Sabtu, 31 Oktober 2009

Buaya Perompak

Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.

Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.

Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.

“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.

Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.

“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.

Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.

“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”

Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.

“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.

“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.

“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.

“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.

“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.

“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.

Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.

“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.

“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.

“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah

“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.

“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.

“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.

Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.

“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.

Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.

“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.

Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.

“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.

Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.

Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.

Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.

Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.

Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.

“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.

Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.

“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.

“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.

Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.

Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.

Jumat, 30 Oktober 2009

Lesson from a Watch


Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya “Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 312.104.000 kali selama setahun ?” “Ha?,” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya?” “Bagaimana kalau 86.400 kali dalam sehari? “ “Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3.600 kali dalam satu jam ?” “Dalam satu jam harus berdetak 3.600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada jam, “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik ? “ “Naaah, kalau begitu, aku sanggup !!” kata jam penuh dengan antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31. 312.104.000 kali.

Pada saat kita diperhadapkan dengan suatu tugas yang berat, acapkali kita berkata bahwa kita tidak sanggup. Namun, ketika kita mengambil komitmen untuk memulai dan mengerjakannya setahap demi setahap, tanpa sadar kita telah menyelesaikan tugas yang nampak berat tersebut. Pilihan selalu ada pada diri kita masing-masing. Maukah kita memulainya sekarang dan percaya bahwa kita mampu melakukannya?

Beda Elang Dengan Kalkun


Konon di satu saat yang telah lama berlalu, Elang dan Kalkun adalah burung yang menjadi teman yang baik. Dimanapun mereka berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas.

Satu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara
pada Elang : "Mari kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah keroncongan nih!". Elang membalas : "Kedengarannya ide yang bagus". Jadi kedua burung melayang turun ke bumi, melihat beberapa binatang lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan jagung, namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri dekat dengannya, Sapi berkata : "Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini".

Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka
tidak biasa jika ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang bertanya : "Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?". Sapi menjawab : "Oh, kami punya banyak makanan disini. Tuan Petani memberikan bagi kami apapun yang kami inginkan". Dengan undangan itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani. Sapi menjawab : "Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan". Kalkun tambah bingung : "Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu makan?". Sapi menjawab : "Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat untuk tinggal." Elang dan Kalkun menjadi syok berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.

Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat
itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata pada Elang : "Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapatkan semua makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang disana cocok dijadikan sarang seperti yang telah pernah bangun. Disamping itu saya telah lelah bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup."

Elang juga goyah dengan pengalaman ini : "Saya
tidak tahu tentang semua ini. Kedengarannya terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu tanpa imbalan. Disamping itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal itu sebagai tantangan menarik".

Akhirnya, Kalkun memikirkan semuanya dan memutuskan
untuk menetap di mana ada makanan gratis dan juga naungan. Namun Elang memutuskan bahwa ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkannya begitu saja. Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi setelah mengucapkan selamat berpisah untuk teman lamanya Si Kalkun, Elang menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang ia tidak ketahui bagaimana ke depannya.

Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk dan malas. Namun lalu suatu hari dia mendengar istri Tuan Petani menyebutkan bahwa Hari raya Thanksgiving akan datang beberapa hari lagi dan alangkah indahnya jika ada hidangan Kalkun panggang untuk makan malam. Mendengar hal itu, Si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk minggat dari pertanian itu dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang.

Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia
menemukan bahwa ia telah tumbuh terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia justru hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya di Hari Thanksgiving keluarga Tuan Petani duduk bersama menghadapi panggang daging Kalkun besar yang sedap. Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan, anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda...Dan Anda akan menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi...

The Tale of Timun Mas


Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.

Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.


Berpikir Positif Ala Pygmalion


Pygmalion adalah seorang pemuda yang berbakat seni memahat. Ia sungguh piawai dalam memahat patung. Karya ukiran tangannya sungguh bagus. Tetapi bukan kecakapannya itu menjadikan ia dikenal dan disenangi teman dan tetangganya.

Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik.

Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, ‘Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.’

Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, ‘Kikir betul orang itu.’ Tetapi Pygmalion berkata, ‘Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu’.

Ketika anak-anak mencuri apel di kebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, ‘Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.’

Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik di balik perbuatan buruk orang lain.

Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah patung wanita dari kayu yang sangat halus. Patung itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah rampung, patung itu tampak seperti manusia betul. Wajah patung itu tersenyum manis menawan, tubuhnya elok menarik.

Kawan-kawan Pygmalion berkata, ‘Ah,sebagus- bagusnya patung, itu cuma patung, bukan isterimu.’

Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu sebagai manusia betul. Berkali-kali patung itu ditatapnya dan dielusnya.

Para dewa yang ada di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion, lalu mereka memutuskan untuk memberi anugerah kepada Pygmalion, yaitu mengubah patung itu menjadi manusia betul. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan isterinya itu yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani.

Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk mengambarkan dampak pola berpikir yang positif. Kalau kita berpikir positif tentang suatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif.


Mutiara yang Indah

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu.”

Si ibu terdiam, sejenak, “Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat”, kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara, air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

Anda Seperti Wortel, Telur, atau Biji Kopi?

Seorang anak perempuan mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia merasa capai untuk terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah teratasi, maka persoalan yang lain muncul. Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata.

Sang anak perempuan mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya mematikan kompor. Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok. Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir. Segera sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya: “Sayangku, apa yang kaulihat?” “Wortel, telur, dan kopi,” jawab anaknya.

Sang ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan telur matang yang keras. Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia bertanya “Apa artinya, bapa?” Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.

“Yang mana engkau, anakku?” sang ayah bertanya.

“Ketika penderitaan mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau kopi?”

Bagaimana dengan ANDA, sobat?

Apakah Anda seperti sebuah wortel, yang kelihatan keras, tetapi saat berhadapan dengan kepedihan dan penderitaan menjadi lembek, lemah, dan kehilangan kekuatan?

Apakah Anda seperti telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya berjiwa lembut, tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau pemecatan, Anda menjadi keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap sama, tetapi apakah Anda menjadi pahit, tegar hati,serta kepala batu?

Atau apakah Anda seperti biji kopi? Kopi mengubah air panas, hal yang membawa kepedihan itu, bahkan pada saat puncaknya ketika mencapai 100 C. Ketika air menjadi panas, rasanya justru menjadi lebih enak. Apabila Anda seperti biji kopi, maka ketika segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk sekalipun Anda dapat menjadi lebih baik dan juga membuat suasana di sekitar Anda menjadi lebih baik.

Bagaimana cara Anda menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur, atau biji kopi?

The Real Lion


Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.

Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.

Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.

“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar. tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.

Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”

Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!

Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!”

Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.

Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!

Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?

Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.

Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.

Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.

Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku takkan memangsa anak singa!

Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,

“Jangan bunuh aku, ammpuun!”

“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”

Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”

Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.

Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri.

Lalu membandingkan dengan singa dewasa.

Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”

“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.

“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”

“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.

Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu.

Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”

Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.


Kamis, 29 Oktober 2009

Keindahan Warna

Di suatu masa warna-warna dunia mulai bertengkar. Semua menganggap dirinyalah yang terbaik, yang paling penting, yang paling bermanfaat, yang paling disukai.

HIJAU berkata:
"Jelas akulah yang terpenting. Aku adalah pertanda kehidupan dan harapan. Aku dipilih untuk mewarnai rerumputan, pepohonan dan dedaunan. Tanpa aku, semua hewan akan mati. Lihatlah ke pedesaan, aku adalah warna mayoritas ..."

BIRU menginterupsi:
"Kamu hanya berpikir tentang bumi. Pertimbangkanlah langit dan samudra luas. Airlah yang menjadi dasar kehidupan dan awan mengambil kekuatan dari kedalaman lautan. Langit memberikan ruang dan kedamaian dan ketenangan. Tanpa kedamaian, kamu semua tidak akan menjadi apa-apa."

KUNING cekikikan:
"Kalian semua serius amat sih? Aku membawa tawa, kesenangan dan kehangatan bagi dunia. Matahari berwarna kuning, dan bintang-bintang berwarna kuning. Setiap kali kau melihat bunga matahari, seluruh dunia mulai tersenyum. Tanpa aku, dunia tidak ada kesenangan."

ORANYE menyusul dengan meniupkan trompetnya:
"Aku adalah warna kesehatan dan kekuatan. Aku jarang, tetapi aku berharga karena aku mengisi kebutuhan kehidupan manusia. Aku membawa vitamin-vitamin terpenting. Pikirkanlah wortel, labu, jeruk, mangga dan pepaya. Aku tidak ada di mana-mana setiap saat, tetapi aku mengisi lazuardi saat fajar atau saat matahari terbenam. Keindahanku begitu menakjubkan hingga tak seorangpun dari kalian akan terbetik di pikiran orang."

MERAH tidak bisa diam lebih lama dan berteriak:
"Aku adalah Pemimpin kalian. Aku adalah darah - darah kehidupan! Aku adalah warna bahaya dan keberanian. Aku berani untuk bertempur demi suatu kausa. Aku membawa api ke dalam darah.
Tanpa aku, bumi akan kosong laksana bulan. Aku adalah warna hasrat dan cinta, mawar merah, poinsentia dan bunga poppy."

UNGU bangkit dan berdiri setinggi-tingginya ia mampu. Ia memang tinggi dan berbicara dengan keangkuhan.
"Aku adalah warna kerajaan dan kekuasaan. Raja, Pemimpin, dan para Uskup memilih aku sebagai pertanda otoritas dan kebijaksanaan. Tidak seorangpun menentangku. Mereka mendengarkan dan menuruti kehendakku."

Akhirnya NILA berbicara, lebih pelan dari yang lainnya, namun dengan kekuatan niat yang sama:
"Pikirkanlah tentang aku. Aku warna diam. Kalian jarang memperhatikan adaku, namun tanpaku kalian semua menjadi dangkal. Aku merepresentasikan pemikiran dan refleksi, matahari terbenam dan kedalaman laut. Kalian membutuhkan aku untuk keseimbangan dan kontras, untuk doa dan ketentraman batin."

Jadi, semua warna terus menyombongkan diri, masing-masing yakin akan superioritas dirinya.

Perdebatan mereka menjadi semakin keras. Tiba-tiba, sinar halilitar melintas membutakan.Guruh menggelegar. Hujan mulai turun tanpa ampun. Warna-warna bersedeku bersama ketakutan, berdekatan satu sama lain mencari ketenangan.

Di tengah suara gemuruh, hujan berbicara:
"Warna-warna tolol! Kalian bertengkar satu sama lain, masing-masing ingin mendominasi yang lain. Tidakkah kalian tahu bahwa kalian masing-masing diciptakan untuk tujuan khusus, unik dan berbeda? Berpegangan tanganlah dan mendekatlah kepadaku!"

Menuruti perintah, warna-warna berpegangan tangan mendekati hujan, yang kemudian berkata:
"Mulai sekarang, setiap kali hujan mengguyur, masing-masing dari kalian akan membusurkan diri sepanjang langit bagai busur warna sebagai pengingat bahwa kalian semua dapat hidup bersama dalam kedamaian. Pelangi adalah pertanda Harapan hari esok."

Jadi, setiap kali hujan deras menotok membasahi dunia, dan saat pelangi memunculkan diri di angkasa, marilah kita mengingat untuk selalu menghargai satu sama lain.

Kancil dan Siput

Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa….rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.

Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.

Siput“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha……., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.

Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.

Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.

Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput….sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”

Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.

Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.

Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.


Rabu, 28 Oktober 2009

Kisah 3 Pangeran

Alkisah, di sebuah negeri antah berantah, bertahta seorang raja yang terkenal sangat bijak dan arif. Ia memerintah dengan penuh keadilan, sehingga membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat dan negeri. Namun ada satu masalah yang mengganjal hati sang raja. Sang permaisuri melahirkan 3 anak lelaki kembar. Sehingga sangat sulit bagi sang raja untuk menentukan siapa yang berhak menjadi putera mahkota.

Dalam keprihatinan itu, menurut cerita, suatu malam, akhirnya raja bermimpi dan ditunjukan oleh Gusti Allah, sebuah solusi yang sangat praktis. Esoknya raja mencari 3 orang cendekiawan dan ilmuwan terbaik dan terpintar dari seluruh negeri. Ketiganya diberi tugas untuk menjadi guru dari masing-masing puteranya. Mereka harus rajin dan tekun mengajarkan ke tiga putera itu hingga menguasai ilmu yang tertinggi. Ketika ketiga putera raja berumur 17 tahun nanti, maka raja akan mengumumkan sebuah sayembara untuk menentukan siapa yang berhak menjadi putera mahkota.

Hari-hari berlalu, dan musim silih berganti. Tanpa terasa ketiga putera raja hampir berulang tahun ke 17. Raja lalu mengutus seorang jendral perang yang paling ia percaya ke negeri Siam. Sang jendral tak lama kemudian pulang dengan membawa 3 gulung kain sutera yang paling indah dan paling mahal. Ketika dibentang semua orang kagum terpesona melihat tenunan kain yang kilau berkemilau. Sungguh sangat indah sekali. Lalu oleh raja ketiga kain sutera itu dibentang dan diberi pigura, menjadi sebuah kanvas yang sangat besar.

Maka ketiga putera raja dipanggil keistana untuk mendengar sayembara yang telah ditunggu rakyat selama bertahun-tahun. Raja memerintahkan ketiga puteranya untuk mengisi kanvas masing-masing. Barang siapa yang mampu mengisi kanvas itu dengan karya yang paling indah dan mengagumkan maka dialah yang akan diangkat raja menjadi putera mahkota. Ketiga putera raja diberi waktu sebulan.

Selama sebulan itu, seluruh negeri bergosip ria. Tabloid dan infotainment membahas apa yang akan dilakukan oleh ketiga anak raja hampir setiap harinya. Selama hampir 17 tahun terakhir, satu putera raja berhasil mengembangkan bakatnya menjadi seorang sastrawan dan penyair yang dikagumi seluruh rakyat. Putera raja itu telah menulis ratusan syair dan cerita-cerita yang luar biasa. Membuatnya sangat terkenal. Dan banyak karya-karya-nya telah difilmkan.

Putera yang berikutnya, berhasil menguasai ilmu melukis yang sangat tinggi. Lukisan-nya sangat mempesona. Konon,terkadang lebih baik dari aslinya. Lukisan karya-nya selalu menggugah orang yang melihatnya. Putera yang satu ini telah melukis ribuan lukisan, dan karyanya dipajang di gedung-gedung dan museum diseluruh negeri. Yang terakhir, dikenal sebagai penyanyi dan komposer musik berbakat. Suaranya sangat merdu. Setiap kali ia bernyanyi alam tiba-tiba menjadi diam. Sunyi. Seolah semuanya mendengarkan suara yang sangat indah itu.

Tiga keahlian berbeda dari 3 orang putera sang raja, tentu saja menimbulkan spekulasi. Kebanyakan orang bertaruh, bahwa putera yang menjadi sastrawan dan penyair akan mengisi canvasnya dengan puisi dan cerita yang indah. Sedangkan putera raja yang maestro pelukis akan mengisi canvasnya dengan lukisan yang spektakuler. Dan putera raja yang ahli menyanyi akan menggubah lagu yang paling merdu dan mengisi canvasnya dengan syair lagu tersebut.

