Pada suatu waktu ada sebuah kebun yang ditanami oleh berbagai tanaman indah. Kebun itu dijaga dan dipelihara dengan sepenuh hati oleh seorang petani. Setiap hari ia menyiangi dan merawat semua tanaman yang tumbuh di sana dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Dari sekian tanaman yang ada dalam kebun itu, bambu adalah tanaman yang paling dicintainya. Bambu memang tanaman yang paling indah yang tumbuh di dalam kebun itu.
Bambu tumbuh berbaris berjajar mengelilingi kebun bak pagar kokoh yang melindungi tanaman lain. Batangnya berdiri paling tinggi menjulang ke atas seolah menopang langit. Bila angin tiba, tubuhnya bergoyang-goyang lembut dan daunnya gemerisik melantunkan kidung merdu. Siapa pun yang mendengarnya pasti terpesona. Bila hujan turun, tetes-tetes sisa air hujan menggelayut di ujung-ujung daun berkilauan seperti anting-anting berlian dikenakan oleh seorang gadis cantik.
Ranting-rantingnya taut-bertaut memberikan tempat bagi burung-burung untuk beristirahat. Di udara yang panas, daun-daun rindangnya menaungi tanaman kecil dari teriknya mentari. Petani itu selalu memandangi bambu itu dengan pandangan penuh suka cita. Suatu hari, petani itu mendatangi bambu. Ia mengusap batang bambu itu dan berbisik pada sang bambu. Dengan gembira, sang bambu merundukkan kepalanya perlahan agar dapat mendengar bisikan petani.
Petani itu berbisik lembut, "Bambu oh bambu, aku bermaksud menggunakanmu." Bambu itu merasa berbahagia. Ia telah menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun ia memperkuat diri. Batangnya telah tumbuh hijau, kokoh, besar dan kuat.Kinitibalah waktu baginya untuk memenuhi takdir mengapa ia diciptakan di muka bumi.
Bambu menjawab bisikan petani, "Oh, tuanku. Aku telah siap. Gunakan aku sebagaimana kau kehendaki."Bambu oh bambu," suara petani itu bergetar. "Aku harus menebang dan memotong tubuhmu." Bambu itu gemetar penuh ketakutan. "Oh, tuanku. Mengapa kau harus memotong tubuhku yang indah ini? Bukankah kau telah merawatku sedemikian rupa sehingga aku tumbuh menjadi bambu tercantik yang pernah ada. Jangan potong tubuhku. Gunakan saja aku sebagai penyejuk pandanganmu, penghias kebun ini."
"Bambu oh bambu," suara petani itu semakin bergetar. "Bila aku tidak memotong tubuhmu aku tidak dapat menggunakanmu." Tiba-tiba suasana kebun itu menjadi sunyi senyap. Angin menahan nafasnya. Dengan perlahan sang bambu meluruhkan kebanggaannya, tunduk patuh pada permintaan tuannya yang telah merawat hidupnya selama ini. "Oh, tuanku. Bila kau tak dapat menggunakanku tanpa memotong tubuhku, maka lakukanlah. Potonglah tubuhku."
"Bambu oh bambu," lanjut petani. "Aku pun akan memangkas daun-daun dan ranting-rantingmu." "Oh, tuanku. Kasihanilah aku," rengek sang bambu. "Kau boleh memotong
tubuhku yang indah ini. Tetapi, mengapa kau harus memangkas daun dan ranting-ranting juga?""Bambu oh bambu. Bila aku tidak memangkasnya, aku tidak bisa menggunakanmu," jawab petani. Matahari menyembunyikan wajahnya. Dengung lebah pun terhenti. Sadar akan pengabdiannya pada petani, bambu itu pun menjawab, "Oh, tuanku. Lakukanlah."
"Bambu oh bambu. Aku pun akan membelah tubuhmu menjadi dua dan memotong buku-bukumu, bila tidak aku tidak bisa menggunakanmu," kata petani. Sang bambu tersungkur di tanah penuh penyerahan diri. "Oh tuanku. Bila itu yang kau kehendaki, belahlah tubuhku." Kemudian, petani itu memotong bambu, membersihkan batangnya dari ranting-rantng dan daun-daun. Membelah batangnya menjadi dua dan membersihkan buku-bukunya. Setelah itu, dengan hati-hati petani memanggul bambu itu dan membawanya ke lembah bukit tempat sebuah mata air jernih memancar dari sela-sela batu. Ia lalu meletakkan satu ujung bambu untuk menampung air dan menyambung ujung satunya dengan batang bambu lain terus memanjang sehingga menuju sebuah sawah padi yang kering.
Ya... bambu itu kini bertugas sebagai saluran air. Tubuhnya yang dulu menjulang tinggi, kini berkelok-kelok menuruni lembah menjadi tempat mengalirnya air bergemericik menuju sawah petani. Dan, petani pun bisa menanami sawahnya dengan pepadian. Beberapa bulan kemudian. Padi telah menguning matang dan siap untuk dipanen. Para petani dengan suka cita turun ke sawah memanennya. Pada saat itulah, sang bambu menyadari bahwa ia pernah begitu bangga dengan kecantikannya. Namun, dalam kepatuhan dan pengorbanan, kejayaan hidupnya tidak sedikitpun berkurang bahkan kini ia menjadi penyambung hidup bagi dunia yang lebih semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar