Sabtu, 30 Juli 2011

Keteguhan Pohon Cemara

Konon di tengah hutan, bunga mawar menertawakan pohon cemara seraya berkata;
“Meskipun anda tumbuh begitu tegap, tetapi anda tidak memiliki keharuman sehingga tidak dapat menarik kumbang dan lebah untuk mendekat.”

Pohon cemara diam saja. Demikianlah bunga mawar di mana-mana menyiarkan dan menceritakan tampak buruk pohon cemara, sehingga membuat pohon cemara tersingkir dan menyendiri di tengah hutan.

Ketika musim dingin datang dan turun salju yang lebat, bunga mawar yang sombong sangat sulit mempertahankan kehidupannya. Demikian pula dengan pohon dan bunga-bunga lainnya. Hanya pohon cemara yang masih tegak berdiri di tengah badai dingin yang menerpa bumi.

Di tengah malam yang sunyi, salju berbincang-bincang dengan pohon cemara.
Salju berkata; ” Setiap tahun saya datang ke bumi ini, selalu melihat kemakmuran dan keramaian di bumi berubah wajah. Hanya gersang dan sunyi senyap yang menyelimuti bumi. Namun, kamulah satu-satunya yang dapat melewati ujian saya dan berdiri tegak hingga dapat menahan segala macam tekanan alam. Begitu pula alam kehidupan dan manusia selalu mengalami perubahan.”

Demikianlah pembicaraan menarik antara pohon cemara dan salju yang terjadi
di tengah malam pada musim dingin.

Sedih dan gembira selalu datang silih berganti; hanya dengan keteguhan jiwa
dan pikiran, kebahagiaan itu dapat diraihnya. Caci maki dan fitnah tidak dapat menjatuhkan orang yang kuat.

Di dalam ungkapan Timur sering terdapat kata-kata :
” Menengadah ke langit dan membuang ludah.” dan “Menabur debu dengan angin yang berlawanan.” Ini semua mengisahkan kebodohan-kebodohan yang dilakukan seseorang dan pada akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Menghadapi fitnahan dan celaan, hendaknya seseorang berlapang dada bagaikan langit besar yang tak bertepi.

Cuaca terang dan berawan selalu silih berganti.

Belajar bagaikan cermin yang jernih dapat melihat keadaan sebenarnya.

Bunga mawar hanya merasakan kepuasan dan kecongkakan sejenak, tetapi pohon cemara dapat menghadapi, menerima dan menahan diri dengan tenang dan sabar.

Kita harus belajar dari sifat pohon cemara yang tegar menahan serangan, baik serangan yang bersifat tindakan, ucapan maupun pikiran ; dan menjadikannya sesuatu yang sejuk, hangat dan damai.

Jumat, 29 Juli 2011

Batu Besar dan Batu Kecil

Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan penuh semangat ia berdiri di depan kelas dan berkata, “Okey, sekarang waktunya untuk kuis”. Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di atas meja. Ia mengisi ember tersbut dengan batu sebesar kepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tak ada lagi batu yang bisa di masukkan ke dalam ember tersebut. Ia lalu bertanya kepada kelas, “Menurut kalian apakah ember ini telah penuh?”

Semua mahasiswa serentak berkata, “Ya!”.

Sang Dosen bertanya kembali, “Sungguhkan demikian?”, Kemudian dari dalam laci meja ia mengambil sekantung kerikil kecil dan menuangkan kerikil-kerikil itu kedalam ember lalu mengocok-kocok ember tadi sehingga kerikil-kerikil tadi turun kebawah mengisi celah-celah kosong diantara batu-batu. Kemudian sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah terisi penuh?”.

Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang diantara mereka menjawab, “Mungkin tidak”.

“Bagus sekali,” sahut sang dosen. Kemudain ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya kedalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu besar dan kerikil. Sekali lagi ia bertanya kepada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”

“Belum!”, sahut seluruh kelas.

Sekali lagi ia berkata, “Bagus, bagus sekali,” Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkannya ke dalam ember sampai air mencapai bibir ember. Lalu ia menoleh dan bertanya ke pada kelas, “Tahukah kalian apa maksud dari illustrasi ini?”

Seorang mahasiswa dengan bersemangat mengacungkan jari dan berkata, “Maksudnya adalah tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga pasti bisa mengerjakannya”.

“Oh, bukan,” sahut sang dosen. “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari ilustrasi ini mengajarkan kepada kita bahwa, bila anda tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya.”

“Apa yang dimaksud dengan “batu besar” didalam hidup anda?”, dosen itu melanjutkan, “Anak-anak anda, pasangan anda, pendidikan anda, hal-hal yang terpenting dalam hidup and. Mungkin itu sebuah hal yang mengajarkan kepada orang lain, melakukan pekerjaan yang anda sukai, waktu unutuk diri sendiri, kesehatan anda, teman, ataupun semua yang anda anggap berharga”.

“Ingatlah selalu untuk memasukkan “batu besar” terlebih dahulu atau anda akan kehilangan semuanya”, lanjut sang dosen. “Bila anda mengisinya dengan batu-batu kecil (semacam kerikil dan pasir), maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya bisa anda pakai untuk hal-hal yang lebih besar dan penting.”

“Oleh karena itu, pesan saya, setiap pagi atau malam ketika anda mengingat kuliah hari ini, tanyalah pada diri anda sendiri: Apakah “batu besar” dalam hidup saya?. Lalu kerjakan itu pertama kali!”, demikian sang dosen menutup kuliah hari itu.

Rabu, 27 Juli 2011

Sukses Menurut Socrates

Socrates (469-399 BC) adalah seorang filosof Yunani. Ia dikenal luas memiliki kearifan dan kecerdasan luar biasa. Tak mengherankan jika banyak sekali pemuda pada masa itu ingin menimba ilmu darinya, entah tentang bisnis, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Salah seorang pemuda diantaranya dijanjikan bertemu pada pagi hari di pantai.
Sebelumnya pemuda tersebut sudah mengutarakan kepada Socrates tentang keinginannya untuk belajar tentang bagaimana meraih kesuksesan.
Merekapun bertemu di tempat yang sudah mereka sepakati.

Socrates langsung memerintah pemuda itu masuk ke laut sampai air laut menenggelamkan tubuh mereka sebatas leher. Tanpa memberi komando, tiba-tiba Socrates menenggelamkan kepala pemuda tersebut. Dengan sekuat tenaga pemuda itu berjuang agar kembali ke permukaan.

Setelah melihat pemuda itu hampir pingsan, Socrates baru mengangkatkan kepala pemuda itu. Begitu muncul di permukaan air, pemuda itu langsung menarik nafas kuat-kuat untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Socrates lalu bertanya kepada pemuda itu, “Sewaktu di dalam air, apa yang paling kamu butuhkan?”

“Udara,” jawab pemuda itu singkat sambil terengah-engah.

“Itulah rahasia kesuksesan. Jika kamu ingin sukses, harus berjuang seperti kamu membutuhkan udara di dalam air. Kamu pasti sukses!” kata Socrates penuh makna sembari meninggalkan pemuda itu.

Kamis, 21 Juli 2011

Learning From Bamboo

Pada suatu waktu ada sebuah kebun yang ditanami oleh berbagai tanaman indah. Kebun itu dijaga dan dipelihara dengan sepenuh hati oleh seorang petani. Setiap hari ia menyiangi dan merawat semua tanaman yang tumbuh di sana dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Dari sekian tanaman yang ada dalam kebun itu, bambu adalah tanaman yang paling dicintainya. Bambu memang tanaman yang paling indah yang tumbuh di dalam kebun itu. 

Bambu tumbuh berbaris berjajar mengelilingi kebun bak pagar kokoh yang melindungi tanaman lain. Batangnya berdiri paling tinggi menjulang ke atas seolah menopang langit. Bila angin tiba, tubuhnya bergoyang-goyang lembut dan daunnya gemerisik melantunkan kidung merdu. Siapa pun yang mendengarnya pasti terpesona. Bila hujan turun, tetes-tetes sisa air hujan menggelayut di ujung-ujung daun berkilauan seperti anting-anting berlian dikenakan oleh seorang gadis cantik. 

Ranting-rantingnya taut-bertaut memberikan tempat bagi burung-burung untuk beristirahat. Di udara yang panas, daun-daun rindangnya menaungi tanaman kecil dari teriknya mentari. Petani itu selalu memandangi bambu itu dengan pandangan penuh suka cita. Suatu hari, petani itu mendatangi bambu. Ia mengusap batang bambu itu dan berbisik pada sang bambu. Dengan gembira, sang bambu merundukkan kepalanya perlahan agar dapat mendengar bisikan petani. 

Petani itu berbisik lembut, "Bambu oh bambu, aku bermaksud menggunakanmu." Bambu itu merasa berbahagia. Ia telah menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun ia memperkuat diri. Batangnya telah tumbuh hijau, kokoh, besar dan kuat.Kinitibalah waktu baginya untuk memenuhi takdir mengapa ia diciptakan di muka bumi. 

Bambu menjawab bisikan petani, "Oh, tuanku. Aku telah siap. Gunakan aku sebagaimana kau kehendaki."Bambu oh bambu," suara petani itu bergetar. "Aku harus menebang dan memotong tubuhmu." Bambu itu gemetar penuh ketakutan. "Oh, tuanku. Mengapa kau harus memotong tubuhku yang indah ini? Bukankah kau telah merawatku sedemikian rupa sehingga aku tumbuh menjadi bambu tercantik yang pernah ada. Jangan potong tubuhku. Gunakan saja aku sebagai penyejuk pandanganmu, penghias kebun ini." 

"Bambu oh bambu," suara petani itu semakin bergetar. "Bila aku tidak memotong tubuhmu aku tidak dapat menggunakanmu." Tiba-tiba suasana kebun itu menjadi sunyi senyap. Angin menahan nafasnya. Dengan perlahan sang bambu meluruhkan kebanggaannya, tunduk patuh pada permintaan tuannya yang telah merawat hidupnya selama ini. "Oh, tuanku. Bila kau tak dapat menggunakanku tanpa memotong tubuhku, maka lakukanlah. Potonglah tubuhku."

"Bambu oh bambu," lanjut petani. "Aku pun akan memangkas daun-daun dan ranting-rantingmu." "Oh, tuanku. Kasihanilah aku," rengek sang bambu. "Kau boleh memotong
tubuhku yang indah ini. Tetapi, mengapa kau harus memangkas daun dan ranting-ranting juga?""Bambu oh bambu. Bila aku tidak memangkasnya, aku tidak bisa menggunakanmu," jawab petani. Matahari menyembunyikan wajahnya. Dengung lebah pun terhenti. Sadar akan pengabdiannya pada petani, bambu itu pun menjawab, "Oh, tuanku. Lakukanlah." 

"Bambu oh bambu. Aku pun akan membelah tubuhmu menjadi dua dan memotong buku-bukumu, bila tidak aku tidak bisa menggunakanmu," kata petani. Sang bambu tersungkur di tanah penuh penyerahan diri. "Oh tuanku. Bila itu yang kau kehendaki, belahlah tubuhku." Kemudian, petani itu memotong bambu, membersihkan batangnya dari ranting-rantng dan daun-daun. Membelah batangnya menjadi dua dan membersihkan buku-bukunya. Setelah itu, dengan hati-hati petani memanggul bambu itu dan membawanya ke lembah bukit tempat sebuah mata air jernih memancar dari sela-sela batu. Ia lalu meletakkan satu ujung bambu untuk menampung air dan menyambung ujung satunya dengan batang bambu lain terus memanjang sehingga menuju sebuah sawah padi yang kering. 

Ya... bambu itu kini bertugas sebagai saluran air. Tubuhnya yang dulu menjulang tinggi, kini berkelok-kelok menuruni lembah menjadi tempat mengalirnya air bergemericik menuju sawah petani. Dan, petani pun bisa menanami sawahnya dengan pepadian. Beberapa bulan kemudian. Padi telah menguning matang dan siap untuk dipanen. Para petani dengan suka cita turun ke sawah memanennya. Pada saat itulah, sang bambu menyadari bahwa ia pernah begitu bangga dengan kecantikannya. Namun, dalam kepatuhan dan pengorbanan, kejayaan hidupnya tidak sedikitpun berkurang bahkan kini ia menjadi penyambung hidup bagi dunia yang lebih semesta.

It's not Because of You

Sebuah kapal karam diterjang badai hebat. Hanya dua lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke pulau kecil yang gersang. Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan kecuali berdoa.

Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat membagi pulau kecil itu menjadi dua dan mereka tinggal berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut.

Doa pertama, mereka memohon diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki ke satu melihat sebuah pohon penuh buah-buahan tumbuh di sisi tempat tinggalnya. Sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.

Seminggu kemudian, lelaki ke satu merasa kesepian dan memutuskan berdoa agar diberikan istri. Keesokan harinya, ada kapal karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang terdampar di sisi pulau tempat lelaki ke satu tinggal. Sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki ke dua tetap saja tidak ada apa-apanya.

Segera saja, lelaki ke satu ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya,seperti keajaiban, semua yang diminta hadir untuknya. Sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.

Akhirnya, lelaki ke satu ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi hari mereka menemukan kapal tertambat di sisi pantainya.

Segera saja lelaki ke satu dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan meninggalkan lelaki ke dua yang tinggal di sisi lain pulau.

Menurutnya, lelaki kedua itu tidak pantas menerima berkah tersebut karena doa-doanya tak pernah terkabulkan. Begitu kapal siap berangkat, lelaki ke satu mendengar suara dari langit, "Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulauini?"

"Berkahku hanyalah milikku sendiri, karena hanya doakulah yang dikabulkan," jawab lelaki ke satu. "Doa temanku itu tak satupun dikabulkan. Maka,ia tak pantas mendapatkan apa-apa."

"Kau salah!" suara itu membahana.

"Tahukah kau bahwa rekanmu itu hanya memiliki satu doa. Dan, semua doanya terkabulkan. Bila tidak, maka kau takkan mendapatkan apa-apa."

Lelaki ke satu itu bertanya, "Doa macam apa yang ia panjatkan sehingga aku harus berhutang atas semua ini padanya?"

"Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!"

Ketika Dua Hati Menyatu

Suatu hari, sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa ketika seseorang sedang marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid, setelah berpikir cukup lama, mengangkat tangan dan menjawab, "Karena saat itu ia telah kehilangan kesabaran, makanya ia berteriak."

"Tapi...sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus ?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar, menurut pertimbangan mereka. Namun, tak satu pun jawaban memuaskan.

Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara kedua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat." Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.

Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya, jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu, mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

"Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta ? Mereka tak hanya tidak berteriak, tetapi ketika mereka berbicara, suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya.

Mereka tampak berpikir amat dalam, tetapi tak satu pun beranimemberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Akhirnya, sepatah kata pun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Rabu, 20 Juli 2011

Seberapa Luas Hatimu?

Di sebuah dusun yang sunyi , tenang dan damai, ada seorang kakek bijak mendiami dusun tersebut, tak ada yang menemani sang kakek tinggal, ia hanya hidup sebatang kara, namun ia tetap men syukuri kehidupannya , maka tak heran beberapa peduduk dusun itu menjuluki si kakek itu dengan julukan si kakek bijak, karena petuahnya banyak mengandung arti bagaimana harus bersikap dan berprilaku dalam kehidupan ini.

Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda dusun yang sedang dirundung banyak masalah, langkahnya gontai, raut mukanya ruwet, seakan harapan tak lagi mau berpihak lagi kepadanya, tatap mata kosong, sehingga guratan secercah harapan tak tampak sedikitpun di wajahnya.
Sosok itu mengejutkan si kakek bijak yang sendari tadi, asyik dengan menganyam bambu untuk dibuat peralatan rumah tangga, karena dengan keahliannya itu ia tetap bertahan untuk hidup, hasil kerja dan jerih payahnya itu ia jual ke pasar dusun terdekat.

Tanpa membuang waktu pemuda itu menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi, karena ia percaya si kakek bijak pasti akan memberikan jalan keluarnya dari permasalahannya itu. Dan dengan bijaksana si kakek mendengarkan curahan hati pemuda itu dengan seksama.

Setelah selesai si pemuda itu menceritakan kesukarannya, si kakek bijak hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, lalu ia berjalan menuju kedapur yang tak jauh dari tempat duduknya itu, ia mengambil segenggam garam dan segelas air. “anak muda cobalah kau taburkan garam ini kedalam segelas air yang aku bawa ini dan aduklah air dan garam ini, “ pinta si kakek bijak , tanpa pikir panjang lagi si pemuda itu menaburkannya garam kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan-lahan. “Sudah kek ! , aku sudah aduk ratasekali garam dengan air ini ujar si pemuda itu, “ehmm….,cobalah kau minum larutan itu dan katakan bagaimana rasanya”, ujar kakek bijak itu.

“Pahit.., Asin tak karuan rasanya, kek …”, jawab pemuda itu, sambil ia meludah kesamping tak kuasa menahan rasa yang tak enak dari larutan itu.

Kakek bijak sedikit tersenyum. Lalu ia mengajak si pemuda itu berjalan ke tepi sebuah telaga yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang.

Kakek itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga dan dengan sepotong kayu dari rerutuhan pohon, ia membuat gelombang-gelombang dari adukan-adukan itu yang menciptakan riak-riak air di telaga. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah”, perintah kakek bijak. Saat pemuda itu selesai meneguk air telaga, si kakek bijak, kembali bertanya, “Bagaimana rasanya,?”

“Segar dan nyaman sekali di tenggorokan ku ini ”, sahut pemuda itu. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, Tanya Kakek bijak lagi. “Tidak”, jawab si pemuda.

Dengan kasih sayang dan bijaksannya, kakek bijak menepuk-nepuk punggung pemuda itu, ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga itu. “Anak muda !, dengarlah, pahitnya kehidupan itu adalah layaknya segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap selalu sama.”

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Kakek bijak itu kembali memberi nasehat, “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Akhirnya setelah mendapat petuah dari kakek bijak, si pemuda menyadari kenyataan kehidupan yang memang penuh dengan jalanyang berliku-liku.
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu, belajar memaknai kehidupan yang ada kala kita di atas dan adakalanya di bawah bagai roda pedati.

Minggu, 17 Juli 2011

In God We Trust

Alkisah....
Ada seorang pelanggan datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Ketika si tukang cukur mulai memotong rambut pelanggannya, mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat.

Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan.

Si tukang cukur bilang, “Saya nggak percaya Tuhan itu ada” cetusnya ketus..  

“Kenapa kamu ngomong begitu?” timpal si pelanggan heran. 
“Begini, coba kamu perhatikan di Iuar sana, di jalanan sana,
Adakah orang yang sakit?
Adakah anak terlantar? Adakah pengemis yang membawa anak? Banyak kan? Nah, jika Tuhan ada, nggak akan ada yang namanya orang sakit ataupun kesusahan. Saya tidak habis pikir membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang membiarkan ini semua terjadi.” tukas si tukang cukur panjang lebar.

Si pelanggan diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak mau memulai berdebat.

Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si pelanggan pergi meninggalkan tempat si tukang cukur.

Beberapa saat setelah dia meninggalkan ruangan itu
dia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar (jabrig awut-awutan istilah sunda-nya), kotor dan brewok yang tidak dicukur.
Orang itu terlihat dekil, kumal, kotor dan tidak terawat.

Kemudian si pelanggan balik ke tempat tukang cukur dan berkata,
“Kamu tahu, sebenarnya tukang cukur itu nggak ada!” tegasnya.
Si tukang cukur tidak terima, “Kamu kok bisa bilang begitu? Saya disini dan saya tukang cukur. Dan barusan aja saya mencukurmu!?”
“Tidak!” elak si pelanggan.
“Tukang cukur itu nggak ada. Sebab jika ada,
nggak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan
seperti orang yang di luar sana.” si pelanggan menambahkan.
“Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!” sanggah si tukang cukur.
“Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya.” jawab si tukang cukur membela diri.
“Tepat!” timpal si konsumen menyetujui.
“Itulah point utamanya, sama dengan Tuhan. Tuhan itu juga ada!  Tapi apa yang terjadi, orang-orang tidak mau datang kepada-Nya dan malas untuk mencari-Nya. Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di negeri ini.” jelas si pelanggan tegas.

Si tukang cukur pun speechless…