Selasa, 04 Mei 2010
Lionel Messi: The New Maradona (I)
Tampil di panggung kehormatan untuk menerima anugerah sebagai pemain terbaik 2009 di markas FIFA di Zurich, Swiss, 22 Desember 2009, Lionel Messi terbang ke Argentina sehari kemudian. Penyerang Barcelona itu menikmati liburan di kampung halamannya, Rosario, Santa Fe, bersama orang-orang tercintanya: kedua orang tuanya, Jorge dan Celia; kedua kakak laki-lakinya, Rodrigo dan Matias, serta adik perempuannya, Maria Sol.
Ada satu orang tercinta yang terlewat, yaitu sang nenek, yang bernama sama dengan ibunya, Celia. Si nenek meninggal dunia pada 1998, jauh sebelum Messi memborong banyak gelar individual tahun ini: pemain terbaik Eropa, pemain terbaik dunia, pemain terbaik Piala Dunia Antarklub, juga pemain-pemain terbaik versi lain. “Tanpa nenek, saya tak akan meraih semua itu.”
Messi lahir di Rosario, 24 Juni 1987. Dia sudah menendang-nendang apapun yang berbentuk bulat- dari plastik, potongan-potongan kain, hingga potongan karet- pada usia dua tahun. Neneknya adalah orang pertama yang membelikan Messi bola plastik pada usia tiga tahun. Saat sang ibu kuatir Messi terluka karena berbenturan dengan temen-temannya yang memiliki fisik lebih besar, si nenek malah berseru, “Biarkan anakmu bermain bola, itu tak akan membuat terluka.”
Messi bukan berasal dari keluarga berpunya, meski juga tidak miskin. Ayahnya, Jorge, seorang supervisor perusahaan baja Acindar. Ibunya petugas cleaning service paruh waktu. Di sela pekerjaannya, Jorge terkadang melatih anak-anak di kampungnya bermain bola, termasuk Rodrigo dan Matias.
Namun mata Nenek Celia lebih tajam daripada menantunya, Jorge, dalam melihat bakat Messi. Satu hari pada 1992, sang nenek mendatangi pelatih klub lokal, Grandoli, Salvador Aparicio. “Don Apa (Aparieio), lihatlah permainan Leo, betapa uniknya permainan cucuku.” Kalimat itu masih diingat betul oleh Aparicio sampai sekarang.
Rumah Aparicio cuma berjarak beberapa blok dari rumah keluarga Messi. Sebagai tetangga yang baik, Aparicio memenuhi permintaan Dona Celia untuk menguji kemampuan Messi. Dan sebenarnya Aparicio sendiri telah kerap mengamati Messi bila menendang-nendangkan bola ke tembok, trotoar, atau apapun yang ada di lingkungan mereka.
“Saya memberinya bola dan anak itu memainkannya seperti telah memainkan bola sepanjang hidupnya,” kata Aparicio mengenang pelatih Grondali ini langsung merekrut Messi di klub anak-anaknya. Saat itu Messi berusia lima tahun. Sang ayah, Jorge, memuji upaya ibu mertuanya itu di kemudian hari. “Ibu saya memiliki visi yang tajam.”
Tiga tahun kemudian, pada 1995, Messi berhasil menembus klub anak-anak milik Newell’s Old Boys, satu dari dua klub besar di Provinsi Santa Fe. Cerita soal anak yang memiliki bakat sebesar Maradona pun lebih tersiar luas. “Orang-orang rela membeli tiket sekedar melihat Leo berlatih,” kata Jorge bangga.
“Tubuhnya lebih kecil dari temen seusianya, apalagi dengan teman-teman yang lebih tua,” ujar salah seorang guru sekolah dasar Messi, Diana Ferretti. “Tapi dia jenius. Leo kerap membuat saya tertawa karena semua temannya menjadi tambah bodoh bila Leo memainkan bola.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar