buntu. Jerry menolak karena meskipun idenya bagus, Starbucks sedang terjerumus dalam utang sehingga tidak akan mampu membiayai perubahan.

Howard pun lantas bertekad mendirikan perusahaan sendiri. Belajar dari Starbucks, ia tidak mau berutang dan memilih berjuang mencari investor. Dan, pilihan inilah yang kemudian membuatnya harus bekerja ekstra keras. Ditolak dan direndahkan menjadi bagian keseharian yang harus dihadapinya.

Tekad itu terwujud--dan bahkan--dengan uang yang terkumpul dari usahanya, ia berhasil membeli Starbucks dari pendirinya. Namun, kerja keras itu tak berhenti dengan terbelinya Starbucks. Saat terjadi akuisisi, ia mendapati banyak karyawan yang curiga dan memandang sinis perubahan yang dibawanya. Tetapi, dengan sistem kekeluargaan, ia merangkul karyawan dan bahkan memberikan opsi saham sehingga sense of belonging karyawan makin tinggi.

Kini, dibantu dengan CEO yang diperbantukannya, Orin C Smith, Howard berhasil mengembangkan Starbucks hingga puluhan ribu cabang di seluruh dunia. Ia juga menekankan layanan dengan keramahan pada konsumen, dan di sisi lain, memperlakukan karyawan sebagai keluarga. Dengan cara itu, Howard terus berekspansi hingga terus menjadi kedai kopi terbesar.


Howard Schultz adalah gambaran kegigihan seseorang dalam mewujudkan ide. Meski diremehkan pada awalnya, Howard tetap bertahan dan akhirnya membuktikan bahwa dengan tindakan nyata, semua ide bisa menjadi nyata. Kepedulian yang ditunjukkan dengan "memanusiakan" semua karyawannya juga telah membuatnya makin disegani sehingga mampu terus memperbesar usahanya.

Minggu, 14 Juni 2009

The Doctor - Valentino Rossi

Jika di Formula One kita mengenal Michael Schumacher sebagai sang legenda, maka di lomba balap motor pun ada jawaranya. Grand Prix Moto GP mencatat Valentino Rossi sebagai seorang master di balap motor ini.

Pria kelahiran Urbino, Italia, 16 Februari 1979 ini berhasil menorehkan tinta emas di dunia balap motor dengan membukukan tujuh gelar juara dunia, sekali di kelas 125 cc, sekali di kelas 250 cc, dan enam kali di kelas puncak 500 cc dan MotoGP. Bakat pria berusia 30 tahun ini sudah terlihat sejak kecil. Ketika anak-anak seusia asyik dengan mainannya, Rossi sudah bermain dengan motor balap sungguhan.

Mental juaranya sudah terasah sejak usia dini. Di usia sepuluh tahun, bahkan Rossi sudah menjuarai kejuaraan gokart regional dengan mengalahkan lawan-lawannya yang berusia jauh di atasnya. Pada usia baru menginjak 14 tahun, Rossi juga sudah menjadi juara balap nasional Italia di kelas 125 cc. Kemudian, pada tahun 1998 Rossi naik kelas di kategori 250 cc. Pada tahun pertama ia langsung menjadi runner-up. Perkembangan pesat hasil latihan kerasnya kemudian segera mengantarkan Rossi naik ke kelas internasional.

Ia pun menjajal MotoGP kelas 125 cc. Tak perlu menunggu lama, setahun berikut ia sudah naik podium sebagai juara dunia kelas 125 cc. Perkembangan karier Rossi melaju sangat pesat. Tahun 2000, penyuka tantangan ini menjajal kelas utama 500 cc. Prestasinya langsung menghebohkan publik dengan juara dunia kelas 500 cc di tahun kedua. Selama tiga tahun berturut-turut Rossi mempertahankan gelarnya di kelas utama bersama Honda.

Menurut Rossi kunci kemenangannya adalah ketenangan dan menjadi pemikir. "Di balap 500 cc kita tidak butuh superhero. Yang kita perlukan cuma tenang, kalem, dan pemikir seperti dokter,"ucapnya. Dengan ketenangan itulah, berkali-kali ia sering memperlihatkan aksi "akrobatik" saat hendak terjatuh atau saat menyalip lawan di tikungan. Pada akhir musin 2003, Rossi memutuskan untuk meninggalkan tim Honda dan bergabung dengan tim Yamaha, yang terakhir meraih juara dunia pada tahun 1992 melalui pembalapnya Wayne Rainey.

Awalnya, ia disangsikan bisa meneruskan kejayaannya saat masih di tim lama karena memang performa Yamaha dianggap masih sekelas di bawah Honda. Tapi, bukan Rossi namanya jika tak mampu menaklukkan tantangan. Ia membuktikanb bahwa mesin hanyalah alat, dan oranglah-yakni dirinya sebagai pembalap-yang menentukan menang dan kalah. Dan, ia pun membuktikan semua omongannya.

Tim Yamaha mampu diangkatnya ke pentas juara sehingga ia dijuluki The Doctor. Bersama tim Yamaha, Rossi berhasil membuktikan dirinya tetap menjadi yang terdepan dengan menjadi juara dunia tahun 2004, 2005, dan 2008. Rossi merupakan sosok yang menyukai tantangan. Kepindahannya ke Yamaha memberikan tantangan tersendiri baginya. Motivasi untuk mengatasi tantangan membuat Rossi selalu berjaya di setiap kelas dan tim yang digelutinya. Ia merupakan sosok yang dinamis yang tak pernah berhenti dan merasa puas dengan pencapaiannya.

Tantangan apapun yang ada di depannya pasti akan dikejarnya. Menyukai tantangan dan tidak patah semangat adalah kunci keberhasilan dari seorang Valentino Rossi. Ia mampu membuktikan dirinya sebagai yang terdepan di arena balap MotoGP. Tekad dan pemikiran yang matang membuat namanya semakin berkibar di dunia internasional. Kisah perjalanan Valentino Rossi yang layak diacungi jempol dan diteladani. Luar biasa!

Jumat, 12 Juni 2009

Steve Jobs dan Apple



Anda pasti mengenal produk Mac, iPod, dan yang terakhir iPhone. Ketiga produk itu adalah brand yang sangat terkenal dari perusahaan Apple Inc. Bahkan, Apple saat ini dianggap sebagai salah satu perusahaan paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi dunia. Lantas, apa sebenarnya kunci sukses dari Apple dalam menciptakan inovasi teknologi tersebut?


Adalah sosok Steve Jobs, sang pendiri Apple lah yang memiliki visi jauh ke depan sehingga membuat Apple menjadi perusahaan yang sangat disegani hingga kini. Namun, jika menengok kisah Steve, kita sebenarnya bisa melihat betapa ia adalah sosok pengagum kesederhanaan dan keindahan. Inilah dua kunci dasar - selain visinya ke depan - yang membuat Apple berhasil mematahkan dominasi Microsoftnya Bill Gates. Bagi Anda yang sudah akrab dengan beberapa produk Apple, pasti segera tahu betapa produk Apple sangat sederhana dan user friendly. Namun, meski sederhana, bentuknya sangat elegan. Inilah yang membuat Apple selalu punya penggemar fanatik.


Tentu, hal ini tak bisa lepas dari sentuhan tangan dingin sang pendiri, Steve Jobs.Steve Jobs lahir pada 24 Februari 1955 dari seorang ibu berkebangsaan Amerika, Joanne Carole Schieble, dan ayah berkebangsaan Syria, Abdulfattah "John" Jandali. Namun, saat dilahirkan, ia segera diadopsi oleh pasangan Paul dan Clara Jobs.


Sejak kecil, Jobs sudah menunjukkan ketertarikannya pada peranti elektronik. Bahkan, dia pernah menelepon William Hewlett - presiden Hewlett Packard - untuk meminta beberapa komponen elektronik untuk tugas sekolah. Hal itu justru membuatnya ditawari bekerja sambilan selama libur musim panas. Di Hewlett-Packard Company inilah ia bertemu dengan Steve Wozniak, yang jadi partnernya mendirikan Apple.IQ-nya yang tinggi membuat Steve ikut kelas percepatan. Tapi, ia sering diskors gara-gara tingkahnya yang nakal - meledakkan mercon hingga melepas ular di kelas.


Di usianya yang ke-17, ia kuliah di Reed College, Portland, Oregon. Namun, ia drop out setelah satu semester. Meski begitu, ia tetap mengikuti kelas kaligrafi di universitas tersebut. Hal itulah yang membuatnya sangat mencintai keindahan. Tahun 1974 ia kembali ke California. Ia bekerja di perusahaan game Atari bersama Steve Wozniak. Suatu ketika, Steve Jobs tertarik pada komputer desain Wozniak. Ia pun membujuk Wozniak untuk mendirikan perusahaan komputer. Dan, sejak itulah, tepatnya 1 April 1976, di usinya yang ke-21, Steve mendirikan Apple Computer.


Singkat cerita, kisah sukses segera menjadi bagian hidupnya bersama Apple.Namun, saat perusahaan itu berkembang, dewan direksi Apple justru memecat Steve karena dianggap terlalu ambisius. Sebuah pemecatan dari perusahaan yang didirikannya sendiri. Meski sempat merasa down, karena kecintaannya pada teknologi, ia pun segera bangkit. Steve mendirikan NeXT Computer. Tak lama, ia pun membeli perusahaan film animasi Pixar. Dari kedua perusahaan itulah namanya kembali berkibar. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada Apple. Perusahaan itu justru di ambang kebangkrutan.Saat itulah, Steve kembali ke Apple, hasil dari akuisisi Apple terhadap NeXT.


Banyak orang yang meramalkan Steve tak kan lagi mampu mengangkat Apple. Steve menanggapinya dengan dingin. "Saya yakin bahwa satu hal yang bisa membuat saya bertahan adalah bahwa saya mencintai apa yang saya lakukan. Kita harus mencari apa yang sebenarnya kita cintai. Dan adalah benar bahwa pekerjaan kita adalah kekasih kita. Pekerjaan kita akan mengisi sebagian besar hidup kita. Dan satu-satunya jalan untuk bisa mencapai kepuasan sejati adalah melakukan apa yang kita yakini," sebut Steve.


Kecintaan inilah yang mengantarkan Steve kembali mengorbitkan Apple ke jajaran elit produsen alat teknologi papan atas. iPod dan iPhone saat ini menjadi produk yang sangat laris di pasaran. Visinya ke depan juga membuat iTunes, sukses jadi toko musik digital paling sukses di dunia. Ia menjawab keraguan orang dengan kerja nyata dan hasil gemilang. Bentuk indah, elegan, sederhana, namun powerful, menjadi ciri khas produk Apple hingga saat ini.


Kecintaan kita pada apa yang kita lakukan akan menjadi jalan kita menuju kesuksesan. Hal itulah yang dibuktikan oleh sosok Steve Jobs. Bahkan, meski ia sempat terpuruk dan "diusir" dari perusahaannya sendiri, kecintaannya pada teknologi membuatnya kembali. Inilah bukti nyata bahwa jika kita mencintai pekerjaan kita dengan sepenuh hati, hasil yang dicapai pun akan jauh lebih maksimal.

Selasa, 09 Juni 2009

Namaku Kan Bukan Edie?

Di sebuah tempat pemangkasan rambut, seorang pria sedang dicukur rambutnya. Tiba-tiba masuklah seorang pria lain yang terlihat panik dan berteriak kebingungan, "Edie, rumahmu terbakar. Ayo cepat ...!!" Spontan pria yang sedang dicukur rambutnya tersebut bangkit dari tempat duduknya tanpa mempedulikan rambutnya yang belum selesai dicukur. Dia berlari bagaikan orang gila karena panik. Setelah berlari sepanjang kurang lebih 1 km, tiba-tiba dia berhenti. "Hey," dia berkata pada dirinya sendiri, "Buat apa aku berlari? Namaku khan bukan Edie!"

Menyetop Seorang Pembesar

Pada waktu Paus sedang mengunjungi kota New York, ia diajak berkeliling kota naik mobil dengan ditemani seorang sopir. Karena si sopir ingin memberikan service terbaiknya dan juga untuk menunjukkan kebolehannya, ia berkata, "Bapak Paus apapun yang Bapak inginkan, akan saya penuhi, sebutkan saja." "Well", kata Paus, "Sebenarnya saya sudah lama ingin sekali mengendarai mobil sendiri. Di Vatican saya tidak kemana-mana, dan kalaupun saya harus keluar, selalu tersedia sopir dan mobil pribadi untuk saya.

Saya ingin sekali menyetir sendiri, tapi tidak pernah mendapat kesempatan untuk melakukannya."
"Wah," kata si sopir, "Kalau hanya itu saja masalahnya, tidak jadi soal." dan kemudian merekapun bertukar tempat. Paus menyetir dan si sopir duduk di belakangnya. Tetapi baru saja sampai ke persimpangan pertama, Paus lupa untuk berhenti di lampu merah, dan jalan terus.

Segera polisi New York mengikuti mobil tersebut dan menghentikannya. Mobil menepi, polisi turun dari motornya, dan menghampiri mobil tersebut.
Tetapi begitu ia mendekat, ia mengenali Paus, dan ia segera kembali ke motornya dan segera mengontak atasannya. "Pak", kata Polisi itu, "Saya baru saja menyetop seorang pembesar." "Apa?" kata atasannya, "Kepala Polisi?" "Bukan Pak, dia malah lebih tinggi dari Walikota." "Hei, kamu tidak menyetop Presiden Amerika Serikat "kan?" "Tidak Pak, dia malah lebih tinggi lagi." "Well, jadi siapa yang kau stop itu?" tanya si atasan bingung. "Tidak tahu Pak", jawab Polisi, "tapi siapapun dia, sopirnya saja Paus!"

Setelah 6 Tahun Menunggu

Enam tahun yang lalu, seorang pria membeli seekor anak kucing dan mencoba untuk mengajari anak kucing tersebut berbicara. Setiap hari selama enam tahun pria tersebut mengajari kucingnya agar dapat membaca huruf, angka dan merangkai kata. Dari hari ke hari dia selalu berkata kepada kucingnya: "Ayo tirulah kalimatku ...." kemudian dia menyebutkan satu kata atau kalimat dan berharap kucing tersebut dapat meniru apa yang dikatakanya.
Tetapi yang dapat dilakukan kucingnya hanya menatap mata "gurunya" dalam-dalam, yang entah karena alasan apa tidak pernah frustasi dan menyerah mengajarkan kucingnya berbicara.
Dan setelah enam tahun berlalu, terjadilah keajaiban, kucing tersebut berbicara kepada "gurunya", "Hei, AWASSSS ... , rantai besi itu akan jatuh ke kepalamu."
Mendengar kucingnya berbicara, pria tersebut terkejut dan spontan menatap kucingnya, sehingga dia tidak dapat menghindari rantai besi yang jatuh dengan sukses di atas kepalanya.
Kucingnya menggelengkan kepala dan berkata, "Lihatlah, selama enam tahun dia berusaha mati-matian mengajariku berbicara; setelah enam tahun aku akhirnya memutuskan untuk berbicara, ehhh ... dia malah tidak mau mendengarkan perkataanku."

Senin, 08 Juni 2009

Mengapa Mahasiswa Gagal Ujian?

Kalau dilihat dari logika ini, sebenarnya bukan salah sang siswa bila ia tidak lulus ujian, belajar pun tidak sempat... Tahukah Anda, setahun itu hanya terdapat 365 hari? yang kita tahu sebagai tahun akademik siswa... Kita hitung! Hari Minggu; 52 hari dalam setahun, Anda pasti tahu kalau hari minggu adalah untuk istirahat. Hari tersisa tinggal 313.
Hari Libur (Nasional maupun Internasional); Tak kurang dari 13 hari Libur setahun. Hari tersisa tinggal 300. Liburan sekolah; Jelas semua siswa akan berlibur dan tidak akan belajar Biasanya sekitar 2 bulan lebih, anggaplah sekitar 60 hari. Hari tersisa tinggal 240. TIDUR 8 Jam sehari untuk kesehatan; berarti 120 hari terpakai. Hari tersisa tinggal 120. Tentu kita beribadah kan? paling tidak 1-2 jam kita beribadah, kita alokasikan 25 hari dalam setahun.
Hari tersisa tinggal 95. BERMAIN yang juga baik untuk kesegaran dan kesehatan, paling tidak memerlukan 1 jam sehari. Terpakai lagi 15 hari. Hari tersisa tinggal 80. MAKAN! paling tidak selama satu hari kita habiskan 2 jam untuk makan/minum (makan pagi, siang, sore), hilang lagi 30 hari. Hari tersisa tinggal 50. Jangan lupakan, Manusia adalah makhluk sosial, butuh berinteraksi dengan orang lain, kita ambil 1 jam perhari untuk berbicara. 15 jam terpakai lagi, Hari tersisa tinggal 35. Kita pun bisa sakit; paling tidak 5 hari dalam setahun, sudah cukup mewakili. Hari tersisa tinggal 30.
Ujian itu sendiri biasanya dilaksanakan selama 2 minggu per semester berarti, 24 hari sudah teralokasi untuk ujian. Hari tersisa tinggal 6. Nonton dan jalan-jalan paling tidak 5 hari dalam setahun. Hari tersisa tinggal 1 hari. Satu hari yang sisa itu kan HARI ULANG TAHUN ! "Masa" belajar sih?"

Tse Tse



Karena ayahnya lumpuh bertahun-tahun, anak yang baru berumur 6 tahun ini terpaksa memikul tanggung jawab rumah tangga. Selain setiap hari mencuci muka ayahnya, memijat dan memberi makan, dia masih bersama ibunya mengambil botol air mineral bekas sebagai tambahan pendapatan keluarga. Cerita Tse Tse ini banyak menyentuh hati teman di internet, hanya beberapa jam, sudah puluhan ribu orang yang mengkliknya.

Adegan yang mengharukan

Begitu sampai di rumah, Tse Tse langsung sibuk menyiapkan seember air, lantas dengan tangannya yang mungil ia memeras selembar handuk yang besar, karena handuk terlalu besar buat dia, Tse Tse membutuhkan 3 sampai 4 menit baru bisa mengeringkannya, kemudian dengan handuk itu dia menyeka wajah ayahnya dengan lap itu. Dia sangat teliti melapnya, sepertinya khawatir kurang bersih. Setelah selesai, Tse Tse kemudian berjingkat melap punggung ayahnya, di belakang, selesai semua, dengan puas dia tersenyum ke ayahnya.

Tse Tse tahun ini berumur 6 tahun, baru kelas 1 SD, tinggal di jalan Baoan, desa Nantong, papanya Xiong Chun pada 5 tahun lalu tiba-tiba menderita otot menyusut, di bawah leher semua lumpuh, untuk mengobati penyakitnya dia telah menghabiskan semua tabungannya. Sekarang, keluarga yang beranggotakan 3 orang ini hanya mengandalkan ibunya yang bekerja di pabrik, dengan penghasilan kecil itulah mereka bertahan hidup.

Di sekolah Houde, anak yang seumur dengannya dengan ceria bergandeng tangan dengan orang tuanya sambil berjalan, namun Tse Tse malah harus sekuat tenaga mendorong ayahnya pulang. Ketika mau menyeberang jalan, dia akan berhenti sejenak, menoleh kendaraan yang lalu lalang, setelah aman dia baru menyeberang. Setiap ketemu tempat yang tidak rata, Tse Tse harus mengeluarkan tenaga ekstra menaikkan roda depan, menarik kursi roda itu dari belakang, wajahnya yang mungil sampai terlihat kemerahan. Dari sekolah sampai rumah jaraknya sekitar 1.500 meter, harus ditempuh selama 20 menit.

Satu keluarga 3 orang menempati rumah 8 m2

Rumah Tse Tse adalah sebuah rumah dengan kamar kecil seukuran 8m2, hanya besi seng menutupi atap yang menghalangi cahaya masuk ke kamar, di atap tergantung sebuah lampu energi kecil. Dalam rumah penuh debu, yang paling mencolok adalah penghargaan Tse Tse yang tergantung di dinding. Terhadap sekeluarga yang pendapatan bulanannya hanya sekitar 1.000 RMB (Rp. 1,5 juta) bisa dikatakan, sebuah TV 21" sudah merupakan barang mewah.

Sebuah ranjang atas dan bawah sudah memenuhi seluruh kamar, di atasnya penuh dengan barang pecah belah, hanya tersisa sedikit ruang kecil. Xiong Chun berkata, itu adalah ranjang Tse Tse. Sebuah meja lipat tergantung di dinding, itu adalah meja belajar Tse Tse, juga adalah meja makan keluarga.

Di samping pintu yang luasnya tidak sampai 1 m2, ada "dapur" yang dibuatnya sendiri, di samping kompor masih tersisa sebatang kubis. "Makanan dan minyak di rumah semua diberikan oleh teman mamanya, satu hari tiga kali makan, Cuma makan malam yang agak lumayan, di rumah jarang makan daging, namun setiap minggu mereka akan mengeluarkan sedikit biaya untuk mengubah kehidupan anaknya, namun setiap kali makan, Tse Tse akan membiarkan saya makan dulu, baru dia makan." Kata Xiong Chun.

Mama Tse Tse bekerja di pabrik, setiap siang hari dia akan menyisakan sedikit waktu pulang ke rumah menanak nasi untuk suaminya, setelah menyuapi dia segera balik ke pabrik bekerja, tanggung jawab merawat suaminya semua di bebankan ke pundak Tse Tse.

Xiong Chun memberitahu wartawan, setiap pagi jam 6.30 begitu jam alarm berbunyi, Tse Tse akan bangun, cuci muka dan sikat gigi, dia juga membantu papanya mencuci muka, selesai itu dia akan memijat tangan dan kaki papanya, kira-kira 10 menit. Pulang sekolah sore, dia akan memijat papanya lagi, malam setelah memandikan papanya, dia akan memijat papanya lagi, baru tidur.

"Agar bisa lebih banyak membantu mamanya, Tse Tse kadang-kadang ikut mamanya memungut barang bekas untuk menambah penghasilan keluarga. "Xiong Chun sangat sayang anaknya. Tetangga di sekeliling sangat terharu dan mengatakan: "Tse Tse sangat mengerti. Kita semua merasa bangga ada anak seperti ini."
Boneka 5 Yuan yang paling disukainya

Mama membawa dia memungut botol air bekas untuk menambah penghasilan. Suatu ketika, Tse Tse memungut satu mainan mobil plastik bekas di tempat sampah, dia bagaikan mendapat barang pusaka, setiap hari akan main sebentar dengan mobil plastiknya itu. Yang Xianfui berkata, kemarin mama dan anak pergi memungut besi bekas, bisa dijual 20 Yuan.

Tse Tse punya satu boneka kecil yang lucu, itu yang paling disayanginya. Malam hari juga mengendongnya tidur. "Dia melihat boneka itu di toko, beberapa kali dia memintanya, 5 Yuan, saya tidak tega terus, akhirnya saya nekat membelikannya," Kata Xiong Chun.

Begitu Tidak Boleh Sekolah, Langsung Menangis

Untuk mengirit biaya listrik,setiap hari begitu pulang sekolah Tse Tse akan memindahkan "Meja kecilnya" keluar, mengejar siang hari menyelesaikan PR-nya.

"Uang sekolahnya setahun sekitar 3.000 sampai 4.000, kami tidak sanggup. Karena tidak ada uang, tahun ini saya juga melepaskan berobat lagi," kata Xiong Chun. Beberapa waktu yang lalu, dia berbicara dengan istrinya agar Tse Tse berhenti sekolah saja, Tse Tse begitu tahu langsung menangis.

Xiong Chun berteriak, "Hidup normal saja bermasalah, masih harus kasih dia sekolah, sungguh susah, bila sudah tidak mungkin, biar dia berhenti saja." Tse Tse yang sedang bermain boneka, begitu mendengar kata papanya, langsung menangis. Xiong Chun menarik Tse Tse ke sisinya, membujuk: "Papa akan usahakan kamu sekolah, biar kamu bisa sekolah!" Setelah dibujuk beberapa kali, Tse Tse baru berhenti menangis, dengan tangan mungilnya dia menyeka air matanya.

"Terhadap Tse Tse, saya sungguh menyesal....," sambil menangis tersedu, Xiong Chun sudah tidak dapat berkata lagi. Xiong Chun berkata: "Saya percaya pasti akan sembuh, Tse Tse adalah harapan saya."

Minggu, 07 Juni 2009

Kisah Tukang Batu

Ada seorang tukang batu yang menginginkan menjadi makhluk yang paling kuat. Pekerjaan sehari-harinya adalah memecah gunung batu, diambil batunya sedikit demi sedikit, dijualnya untuk mendapatkan imbalan demi menyambung hidupnya.

Di saat bekerja memecah batu ini, si tukang batu seringkali mengalami kepanasan oleh terik matahari.Maka dia berpikir, “Wah, seandainya aku jadi matahari, maka tak ada lagi yang bisa mengalahkan aku.” Maka dia berdoa agar dirinya berubah menjadi matahari. Permintaannya terkabul. Jadilah dia matahari. Merasa dirinya paling kuat. Tapi ternyata cuma sementara. Datanglah awan menutupi sinarnya. Si Matahari alias tukang batu berpikir, “kalo begitu, menjadi awan lebih kuat. Matahari saja bisa kalah.”

Maka berdoalah dia agar berubah menjadi awan. Permohonannya terkabul lagi.Setelah menjadi awan, dia puas bisa mengalahkan matahari, bisa menurunkan hujan, mendatangkan banjir. Tapi itu pun cuma sebentar, bertiuplah angin. Awan menjadi kocar-kacir. Mendung hilang, dan si awan alias si Tukang Batu itu merasa kok dirinya dengan gampangnya dihembus oleh angin. Maka dia berpikir, “berarti anginlah yang paling kuat.”.

Maka berdoalah sekali lagi si tukang batu itu, meminta agar dijadikan angin. Permohonannya terkabul. Maka setelah menjadi angin, mengacaulah dia. Merasa dirinya paling kuat, semua benda ditiupnya. Porak poranda, berantakan, tak ada yang kuat menghalangi kekuatannya. Kecuali Gunung Batu, dia tiup sampai megap-megap sekuat tenaga tak bergeser sedikitpun . Sampai kehabisan nafas, tetep tak bergerak si gunung itu. Sehingga kesimpulan si angin alias tukang batu berubah. “Gunung Batulah makhluk paling kuat”.

Maka untuk kesekian kalinya, permintaannya dikabulkan, yakni menjadi gunung batu.Baru sehari menjadi Gunung Batu, paginya dia merasa kesakitan karena dirinya dipukuli dan dimartil bertubi-tubi oleh makhluk yang namanya manusia yang profesinya sebagai “Tukang Batu”. Secuil demi secuil tubuhnya digerogoti terus. Maka sadarlah si Gunung Batu, bahwa sebenarnya mahkluk yang paling kuat adalah Tukang Batu, makhluk yang dulu pernah dia anggap paling lemah.

Story of Stanford University

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.

Mereka meminta janji.Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge."Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut. "Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat."Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya."Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk.

Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul. Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard danmeninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.""Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju,acap menipu.

Sabtu, 06 Juni 2009

Footprints

Tahukah anda cerita di balik terciptanya sajak ‘FOOTPRINTS’ (Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul : Jejak – Jejak kaki). Sajak tersebut telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun tidak banyak orang mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak banyak orang tahu apa latar belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih lagi tidak banyak orang tahu bahwa sajak yang berjudul ‘Jejak’ (aslinya : ‘Footprints’) sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.

Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu walaupun ia sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi karcis untuk anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis.

Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih. Namun ada beberapa peristiwa yang terasa pahit dalam kenangan masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya. Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Lalu tiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat kayu.

Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan.’Jangan bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak ... !’ Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia sungguh takut. ‘Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman ? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II, sehingga orang Jerman dibenci di Amerika dan Kanada,’ ucap Margaret mengenang masa kecilnya.

Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. ‘Aku akrab dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba ada orang yang lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan sampai aku jatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit. Tetapi yang lebih parah lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,’ kenang Margaret.

Juga tentang masa dewasanya Margaret mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika ia sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak ‘Jejak’ ini, yang dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul.

Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah. ‘Mari kita jalan di pantai,’ usul Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan bergandengan tangan di pantai pasir. Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka di pasir pantai. Namun di tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak itu.

‘Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,’ seru Margaret. ‘Itukah mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,’ lirih Margaret. ‘Jangan berpikir begitu,’ protes Paul. ‘Aku malah melihat lambang yang indah. Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.’ Mereka berjalan terus.

‘Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.’ Paul menatap Margaret dengan tajam, ‘Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan. Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini...’ Lalu Paul mengangkat tubuh Margaret yang kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya.

Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret, menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah-olah bermimpi, dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan. Tetapi... dan seterusnya.

Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur. Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul ‘Aku Bermimpi’. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang kita kenal dengan judul ‘Jejak’. Pada hari itu juga dalam kebaktian, sajak itu dibacakan Paul.

Paul berkata, ‘... ada saat di mana kita merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.’ Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret :

One night I dreamed a dream.I was walking along the beach with my Lord. Across the dark sky flashed scenes from my life. For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand, One belong to me and one to my Lord. When the last scene of my life shot before me, I looked back at the footprints in the sand. There was only one set of footprints. I realized that this was the lowest and the saddest times of my life. This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma. ‘Lord, You told me when I decided to follow, You would walk and talk with me all the way. But I'm aware that during the most troublesome times of my life, There is only one set of footprints. I just don't understand why, when I need You most, You leave me. ’He whispered, ‘My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings. When you saw only one set of footprints,It was then that I carried you.’

Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarangpun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas. Mana telapak kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.

Jangan Menyerah

Seorang anak sambil menangis meninggalkan sekolahnya. Ia mengenggam selembar kertas di tangannya yang dititipkan gurunya untuk diberikan kepada orangtuanya. Di atas kertas itu tertulis, 'Karena anakmu terlampau bodoh dan tak mampu mema hami pelajaran serta menghambat kemajuan proses pelajaran sekolah, dan demi rasa tanggung jawab kami terhadap murid-murid yang lain, maka kami sangat mengharapkan agar anak ini secara terhormat menarik diri sendiri dari sekolah.'


Setelah membaca nota tersebut, ibunya tak mampu menahan sedih. Air matanya mengalir deras. Ia sama sekali tak percaya kalau anaknya itu terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran sekolah. Ia lalu memutuskan, 'Kalau guru tidak mengajarnya, aku akan menjadi guru bagi anakku sendiri.' Tahukah anda apa yang terjadi pada diri anak tersebut setelah beberapa tahun kemudian? Pada saat kematiannya, anak yang dianggap bodoh oleh para gurunya serta dididik sendiri oleh ibunya itu , mendapat penghargaan amat besar oleh seluruh penduduk Amerika.


Pada tanggal 18 Oktober 1931 malam hari jam 9.55 menit, seluruh Amerika memadamkan semua lampu listrik untuk mengenang jasa seorang penemu besar, Thomas Alva Edison, seorang yang dianggap bodoh namun telah merubah arah perkembangan dunia. Kemajuan telekomunikasi modern juga kembali bermuara pada jasanya. Thomas tidak menyerah pada penilaian orang lain yang merendahkan dirinya.

Konosuke Matsushita



Di tahun 1929, pernah terjadi 'depresi ekonomi global'. Wall Street menukik tajam tak terkendali.Surat saham tak lebih nilainya seperti kertas biasa.Saat itu , General Motor terpaksa mem-PHK separo dari 92.829 karyawannya. Perusahaan besar maupun kecil bangkrut. Jutaan orang menjadi pengangguran. Jutaan orang kelaparan. Daya beli turun bersama harga dan lowongan pekerjaan. Malam menjadi gelap gulita. Kepanikan terjadi di mana-mana.



Toko yang masih bertahan , menghentikan pembelian dari pabrik karena gudang sudah penuh dengan barang yang tidak terjual.Saat itu , Konosuke Matsushita yang memproduksi peralatan listrik bermerek National dan Panasonic baru saja merampungkan pabrik dan kantor dengan pinjaman dari Bank Sumitomo.Kondisi badannya sering sakit-sakitan akibat gizi yang kurang dimasa kanak-kanak , ditambah lagi dengan kerja 18 jam sehari , 7 hari seminggu selama 12 tahun merintis usahanya. Hanya semangat hiduplah yang membuatnya masih bernapas.Dengan punggung bersandar ke tembok rumah , Matsushita mendengarkan laporan tentang kondisi perekonomian yang terus memburuk ketika manajemennya datang menjenguk.



Lalu bagaimana tanggapannya ?"Kurangi produksi separonya , tetapi JANGAN mem-PHK karyawan. Kita akan mengurangi produksi bukan dengan merumahkan pekerja, tetapi dengan meminta mereka untuk bekerja di pabrik hanya setengah hari. Kita akan terus membayar upah seperti yang mereka terima sekarang , tetapi kita akan menghapus semua hari libur. Kita akan meminta semua pekerja untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha menjual semua barang yang ada di gudang. "Perintah ini bagi anak buahnya sama anehnya dengan depresi ekonomi itu sendiri. Koq bisa terjadi, yah? Dalam situasi begitu, sangatlah masuk akal jika perusahaan mem-PHK karyawan demi efisiensi. Namun Matsushita karena keyakinannya pada sang kebajikan sudah mantap, demi kelangsungan hidup anak-istri karyawannya, akhirnya mampu menghasilkan terobosan yang manusiawi pada masa depresi ekonomi tersebut.



Kebajikan Matsushita terhadap karyawannya mendapatkan hasil yang manis, 16 tahun kemudian dari karyawan yang pernah ditolongnya. Ia menuai buah kebajikannya sendiri. Ketika Perang Dunia II berakhir, Jenderal Douglas McArthur yang mengendalikan Jepang, menangkapi semua pengusaha Jepang untuk diadili karena keterlibatan mereka selama perang. Pada kurun 1930-an, para pengusaha Jepang, termasuk Matsushita, mendapat tekanan rezim militer Jepang saat itu untuk memproduksi senjata militer lainnya. Maka Matsushita pun ikut ditangkap.



Sekitar 15.000 pekerja bersama keluarganya membubuhkan tanda tangan petisi pembelaan untuk Matsushita. Jenderal McArthur pun tercengang oleh petisi tersebut dan akhirnya membebaskan Matsushita. Tidak ada pemilik usaha dan pimpinan industri sebelum perang dunia kedua yang diizinkan McArthur kembali ke pekerjaannya kecuali Matsushita. Demikianlah Matsushita dapat terus memimpin perusahaannya sampai menjadi raksasa elektronik dunia, dan baru pensiun pada tahun 1989 pada usia 94 tahun.



Ketika Matsushita meninggal tahun 1990 , bukan cuma para pebisnis yang berduka cita. Presiden Amerika saat itu , George Bush ( Senior ), pun turut berduka. Matsushita berhasil membangun dirinya melewati ambang batas pengusaha yang umumnya selalu lapar duit dan haus fulus serta menjadi pribadi yang humanis dan filsuf yang sangat peduli terhadap kemanusiaan. Bagi Matsushita, uang bukanlah tujuan. Meskipun butuh uang tetapi uang bukanlah segala-galanya. Baginya, uang adalah sarana untuk melakukan kebajikan..Yang dikenang dari kita nanti *bukan* kehebatan , kesuksesan , kekayaan , dan kemakmuran kita. Yang dikenang adalah kebaikan , keramahan , dan kemurah-hatian kita...

Bag Lady



Ada kisah tentang kebaikan dan kasih yang tercecer dari antara perayaan-perayaan Natal. Semacam kisah orang Samaria yang baik hati. Kisah tentang kasih yang indah ini sayangnya tidak terjadi di gereja, tetapi di sebuah dept. store di Amerika Serikat.


Pada suatu hari seorang pengemis wanita yang dikenal dengan sebutan “Bag Lady” (karena segala harta bendanya hanya termuat dalam sebuah tas yang ia jinjing kemana-mana sambil mengemis) memasuki sebuah dept. store yang mewah sekali. Hari-hari itu adalah menjelang hari Natal. Toko itu dihias dengan indah sekali. Lantainya semua dilapisi karpet yang baru dan indah. Pengemis ini tanpa ragu-ragu memasuki toko ini. Bajunya kotor dan penuh lubang-lubang. Badannya mungkin sudah tidak mandi berminggu-minggu. Bau badannya sangat menyengat hidung bagi orang di sekitarnya.


Ketika itu seorang pendeta wanita mengikutinya dari belakang. Ia berjaga-jaga, kalau petugas sekuriti toko itu mengusir pengemis ini, sang pendeta mungkin dapat membela atau membantunya. Wah, tentu pemilik atau pengurus toko mewah ini tidak ingin ada pengemis kotor dan bau mengganggu para pelanggan terhormat yang ada di toko itu. Begitu pikir dari sang pendeta wanita dalam hatinya.


Tetapi pengemis ini dapat terus masuk ke bagian-bagian dalam toko itu. Tak ada petugas keamanan yang mencegat dan mengusirnya. Aneh ya?! Padahal, para pelanggan lain berlalu lalang di situ dengan setelan jas atau gaun yang mewah dan mahal.


Di tengah dept. store itu ada piano besar (grand piano) yang dimainkan seorang pianis dengan jas tuksedo, mengiringi para penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu natal dengan gaun yang indah. Suasana di toko itu tidak cocok sekali bagi si pengemis wanita itu. Ia nampak seperti makhluk aneh di lingkungan gemerlapan itu. Tetapi sang "bag lady" berjalan terus. Sang pendeta itu juga mengikuti terus dari jarak tertentu.


Rupanya pengemis itu mencari sesuatu dibagian "gaun wanita". Ia mendatangi counter paling eksklusif yang memajang gaun-gaun mahal bermerek dengan harga di atas puluhan juta. Baju-baju yang mahal dan mewah! Apa yang dikerjakan pengemis ini?


Sang pelayan bertanya, “Apa yang dapat saya bantu bagi anda?” “Saya ingin mencoba gaun merah muda itu?” Kalau anda ada di posisi sang pelayan itu, bagaimana respon anda? Wah, kalau pengemis ini mencobanya tentu gaun-gaun mahal itu akan jadi kotor dan bau, dan pelanggan lain yang melihat mungkin akan jijik membeli baju-baju ini setelah dia pakai. Apalagi bau badan orang ini begitu menyengat, tentu akan merusak gaun-gaun itu. Tetapi mari kita dengarkan apa jawaban sang pelayan toko mewah itu.


“Berapa ukuran yang anda perlukan?” “Tidak tahu!” “Baiklah, mari saya ukur dulu.” Pelayan itu mengambil pita meteran, mendekati pengemis itu, mengukur bahu, pinggang, dan panjang badannya. Bau menusuk hidung terhirup ketika ia berdekatan dengan pengemis ini. Ia cuek saja. Ia layani pengemis ini seperti satu-satunya pelanggan terhormat yang mengunjungi counternya. “OK, saya sudah dapatkan nomor yang pas untuk nyonya! Cobalah yang ini!” Ia memberikan gaun itu untuk dicoba di kamar pas. “Ah, yang ini kurang cocok untuk saya. Apakah saya boleh mencoba yang lain?” “Oh, tentu!” Kurang lebih dua jam pelayan ini menghabiskan waktunya untuk melayani sang “bag lady”.


Apakah pengemis ini akhirnya membeli salah satu gaun yang dicobanya? Tentu saja tidak! Gaun seharga puluhan juta rupiah itu jauh dari jangkauan kemampuan keuangannya. Pengemis itu kemudian berlalu begitu saja, tetapi dengan kepala tegak karena ia telah diperlakukan sebagai layaknya seorang manusia. Biasanya ia dipandang sebelah mata. Hari itu ada seorang pelayan toko yang melayaninya, yang menganggapnya seperti orang penting, yang mau mendengarkan permintaannya.


Tetapi mengapa pelayan toko itu repot-repot melayaninya? Bukankah kedatangan pengemis itu membuang-buang waktu dan perlu biaya bagi toko itu? Toko itu harus mengirim gaun-gaun yang sudah dicoba itu ke Laundry, dicuci bersih agar kembali tampak indah dan tidak bau. Pertanyaan ini juga mengganggu sang pendeta yang memperhatikan apa yang terjadi di counter itu. Kemudian pendeta ini bertanya kepada pelayan toko itu setelah ia selesai melayani tamu “istimewa”-nya.


“Mengapa anda membiarkan pengemis itu mencoba gaun-gaun indah ini?” “Oh, memang tugas saya adalah melayani dan berbuat baik!” “Tetapi, anda ‘kan tahu bahwa pengemis itu tidak mungkin sanggup membeli gaun-gaun mahal ini?” “Maaf, soal itu bukan urusan saya. Saya tidak dalam posisi untuk menilai atau menghakimi para pelanggan saya. Tugas saya adalah untuk melayani dan berbuat baik.”


Pendeta ini tersentak kaget. Di zaman yang penuh keduniawian ini ternyata masih ada orang-orang yang tugasnya adalah melayani dan berbuat baik, tanpa perlu menghakimi orang lain. Pendeta ini akhirnya memutuskan untuk membawakan khotbah pada hari Minggu berikutnya dengan tema “Injil Menurut Toko Serba Ada”. Khotbah ini menyentuh banyak orang, dan kemudian diberitakan di halaman-halaman surat kabar di kota itu. Berita itu menggugah banyak orang sehingga mereka juga ingin dilayani di toko yang eksklusif ini. Pengemis wanita itu tidak membeli apa-apa, tidak memberi keuntungan apa-apa, tetapi akibat perlakuan istimewa toko itu kepadanya, hasil penjualan toko itu meningkat drastis, sehingga pada bulan itu keuntungan naik 48% !