Kamis, 27 Januari 2011

Brooklyn Bridge's Story


Alkisah, pada tahun 1867 hiduplah seorang ahli teknik bernama John Roebling. Ia bermimpi membangun sebuah jembatan yang menghubungkan kota New York dan Long Island. Impian John ditertawakan oleh banyak temannya. Karena itu, John hanya bisa berbagi impian dengan anaknya, Washington Roebling. Washington juga seorang ahli teknik. Ayah dan anak itu berjuang bersama untuk mewujudkan mimpi itu.

Ketika proyek itu baru berjalan beberapa bulan, terjadi kecelakaan. John Roebling meninggal. Sedangkan Washington mengalami cedera pada kepala hingga tidak dapat bergerak dan berbicara. Namun, jembatan impian John tidak pernah padam dalam pikiran Wahington. Ia berusaha mendorong teman-temannya untuk melanjutkan proyek jembatan itu. Sayangnya, tidak ada seorang teman pun yang mau menolongnya.

Suatu ketika, saat Washington terbaring di tempat tidur, ia melihat cahaya matahari melewati jendela kamarnya. Untuk sesaat Washington seakan melihat langit dan puncak pohon. Washington merasa hal itu tanda dirinya tidak boleh menyerah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan satu jarinya. Perlahan-lahan, Washington membuat kode untuk berkomunikasi dengan isterinya, Emily, lewat satu jari itu.

Dengan cara itu, Washington bisa memberi petunjuk untuk melanjutkan pembuatan jembatan. Semua instruksi itu diberikan kepada Emily, yang lalu disampaikan kepada para pekerjanya. Setelah berjuang selama 13 tahun, akhirnya jembatan impian John selesai dibangun. Sampai kini jembatan itu masih berdiri megah. Itulah Jembatan Brooklyn (Brooklyn Bridge) di Kota New York, Amerika Serikat.

Cerita di atas mengajak kita untuk tidak pernah menyerah. Agar impian kita terwujud, kita harus berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkannya.

Eagle and Crow


Di sebuah padang rumput yang luas, terdapat banyak hewan sedang mencari makan. Di antaranya adalah kawanan domba yang sedang digembalakan oleh penggembala. Pada salah satu pohon, ada seekor burung gagak sedang menatap ke arah kawanan domba tersebut.. “Mmmh… aku lapar sekali,sejak pagi belum makan,” ujarnya.

Tiba-tiba, seekor elang raksasa terbang rendah di dekatnya. Kemudian, elang itu menyambar seekor anak domba dan menerbangkannya ke angkasa. “Wah, hebat sekali si elang, aku iri padanya,” ucap si gagak dalam hati. Lalu ia merencanakan untuk berburu seekor anak domba pula. “Aku juga bangsa burung.

Aku pun harus bisa menyambar seekor anak domba seperti elang tadi,” pikirnya. Kemudian si gagak mulai terbang dan melintas di atas padang rumput. Ia hendak memilih seekor anak domba untuk dijadikan mangsanya. “Hmm, lebih baik aku memilih domba yang besar saja. Dagingnya pasti lebih banyak,” pikirnya lagi.

Ia bergegas terbang ke kawanan domba. “Ini, yang paling besar dan gemuk,” ujarnya. Ia pun hingga di atas punggung domba yang dipilihnya. Ia menarik domba itu dengan seluruh kekuatannya. Tetapi domba itu berat sekali. Burung gagak tak bisa menggesernya.

Burung gagak menghujamkan cakarnya ke dalam bulu domba yang tebal. Sekali lagi ia berusaha menerbangkan domba itu. Tetapi, memindahkan tubuh domba itu saja ia tidak sanggup. Perbuatan burung gagak itu diketahui oleh penggembala. Penggembala itu lari sambil berteriak,” pencuri…”

Burung gagak berusaha terbang. Malang cakarnya tersangkut di antara bulu domba itu. Ia pun dipukuli oleh penggembala itu.

Rabu, 12 Januari 2011

The Boy Who Cried Wolf


Seorang anak gembala selalu menggembalakan domba milik tuannya dekat suatu hutan yang gelap dan tidak jauh dari kampungnya. Karena mulai merasa bosan tinggal di daerah peternakan, dia selalu menghibur dirinya sendiri dengan cara bermain-main dengan anjingnya dan memainkan serulingnya.

Suatu hari ketika dia menggembalakan dombanya di dekat hutan, dia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya apabila dia melihat serigala, dia merasa terhibur dengan memikirkan berbagai macam rencana.

Tuannya pernah berkata bahwa apabila dia melihat serigala menyerang kawanan dombanya, dia harus berteriak memanggil bantuan, dan orang-orang sekampung akan datang membantunya. Anak gembala itu berpikir bahwa akan terasa lucu apabila dia pura-pura melihat serigala dan berteriak memanggil orang sekampungnya datang untuk membantunya. Dan anak gembala itu sekarang walaupun tidak melihat seekor serigala pun, dia berpura-pura lari ke arah kampungnya dan berteriak sekeras-kerasnya, "Serigala, serigala!"

Seperti yang dia duga, orang-orang kampung yang mendengarnya berteriak, cepat-cepat meninggalkan pekerjaan mereka dan berlari ke arah anak gembala tersebut untuk membantunya. Tetapi yang mereka temukan adalah anak gembala yang tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang-orang sekampung.

Beberapa hari kemudian, anak gembala itu kembali berteriak, "Serigala! serigala!", kembali orang-orang kampung yang berlari datang untuk menolongnya, hanya menemukan anak gembala yang tertawa terbahak-bahak kembali.

Pada suatu sore ketika matahari mulai terbenam, seekor serigala benar-benar datang dan menyambar domba yang digembalakan oleh anak gembala tersebut.

Dalam ketakutannya, anak gembala itu berlari ke arah kampung dan berteriak, "Serigala! serigala!" Tetapi walaupun orang-orang sekampung mendengarnya berteriak, mereka tidak datang untuk membantunya. "Dia tidak akan bisa menipu kita lagi," kata mereka.

Serigala itu akhirnya berhasil menerkam dan memakan banyak domba yang digembalakan oleh sang anak gembala, lalu berlari masuk ke dalam hutan kembali.

The story of Mosquito


Di suatu negeri antah-berantah bertahtalah seorang raja yang arif bijaksana. Raja itu hidup bersama permaisuri dan putra-putrinya. Rakyat sangat mencintainya. Istananya terbuka setiap waktu untuk dikunjungi siapa saja. Ua mau mendengar pendapat dan pengaduan rakyatnya. Anak-anak pun boleh bermain-main di halaman sekitar istana.

Di negeri itu hidup juga seorang janda dengan seorang anaknya yang senang bermain di sekitar istana. Setiap pergi ke istana, ia selalu membawa binatang kesayangannya, seekor nyamuk. Leher nyamuk itu diikat dengan tali dan ujung tali dipegangnya. Nyamuk akan berjalan mengikuti ke mana pun anak itu pergi.

Pada suatu sore, anak itu sedang bermain di sekitar halaman istana. Karena asyik bermain, ia lupa hari sudah mulai gelap. Raja yang baik itu mengingatkannya dan menyuruhnya pulang.

“Orang tuamu pasti gelisah menantimu,” kata raja. “Baik, Tuanku,” sahutnya, “karena hamba harus cepat-cepat pulang, nyamuk ini hamba titipkan di istana.” “Ikatkan saja di tiang dekat tangga,” sahut raja.

Keesokan harinya, anak itu datang ke istana. Ia amat terkejut melihat nyamuknya sedang dipatuk dan ditelan seekor ayam jantan. Sedih hatinya karena nyamuk yang amat disayanginya hilang. Ia mengadukan peristiwa itu kepada raja karena ayam jantan itu milik raja.

“Ambillah ayam jantan itu sebagai ganti,” kata raja.

Anak itu mengucapkan terima kasih kepada raja. Kaki ayam jantan itu pun diikat dengan tali dan dibawa ke mana saja. Sore itu ia kembali bermain-main di sekitar istana. Ayam jantannya dilepas begitu saja sehingga bebas berkeliaran ke sana kemari. Ayam jantan itu melihat perempuan-perempuan pembantu raja sedang menumbuk padi di belakang istana, berlarilah dia ke sana. Dia mematuk padi yang berhamburan di atas tikar di samping lesung, bahkan berkali-kali dia berusaha menyerobot padi yang ada di lubang lesung.

Para pembantu raja mengusir ayam jantan itu agar tidak mengganggu pekerjaan mereka. Akan tetapi, tak lama kemudian ayam itu datang lagi dan dengan rakusnya berusaha mematuk padi dalam lesung.

Mereka menghalau ayam itu dengan alu yang mereka pegang. Seorang di antara mereka bukan hanya menghalau, tetapi memukulkan alu dan mengenai kepala ayam itu. Ayam itu menggelepargelepar kesakitan. Darah segar mengalir dari kepala. Tidak lama kemudian, matilah ayam itu.

