Rabu, 30 Desember 2009

There is My Name in Phone Book



Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan.

“Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?” Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari guru, “Ya,ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu…” Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid.”Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui?
Berbagilah dengan teman-temanmu. ..”

Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, “Seminggu yang lalu,adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini” Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu.

“Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisamengalahkan kebahagiaan itu!” Sang guru tersenyum. Tangannya menunjukbeberapa murid lainnya. Maka,terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri.

Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.

“Pak Guru… Pak, aku belum bercerita” Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya. “Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua”, ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu. “Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?”, Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.

“Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah… saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu” Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu.

Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, “Ha? aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa menyedihkan. .. Hahaha” Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, “Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?” Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan.

Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan.
“Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak…”
Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. “Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi”

Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. “Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja.Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil.

Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi.Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi.

Itu juga berarti, aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya” Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. “Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti…”

Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragme tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan. Mereka juga belajar satu hal: “Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun… Sebesar apapun”

Give Thanks to The Lord


Aku bermimpi suatu hari aku pergi ke surga dan seorang malaikat menemaniku dan menunjukkan keadaan di surga. Kami berjalan memasuki suatu ruang kerja penuh dengan para malaikat. Malaikat yang mengantarku berhenti di depanruang kerja pertama dan berkata, ” Ini adalah Seksi Penerimaan. Di sini, semua permintaan yang ditujukan pada Tuhan diterima”.

Aku melihat-lihat sekeliling tempat ini dan aku dapati tempat ini begitu sibuk dengan begitu banyak malaikat yang memilah-milah seluruh permohonan yang tertulis pada kertas dari manusia di seluruh dunia.

Kemudian aku dan malaikat-ku berjalan lagi melalui koridor yang panjang lalu sampailah kami pada ruang kerja kedua. Malaikat-ku berkata, “Ini adalah Seksi Pengepakan dan Pengiriman. Di sini kemuliaan dan berkat yang diminta manusia diproses dan dikirim ke manusia-manusia yang masih hidup yang memintanya”. Aku perhatikan lagi betapa sibuknya ruang kerja itu. Ada banyak malaikat yang bekerja begitu keras karena ada begitu banyaknya permohonan yang dimintakan dan sedang dipaketkan untuk dikirim ke bumi.

Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai pada ujung terjauh koridor panjang tersebut dan berhenti pada sebuah pintu ruang kerja yang sangatkecil. Yang sangat mengejutkan aku, hanya ada satu malaikat yang duduk di sana, hampir tidak melakukan apapun. “Ini adalah Seksi Pernyataan Terima Kasih”, kata Malaikat-ku pelan. Dia tampak malu. “Bagaimana ini? Mengapa hampir tidak ada pekerjaan disini?”, tanyaku. “Menyedihkan”, Malaikat-ku menghela napas. ” Setelah manusia menerima berkat yang mereka minta, sangat sedikit manusia yang mengirimkan pernyataan terima kasih”. “Bagaimana manusia menyatakan terima kasih atas berkat Tuhan?”, tanyaku. “Sederhana sekali”, jawab Malaikat. “Cukup berkata, “Terima kasih, Tuhan”.

“Lalu, berkat apa saja yang perlu kita syukuri”, tanyaku. Malaikat-ku menjawab, “Jika engkau mempunyai makanan di lemari es, pakaian yang menutup tubuhmu, atap di atas kepalamu dan tempat untuk tidur, maka engkau lebih kaya dari 75% penduduk dunia ini.”

“Jika engkau memiliki uang di bank, di dompetmu, dan uang-uang receh, maka engkau berada diantara 8% kesejahteraan dunia.”

“Dan jika engkau mendapatkan pesan ini di komputer mu, engkau adalah bagian dari 1% di dunia yang memiliki kesempatan itu.”

Juga…. “Jika engkau bangun pagi ini dengan lebih banyak kesehatan daripada kesakitan … engkau lebih diberkati daripada begitu banyak orang di dunia ini yang tidak dapat bertahan hidup hingga hari ini.”

“Jika engkau tidak pernah mengalami ketakutan dalam perang, kesepian dalam penjara, kesengsaraan penyiksaan, atau kelaparan yang amat sangat, maka engkau lebih beruntung dari 700 juta orang di dunia”.

“Jika orangtuamu masih hidup dan masih berada dalam ikatan pernikahan … maka engkau termasuk orang yang sangat jarang.”

“Jika engkau masih bisa mencintai … maka engkau termasuk orang yang besar, karena cinta adalah berkat Tuhan yang tidak didapat dari manapun.”

“Jika engkau dapat menegakkan kepala dan tersenyum, maka engkau bukanlah seperti orang kebanyakan, engkau unik dibandingkan semua mereka yang berada dalam keraguan dan keputusasaan.”

“Jika engkau dapat membaca pesan ini, maka engkau menerima berkat ganda, yaitu bahwa seseorang yang mengirimkan ini padamu berpikir bahwa engkau orang yang sangat istimewa baginya, dan bahwa engkau lebih diberkati dari pada lebih dari 2 juta orang di dunia yang bahkan tidak dapat membaca sama sekali”.

Nikmatilah hari-harimu, hitunglah berkat yang telah Tuhan anugerahkan kepadamu. Dan jika engkau berkenan, kirimkan pesan ini ke semua teman-temanmu untuk mengingatkan mereka betapa diberkatinya kita semua.

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu menyatakan bahwa, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambahkan lebih banyak nikmat kepadamu .”

Ditujukan pada : Departemen Pernyataan Terima Kasih.
“Terima kasih, Tuhan! Terima kasih, Tuhan, atas anug’rah-Mu berupa kemampuan untuk menerjemahkan dan membagi pesan ini dan memberikan aku begitu banyak teman-teman yang istimewa untuk saling berbagi.”

Kamis, 17 Desember 2009

Abu Nawas: Berani Bertaruh

Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah berada di situ. Mereka memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas.

"Nah ini Abu Nawas datang." kata salah seorang dari mereka.

"Ada apa?" kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.

"Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap yang dirancang Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum Baginda Raja bila engkau berani melakukannya." kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.

"Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali kepada Tuhan" kata Abu Nawas menentang.

"Selama ini belum pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?" tanya kawan Abu Nawas.

"Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat hukumannya pasti dipancung." kata Abu Nawas memberitahu.

"Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?"

"Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Tuhan saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?" Abu Nawas ganti bertanya.

"Seratus keping uang emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala engkau
pantati." kata mereka. Abu Nawas pulang setelah menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu.

Kawan-kawan Abu Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat Baginda Raja tertawa apalagi ketika dipantati. Kayaknya kali ini Abu Nawas harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.

Minggu depan Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda diundang, termasuk Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka tak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.

Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja menginginkan perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang rajaraja dari negeri sahabat.

Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun temyata mereka keliru. Abu Nawas bukannya tidak datang tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk di tempat yang paling
belakang.

Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Dan tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan pidatonya. Seusai menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian di tempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran Baginda bertanya, "Mengapa engkau tidak duduk di atas karpet?"

"Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kaslh atas perhatian Baginda. Hamba sudah merasa cukup bahagia duduk di sini." kata Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu kotor karena duduk di atas tanah." Baginda Raja menyarankan.

"Ampun Tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet."

Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena Baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk di atas lantai. "Karpet yang mana yang engkau maksudkan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda masih bingung.

"Karpet hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi." Kata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.

"Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa." kata Baginda Raja bertambah bingung.

"Baiklah Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada Paduka yang mulia." kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut ke depan. Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan di bagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-olah memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel di pantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para undangan.

Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum.

Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.

Sabtu, 12 Desember 2009

Buto Ijo Makan Rembulan


Terang bulan adalah saat-saat yang ditunggu oleh Rangga dan teman-temannya untuk bermain-main di lapangan yang luas. Sinar rembulan yang terang membuat mereka merasa sayang kalau harus melewatkannya di rumah saja, karena di jalanan malam jadi terang seterang siang.

Dahulu, di desa tidak ada listrik. Maka, kala tidak terang bulan keadaan akan menjadi gelap gulita. Rumah mereka hanya diterangi lampu minyak yang tidak begitu terang. Sehabis sholat isya’, mereka langsung masuk ke dalam rumah masing-masing untuk melepas lelah sambil bercengkrama dengan orangtua hingga mereka semua tertidur. Tetapi malam ini, bulan nampak bundar dengan cahaya keemasan. Tubuh-tubuh mereka disepuh sinar keemasan hingga masing-masing begitu gembira dan berteriak-teriak kegirangan.

Anak-anak bermain dengan suka cita, sementara para orangtua hanya duduk menonton anak-anak yang sedang bergembira itu sambil sesekali melempar senyum melihat tingkah laku mereka yang polos.

Amboi indahnya rembulan! Sinarmu berkah bagi kami! Tetapi, kami lebih kagum pada yang menciptakanmu!
Rangga termasuk anak yang paling bahagia malam itu. Karena, sejak kemarin, ia bersedih sebab hampir sebulan ia merindukan untuk bisa bermain bersama anak-anak yang lain. Maka, begitu tahu kalau malam ini terang bulan, semenjak adzan maghrib dan sehabis mengaji serta sholat isya’, ia sudah berkumpul bersama teman-temannya.
Rangga larut dalam kegembiraan itu. Ia meloncat-loncat, berlari-lari, dan tertawa bersama teman-temannya. Anak yang berusia sekitar sepuluh tahun dan bertubuh hitam itu kulitnya berubah menjadi kuning kecoklatan karena tersiram cahaya rembulan. Rambutnya yang kaku, hidungnya yang sedikit pesek tetapi lincah bergerak ini, kelihatan jelas di bawah sinar rembulan.

