Selasa, 04 Mei 2010

Lionel Messi: The New Maradona (II)


Para penggemar Newel’s Old Boys menjuluki Messi, El Enano (Si Kerdil), sedangkan kakaknya, Rodrigo, memanggilnya El Pulgo (Si Kutu). Kedua-duanya merujuk pada fisik Messi yang mungil, tapi merepotkan setiap pemain tim lawan.

Carlos Morales, pelatih yang empat tahun menangani Messi di Newell’s, mengingat murid kesayangannnya itu sebagai pemain yang pendiam. “Leo tak banyak bicara, tapi dia sangat disiplin dan seorang pendengar yang baik. “Setiap berangkat berlatih, Messi membersihkan sepatunya sendiri, menyiapkan perlengkapan, dan meski dia merayakan ulang tahun, dia tetap tidur tak terlalu larut untuk menjaga kondisi.

Nenek Celia tentu saja sangat bangga. Upayanya memompa bakat sang cucu tidak sia-sia. Sayangnya, sang nenek tak bisa melihat Messi beroleh kebesaran yang lebih besar. Nenek Celia meninggal pada 1998 saat Messi masih di Newell’s Old Boys.

Namun sang nenek masih mengikuti perjalanan sulit cucunya pada masa kanak-kanak. Ini berkaitan dengan ketidaknormalan perkembangan hormon pertumbuhan Messi. “BIla tidak diatasi, pertumbuhan badannya akan berhenti pada 150 centimeter, tidak lebih,” kata Jorge.

Sejak awal 1998, Messi membawa kemana-mana kotak obat yang berisi hormon pertumbuhan. “Dia kerap bermain di rumah saya, “kata salah seorang sahabatnya sekaligus rekan di tim anak-anak Newell’s, Lucas Scaglia. “Bila dia bermalam di rumah saya, dia datang dan langsung meletakkan kotak obatnya di dalam kulkas. Setelah petang, dia ke dapur untuk menyuntik dirinya. Setelah itu, dia kembali bermain dengan saya seperti tidak terjadi apa-apa.”

Messi masih mengingat masa-masa itu. “Saya menyuntikkan obat seperti menggosok gigi. Pada awalnya, orang-orang heran dan bertanya, untuk apa saya melakukannya. Setelah terbiasa, mereka pun jadi biasa melihat saya membawa kotak obat dan menyuntikkan kepada diri sendiri.”

Jorge mengandalkan asuransi kesehatan keluarga dan asuransi dari perusahaannya untuk membeli hormon itu. Biaya sebesar US$1000-1500 (sekitar 9,5 sampai 14 juta dolar Amerika Serikat). Ketika krisis ekonomi melanda Argentina, perusahaan Jorge terkena imbasnya juga.

Jorge tak lagi punya uang berlebih untuk membiaya kesehatan anaknya. Presiden Newell’s Sergio Almiron juga angkat tangan dan cuma bisa membantu dengan mengirim Jorge uang 200 peso (sekitar 500 ribu rupiah) sebanyak dua kali.

Jorge berinisiatif membawa Messi ke klub yang lebih besar; yaitu River Plate, salah satu klub ternama di ibu kota negara, Buenos Aires. Kenyataannya, River menampik karena tak mampu menanggung biaya pengobatan Messi.

“Malaikat penolong” datang. namanya Josep Maria Minguella, agen pencari bakat bagi Barcelona. “Saya tak terbaisa mencari pemain yang terlalu muda bagi Barca,” katanya. “Namun dua rekan kerja saya di Argentina memaksa saya untuk menengok, yang kata mereka seorang calon pemain fenomenal.”

Messi pun mendapat kesempatan untuk memperagakan permainannya di hadapan Presiden Barcelona saat itu, Carlos Rexach. Sang presiden kesengsem berat. Messi bersama ayahnya berada di markas Barcelona selama dua pekan. Setelah itiu, Jorge, menggertak Barcelona dengan mengatakan, “kontrak anak saya dan saya membawa semua keluarganya ke sini, atau saya akan mencari klub lain.”

Rexach mengabulkan permintaan itu. Di kemudian hari, kedua belah pihak mensyukuri kesepakatan yang mereka buat. Messi mendapat perawatan kesehatan dan beroleh wadah yang tepat untuk bakatnya, sedangkan Barcelona mendapat pelayanan istimewa dari Messi. Tinggi badan Messi pada usianya yang sekarang 22 tahun adalah 169 sentimeter; lewat banyak dari sekadar 150 centimeter seperti diagnosis awal.

Bersama Messi, La Braugrana-julukan Barcelona- mengumpulkan tiga gelar Liga Spanyol, satu Piala Raja, tiga Piala Super Spanyol, dua gelar Liga Champions, satu Piala Super Eropa, dan meraih juara Piala Dunia Antarklub untuk pertama kalinya. Di surga sana, Nenek Celia pasti tersenyum puas untuk cucu tercintanya.

Lionel Messi: The New Maradona (I)


Tampil di panggung kehormatan untuk menerima anugerah sebagai pemain terbaik 2009 di markas FIFA di Zurich, Swiss, 22 Desember 2009, Lionel Messi terbang ke Argentina sehari kemudian. Penyerang Barcelona itu menikmati liburan di kampung halamannya, Rosario, Santa Fe, bersama orang-orang tercintanya: kedua orang tuanya, Jorge dan Celia; kedua kakak laki-lakinya, Rodrigo dan Matias, serta adik perempuannya, Maria Sol.

Ada satu orang tercinta yang terlewat, yaitu sang nenek, yang bernama sama dengan ibunya, Celia. Si nenek meninggal dunia pada 1998, jauh sebelum Messi memborong banyak gelar individual tahun ini: pemain terbaik Eropa, pemain terbaik dunia, pemain terbaik Piala Dunia Antarklub, juga pemain-pemain terbaik versi lain. “Tanpa nenek, saya tak akan meraih semua itu.”

Messi lahir di Rosario, 24 Juni 1987. Dia sudah menendang-nendang apapun yang berbentuk bulat- dari plastik, potongan-potongan kain, hingga potongan karet- pada usia dua tahun. Neneknya adalah orang pertama yang membelikan Messi bola plastik pada usia tiga tahun. Saat sang ibu kuatir Messi terluka karena berbenturan dengan temen-temannya yang memiliki fisik lebih besar, si nenek malah berseru, “Biarkan anakmu bermain bola, itu tak akan membuat terluka.”

Messi bukan berasal dari keluarga berpunya, meski juga tidak miskin. Ayahnya, Jorge, seorang supervisor perusahaan baja Acindar. Ibunya petugas cleaning service paruh waktu. Di sela pekerjaannya, Jorge terkadang melatih anak-anak di kampungnya bermain bola, termasuk Rodrigo dan Matias.

Namun mata Nenek Celia lebih tajam daripada menantunya, Jorge, dalam melihat bakat Messi. Satu hari pada 1992, sang nenek mendatangi pelatih klub lokal, Grandoli, Salvador Aparicio. “Don Apa (Aparieio), lihatlah permainan Leo, betapa uniknya permainan cucuku.” Kalimat itu masih diingat betul oleh Aparicio sampai sekarang.

Rumah Aparicio cuma berjarak beberapa blok dari rumah keluarga Messi. Sebagai tetangga yang baik, Aparicio memenuhi permintaan Dona Celia untuk menguji kemampuan Messi. Dan sebenarnya Aparicio sendiri telah kerap mengamati Messi bila menendang-nendangkan bola ke tembok, trotoar, atau apapun yang ada di lingkungan mereka.

“Saya memberinya bola dan anak itu memainkannya seperti telah memainkan bola sepanjang hidupnya,” kata Aparicio mengenang pelatih Grondali ini langsung merekrut Messi di klub anak-anaknya. Saat itu Messi berusia lima tahun. Sang ayah, Jorge, memuji upaya ibu mertuanya itu di kemudian hari. “Ibu saya memiliki visi yang tajam.”

Tiga tahun kemudian, pada 1995, Messi berhasil menembus klub anak-anak milik Newell’s Old Boys, satu dari dua klub besar di Provinsi Santa Fe. Cerita soal anak yang memiliki bakat sebesar Maradona pun lebih tersiar luas. “Orang-orang rela membeli tiket sekedar melihat Leo berlatih,” kata Jorge bangga.

“Tubuhnya lebih kecil dari temen seusianya, apalagi dengan teman-teman yang lebih tua,” ujar salah seorang guru sekolah dasar Messi, Diana Ferretti. “Tapi dia jenius. Leo kerap membuat saya tertawa karena semua temannya menjadi tambah bodoh bila Leo memainkan bola.”