Alangkah sedih hati anak itu melihat ayam kesayangannya mati. Ia datang menghadap raja memohon keadilan. “Ambillah alu itu sebagai ganti ayam jantanmu yang mati!” kata raja kepadanya.

Anak itu bersimpuh di hadapan raja dan menyampaikan rasa terima kasih atas kemurahan hati raja.

“Hamba titipkan alu itu di sini karena di rumah ibu hamba tidak ada tempat untuk menyimpannya,” pintanya. “Sandarkanlah alu itu di pohon nangka,” kata raja. Pohon nangka itu rimbun daunnya dan lebat buahnya.

Keesokan harinya, ketika hari sudah senja, ia bermaksud mengambil alu itu untuk dibawa pulang. Akan tetapi, alu itu ternyata patah dan tergeletak di tanah. Di sampingnya terguling sebuah nangka amat besar dan semerbak baunya.

“Nangka ini rupanya penyebab patahnya aluku,” katanya, “aku akan meminta nangka ini sebagai ganti aluku kepada raja!” Raja tersenyum mendengar permintaan itu. “Ambillah nangka itu kalau engkau suka,” kata raja. “Tetapi, hari sudah mulai gelap!” kata anak itu. “Hamba harus cepat tiba di rumah. Kalau terlambat, ibu akan marah kepada hamba. Hamba titipkan nangka ini di istana.” “Boleh saja,” ujar raja, “letakkan nangka itu di samping pintu dapur!”

Bau nangka yang sedap itu tercium ke seluruh istana. Salah seorang putri raja juga mencium bau nangka itu. Seleranya pun timbul.

“Aku mau memakan nangka itu!” kata putri berusaha mencari dimana nangka itu berada. “Kaiau nangka itu masih tergantung di dahan, aku akan memanjat untuk mengambilnya!”

Tentu saja putri raja tidak perlu bersusah payah memanjat pohon nangka karena nangka itu ada di samping pintu dapur. Ia segera mengambil pisau dan nangka itu pun dibelah serta dimakan sepuas-puasnya.

Kita tentu dapat menerka kejadian selanjutnya. Anak itu menuntut ganti rugi kepada raja. Pada mulanya raja bingung, tetapi dengan lapang dada beliau bertitah, “Ketika nyamukmu dipatuk ayam jantan, ayam jantan itu menjadi gantinya. Ketika ayam jantan mati karena alu, kuserahkan alu itu kepadamu. Demikian pula ketika alumu patah tertimpa nangka, nangka itu menjadi milikmu. Sekarang, karena putriku menghabiskan nangkamu, tidak ada jalan lain selain menyerahkan putriku kepadamu.”

Putri raja sebaya dengan anak itu. Akan tetapi, mereka belum dewasa sehingga tidak mungkin segera dinikahkan. Ketika dewasa, keduanya dinikahkan. Raja merayakan pesta secara meriah. Setelah raja meninggal, anak itu menggantikan mertuanya naik takhta. Ibunya juga diajak untuk tinggal di istana.

Rabu, 05 Januari 2011

Sikap Seorang Prajurit


ADA sebuah kisah pada zaman Alexander The Great, sekian ribu tahun sebelum Masehi. Seorang anggota pasukan Alexander yang gagah perkasa, merampas sebuah kendi dari tangan seorang petani tua yang akan mereguk airnya. Hari sedang panas terik, sehingga sangat menyiksa tubuh dan menimbulkan kehausan amat sangat. Tak ada sumur atau sungai di dekat situ. Hanya kendi air milik petani tua tadi.

Petani tua tak berdaya. Tapi sempat bertanya. Apakah Anda tak punya air, wahai prajurit? Tidak. Airku sudah habis sejak dua hari yang lalu. Tapi Anda masih punya rasa malu, bukan? tanya petani itu lagi.

Apa maksudmu? Sang prajurit keheranan, hingga tak jadi mengangkat kendi ke bibirnya. Rasa malu telah merebut seteguk air dari seorang petani tua yang lemah tak berdaya. Padahal Anda masih punya kuda dan kekuatan untuk mencari sumber air yang isinya lebih dari isi kendi ini.

Prajurit terhenyak. Meminta maaf sambil menyerahkan kembali kendi yang cuma berisi setetes air itu kepada petani tua. Rasa malu telah menghadangnya dari berbuat zalim. Oleh Alexander, pengalaman prajurit itu ditorehkan dalam sebuah prasasti yang di Kota Ephesus (wilayah Turki sekarang), berbunyi, “Memiliki rasa malu adalah bukti keperwiraan para prajurit. Para perwira yang tak punya rasa malu, nilai pangkatnya lebih rendah dari para prajurit”.