Ketika hari penentuan sayembara tiba, ketiga putera-pun menghadap raja. Dan tebakan kebanyakan orang ternyata benar juga hasilnya. Putera yang sastrawan dan penyair, benar-benar mengisi canvasnya dengan puisi, dan cerita yang begitu luar biasa, sehingga semua orang yang membacanya, menangis, tertawa dan tertegun sekaligus. Raja-pun sangat puas. Putera yang maestro pelukis, ternyata mengisi canvas dengan lukisan sang raja sedang menunggangi se-ekor harimau. Sang raja dilukis sangat gagah dan berwibawa. Seluruh orang yang melihatnya berdecak kagum. Sekali lagi raja sangat puas.

Putera yang ketiga, ternyata sangat berbeda. Ia mencopot kain sutera dari kerangka-nya. Melipatnya dan membiarkan kerangka canvas kosong dan bolong. Kain sutera yang telah dilipatnya, diserahkan sang putera kepada sang raja. Tentu saja raja menjadi kecewa dan merasa heran bukan kepalang. “Putera-ku yang ku sayangi, mengapa engkau tidak mematuhi perintah aku ? Mengapa engkau sengaja menggagalkan diri dalam sayembara ini ?” Dengan sangat takzim, sang putera menjawab : “Ampun ayahanda tercinta. Ananda merasa kain sutera itu sudah sangat indah dan sempurna. Ananda tidak tega merusaknya.” Jawaban sang putera membuat raja terdiam. Lalu manggut-manggut membenarkan. “Apakah artinya, ananda mengundurkan diri dari sayembara ?”
“Ampun ayahanda tercinta, canvas hamba boleh saja kosong melompong, tapi bukan berarti ia tidak memiliki isi!”

Lalu, sang putera berdiri didepan dan ditengah kerangka canvas yang kosong melompong, dan iapun mulai meniup suling dan menyanyikan satu lagu. Suaranya begitu merdu hingga terdengar bergema diluar istana. Alam tiba-tiba terhenti. Jangankan manusia, burung-burungpun ikut tertegun dan terpesona. Semua menikmati suara merdu yang indah itu. Termasuk raja ikut terbuai oleh sang nyanyian. Usai bernyanyi, sang putera menyembah sang raja, dan berkata : “Ampun Ayahanda tercinta, hasil karya ananda mungkin tidak bisa dilihat dan diraba, karena memang bukan tujuan ananda membuat orang kagum dengan karya ananda.” Raja manggut-manggut ikut setuju. “Ananda, berkarya dengan tujuan agar karya itu bermanfaat bagi orang banyak”, demikian tutur sang putera raja. Sambil menghela nafas, sang raja bertitah : “Benar sekali, biarpun orang tidak bisa melihat dan mengagumi karya ananda, tetapi tetap saja karya ananda menggelegar dan menyentuh hati kami semua”

Selasa, 27 Oktober 2009

Mengapa Air Laut Asin?


Beratus tahun yang lalu ada seorang raja yang memiliki batu penggiling ajaib. Batu ajaib itu bisa mengabulkan apa saja yang diminta oleh pemegangnya. Hanya tinggal mengatakan apa yang kita inginkan dan memutar batu penggiling ajaib itu maka apa yang kita minta pasti akan terkabul. Jika emas yang diminta, maka emas yang keluar, jika nasi yang diminta maka akan segera terhidang.

Seorang pencuri berencana untuk mencuri batu penggiling ajaib itu. Berhari-hari dia memikirkan cara mencurinya, namun rencananya selalu terlihat tidak bagus.

Suatu hari dia menyamar menjadi seorang pejabat dan mendatangi kantor para pelayan istana. Dia mengajak ketua mengobrol, lalu si pencuri berkata: “aku dengar raja mengubur sebuah batu penggiling ajaib karena dia selalu curiga dan tidak percaya pada para menterinya.”
“Hah, raja tidak percaya pada para menterinya? Kata siapa tuh?”
“Semua orang desa membicarakannya,” kata pencuri yang gembira karena pancingannya berhasil. “Katanya raja menggali lubang yang sangat dalam untuk menguburnya karena takut ada orang yang akan mencurinya.”
“Omong kosong!” kata ketua pelayan. “batu penggiling ajaib itu ada di samping bunga lotus di dalam taman istana.”
“Oh, benarkah?” kata si pencuri dengan berseri-seri.
“Tidak ada seorang pun yang berani mencurinya,” kata ketua pelayan, “orang gila mana yang mau mencurinya, sementara tempat itu selalu ramai orang berlalu-lalang.”

Si pencuri sangat gembira karena berhasil mendapatkan informasi berharga. Selama beberapa hari dia mempelajari situasi di dalam taman tempat batu penggiling ajaib itu berada. Hingga suatu malam yang gelap, si pencuri memanjat tembok istana dan mencuri batu penggiling ajaib tersebut.

Si pencuri sangat bangga dengan keberhasilannya, namun dia juga merasa takut. Jika raja menyadari bahwa batu penggiling ajaibnya telah hilang maka ia akan mengintrogasi semua penduduk dan ia akan tertangkap. Si pencuri lalu memutuskan untuk mencuri sebuah perahu untuk pulang ke kampung halamannya di seberang lautan. Beberapa saat setelah kapal yang dicurinya berlayar ke tengah laut dia mulai memikirkan apa yang akan dimintanya dari batu penggiling ajaib itu.

“Aku harus meminta sesuatu yang bisa membuatku menjadi kaya!” pikirnya.
“Garam!” teriaknya tiba-tiba, “Semua orang membutuhkan garam. Aku bisa menjualnya dengan harga mahal. Dan aku akan kaya!”

Maka dia mulai berlutut dan memutar batu penggiling tersebut sambil bergumam, “Garam! Garam! Beri aku garam!”

Dan dia mulai tertawa dan menari dengan gembira ketika dilihatnya butiran-butiran garam mengalir dari batu penggiling ajaib tersebut.

“Aku kaya!” teriaknya sambil terus bernyanyi dan menari.

Sementara penggiling batu itu terus berputar mengeluarkan butiran garam hingga memenuhi separuh kapal. Begitu si pencuri menyadarinya garam sudah hampir membuat kapal tenggelam. Dengan panik dia berusaha menghentikannya. Namun penggiling batu itu sudah tertimbun oleh gunungan garam, sehingga akhirnya kapal itu pun tenggelam bersama semua isinya. Hingga kini penggiling batu ajaib tersebut terus berputar dan terus menghasilkan garam karena tidak ada seorang pun yang berhasil menemukan dan menghentikannya. Itulah sebabnya sampai sekarang air laut selalu asin.

Asal Usul Guntur

Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka.

Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, “Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun.” Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati.

Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya.

Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari. ” Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu,” ujar Guru Shie. Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali.

Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie. “Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu,” kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti. Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur.

Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya “guntur”.

Senin, 26 Oktober 2009

The Magic Kettle


Tepat di tengah-tengah negara Jepang, tinggi di atas pegunungan, hidup seorang lelaki tua dalam sebuah rumah kecilnya. Ia sangat bangga dengan rumahnya dan tidak pernah lelah mengagumi putihnya warna tikar-tikar jeraminya dan dinding-dinding kertasnya yang cantik, yang bila dalam cuaca hangat terdorong ke belakang sehingga bau harum bunga-bunga dan pepohonan bisa masuk.

Suatu hari ia sedang berdiri melihat gunung di seberang rumahnya, ketika ia mendengar suara gaduh dalam kamar di belakangnya. Ia menoleh keliling dan pada pojok itu ia melihat sebuah ketel besi tua yang telah berkarat, yang mungkin telah bertahun-tahun tidak lihat terangnya hari. Bagaimana ketel itu bisa sampai ke sana orang tua itu tidak tahu, tapi ia mengamatinya dan mengawasinya secara cermat, dan ketika ia menemukan bahwa ketel itu masih utuh ia membersihkan debunya dan membawanya ke dapur. "Itulah rejeki nomplok," katanya, sambil tersenyum sendiri. "Sebuah ketel yang baik mahal harganya, dan tidak ada jeleknya memiliki ketel kedua bila suatu saat membutuhkannya. Ketelku hampir rusak sekarang, dan airnya sudah mulai bocor lewat pantatnya."

Kemudian ia memindahkan ketel itu dari api, mengisi ketel yang baru itu dengan air dan menaruhnya pada tempatnya.

Kejadian aneh terjadi begitu air dalam ketel itu menjadi panas, dan orang tua itu, yang berdiri di dekatnya, mengira bahwa ia pasti sedang bermimpi. Pertama pegangan ketel itu berangsur-angsur berubah bentuknya dan menjadi sebuah kepala, dan corotnya berubah menjadi ekor, sedangkan keluar dari tubuhnya muncul empat buah cakar, dan dalam beberapa menit saja orang tua itu mendapati dirinya sendiri sedang menyaksikan -- bukan ketel lagi, melainkan seekor mahkluk yang hidup yang orang-orang Jepang menyebutnya tanuki.

Ia melompat dari api dan meloncat-loncat ke seluruh ruangan itu seperti seekor anak kucing, berlari naik dinding dan ke atas langit-langit, sampai orang tua itu merasa kesal sekali jangan-jangan kamarnya yang cantik itu jadi berantakan. Ia berteriak kepada seorang tetangganya untuk minta bantuan, dan mereka berhasil menangkap tanuki dan menguncinya dengan aman dalam sebuah kotak kayu.

Kemudian, karena sangat lelah, mereka duduk dan bertukar pikiran tentang apa yang harus mereka lakukan dengan binatang yang menjengkelkan ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjuatnya dan meminta anak kecil yang sedang lewat untuk mengantarkan mereka seorang pedagang tertentu yang dipanggil Jimmu.

Ketika Jimmu datang, orang tua itu mengatakan kepadanya bahwa ia memiliki sesuatu yang ingin jual, dan ia mengangkat kotak kayu itu di mana ia mengurung tanuki tersebut. Tapi, anehnya, tanuki tersebut tidak ada dalam kotak itu, tidak ada selain ketel yang telah ia temukan di pojok itu. Kejadian ini sungguh sangat ganjil, tapi orang tua itu ingat apa yang telah terjadi di atas api dan tidak ingin menyimpan ketel itu dalam rumahnya lagi, maka, setelah tawar-menawar sebentar tentang harganya, Jimmu pergi dengan membawa ketel itu.

Nah belum lama Jimmu pergi ia merasa bahwa ketel itu semakin berat. Setibanya di rumah ia begitu lelah sehingga ia merasa lega setelah meletakkannya di pojok kamarnya dan kemudian melupakannya begitu saja.

Namun demikian, di tengah malam, ia dibangunkan oleh suara gaduh di pojok itu di mana ketel itu berdiri dan ia bangkit dari ranjangnya untuk mengetahui suara apa itu. Namun tak ada apa-apa selain ketel itu, yang kelihatan cukup tenang. Ia berpikir bahwa ia pasti telah bermimpi dan tidur lagi, hanya untuk dibangunkan oleh gangguan yang sama. Ia melompat dan pergi ke pojok itu dan, dengan sinar lampu ia selalu ia nyalakan, ia melihat bahwa ketel itu telah menjadi tanuki, yang berlari-lari dengan menyeret ekornya. Setelah lelah berlari-lari, tanuki itu berjungkirbalik beberapa kali di balkon karena hatinya begitu senang.

Pedagang itu sangat repot dengan apa yang harus dilakukan dengan makhluk itu, dan sudah hampir pagi ia baru bisa tidur. Tapi ketika ia membuka kedua matanya, tidak ada tanuki, selain ketel tua yang telah ia tinggalkan di pojok itu malam sebelumnya.

Segera setelah merapikan rumahnya, Jimmu mulai menceritakan ceritanya kepada seorang teman di sebelah rumahnya. Orang itu mendengarkan dengan tenang dan tidak kelihatan begitu heran sebagaimana harapan Jimmu, karena ia ingat telah mendengar sesuatu tentang sebuah ketel kerja yang menakjubkan pada masa mudanya.

"Pergilah dan bepetualanglah dengan ketel itu; pamerkanlah ia," katanya, "kau akan bisa menjadi orang kaya. Tapi pertama-tama hati-hatilah untuk meminta persetujuan tanuki. Juga akan bijaksana bila kau melakukan beberapa upacara sihir untuk mencegahnya melarikan diri karena melihat banyak orang."

Jimmu berterima kasih pada temannya atas nasehatnya, yang ia ikuti dengan tepat. Persetujuan tanuki diperoleh, dibangun sebuah stan dan di luarnya digantung sebuah pengumuman yang mengundang orang-orang untuk datang dan menyaksikan perubahan bentuk yang paling menakjubkan yang pernah dilihat.

Mereka datang berbondong-bondong, dan ketel itu berpindah dari tangan ke tangan. Mereka diijinkan untuk memeriksanya secara keseluruhan bahkan melihat di dalamnya. Kemudian Jimmu mengambilnya kembali dan, setelah meletakkan ketel itu di atas panggung, memerintahkannya untuk menjadi tanuki. Dalam waktu sekejap pegangan ketel itu mulai berubah menjadi kepala dan corotnya menjadi ekor, sedangkan keempat cakarnya muncul pada sisi-sisinya.

"Menarilah," kata Jimmu, dan tanuki itu melangkah-langkah, pertama bergerak di atas satu sisi dan kemudian ke sisi lainnya, sampai akhirnya orang-orang tidak bisa lagi bersikap tenang untuk tidak ikut menari. Dengan gemulai tanuki memimpin tarian kipas dan meluncur tanpa henti beralih ke tarian bayangan dan tarian payung, dan kelihatan seakan-akan ia terus menari selamanya. Dan sangat mungkin makhluk ini bisa menari terus-menerus, Jika Jimmu tidak menyatakan bahwa tanuki telah menari dengan cukup dan sekarang panggungnya harus ditutup.

Berhari-hari panggung itu selalu penuh sehingga sulit sekali untuk masuk ke dalamnya, dan apa yang diramalkan oleh tetangganya menjadi kenyataan dan Jimmu menjadi orang kaya. Namun tidak merasa bahagia. Ia adalah orang jujur dan berpikir bahwa ia harus membagikan sebagian dari kekayaannya kepada orang yang telah menjual ketel itu kepadanya.

Satu pagi, ia menaruh seratus keping uang emas ke dalam ketel itu dan, dengan menggantungkannya diatas lengannya, ia kembali ke rumah orang tua yang telah menjual ketel itu kepadanya. "Aku tak punya hak lagi untuk menyimpannya lebih lama lagi," tambahnya ketika ia telah menceritakan kisahnya, "jadi aku membawanya kembali kepadamu, dan di dalamnya kau dapat menemukan seratus keping emas yang telah kutaruh di dalamnya sebagai upah sewanya."

Orang itu berterima kasih pada Jimmu, dengan mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang jujur. Dan ketel itu memberikan keberuntungan kepada mereka berdua; segala sesuatu berjalan baik-baik saja dengan mereka sampai mereka meninggal, yang mesti mereka alami bila mereka sudah benar-benar sangat tua dan dihormati oleh setiap orang.