Tiba-tiba…..entah kenapa, keadaan menjadi gelap. Bulan yang tadinya memancarkan sinar terang itu perlahan-lahan permukaannya menjadi gelap….gelap…..dan akhirnya sinarnya benar-benar menghilang. Sontak saja anak-anak yang sedang bermain berlarian menyelamatkan diri di belakang punggung orangtuanya masing-masing.

Keadaan yang gelap gulita membuat burung-burung hantu mencicit keras, suara riuh rendah anak-anak yang menangis karena takut membuat suasana menjadi semakin tegang. Dari arah pojok perkampungannya, sebuah suara kentongan ditabuh bertalu-talu, mereka meneriakkan sesuatu yang baru pertama kali diketahui oleh Rangga dan teman-temannya.

“Buto ijo…….Buto Ijo menelan rembulan…….! Sembunyi…sembunyi…di bawah kolong tempat tidur……!” Seseorang yang memukul kentongan tanda bahaya ini memberi isyarat pada siapa pun yang masih berada di lapangan untuk kembali ke rumah dan sembunyi di bawah kolong tempat tidur.

Rangga ketakutan sekali. Ia berlari kencang kemudian dengan gerakan lincahnya tahu-tahu ia sudah berada di bawah meja. Tiarap seperti tentara. Masih dengan nafasnya yang terburu-buru, ia menutup matanya dengan dua tangannya. Ia ngeri kalau membayangkan Buto Ijo itu akan masuk ke rumahnya dan kemudian Buto Ijo yang bertubuh sebesar raksasa, kulitnya berwarna hijau, dan bermata besar akan menelan dirinya mentah-mentah.

Kata ibu, Buto Ijo akan menelan anak-anak yang nakal dan tidak patuh pada orangtuanya. Ia akan datang dengan terlebih dahulu menelan rembulan bulat-bulat, kemudian mencari anak-anak yang nakal.

Lalu Rangga teringat, kalau kemarin ia telah mengambil uang ibunya tanpa permisi. Uang yang diselipkan di bawah taplak meja dapur itu, ia ambil untuk membeli es dan mentraktir teman-temannya. Ia tahu, ibunya kebingungan, ketika Rangga ditanya ia tidak juga mengaku.

Ibu waktu itu hanya berkata, “Ibu nggak akan menuduhmu berbohong, tetapi kalau kau memang tidak mau mengaku, tunggu saatnya kau akan dimakan Buto Ijo!”

Maka, saat ini, Rangga merasa bersalah dan takut sekali kalau apa yang dikatakan ibunya benar: Buto Ijo akan mencari anak-anak yang nakal dan tidak patuh pada orangtuanya untuk dimakannya jadi lauk.
“Ampun Buto Ijo dagingku pahit……! Aku juga masih kecil, kalau kau makan juga tidak akan mengenyangkanmu……”

“Ada apa kok kamu berkata seperti itu?” Tanya ibu bijaksana.
“Ampun Bu…..aku nggak mau dimakan Buto Ijo, aku mengaku bersalah……”
“Salah apa?” Ibu Rangga nampak mengernyitkan dahinya.

“Aku telah mencuri uang ibu…….aku takut, nanti kalau ketahuan Buto Ijo aku akan dimakannya…..”
“Oh….Itulah upah anak yang suka berbohong. Kalau kau bohong lagi, biar Buto Ijo benar-benar akan mendatangimu!”

Kereta Kencana Impian


Dahulu kala, ada sepasang suami istri yang hidup berbahagia. Kuchai, sang suami, bekerja giat dengan mengolah sawahnya sehingga kehidupan mereka berkecukupan. Panen tahun ini berhasil, karena hujan turun merata. Dengan keadaannya yang berkecukupan dan malahan berkelimpahan rezeki, mereka menjadi keluarga yang disegani. Dulu, gubuknya yang reyot, telah diubah menjadi rumah tembok yang lebih megah. Mereka bahkan telah membeli sebidang tanah untuk ditanami buah-buahan yang sangat menguntungkan waktu itu, antara lain pisang, pepaya, mangga, dan sebagainya.

Sebenarnya, mereka harus sudah puas dengan keadaannya sekarang. Mereka telah memiliki harta yang berkecukupan, rumah, sawah ladang, pekerja yang selalu patuh dan kuda tunggangan untuk bepergian. Dengan semua kekayaan yang telah dimilikinya, sebetulnya mereka tinggal bersyukur saja dengan lebih banyak berderma untuk orang-orang miskin di sekitar lingkungannya. Tetapi tidak. Mereka selalu menginginkan barang-barang yang mewah yang belum dimilikinya.

Pernah suatu ketika sang istri, Hannah, menginginkan sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda yang kerap diperlihatkan dalam kirab agung Maharaja Moghulsyah.

“Kereta kencana ini akan aku gunakan untuk bersilaturahim ke saudara-saudara jauhku di desa seberang.” Kata sang istri.

“Aku tahu, tetapi kenapa harus kereta kencana? Kita sudah punya kuda tunggangan yang besar-besar dan kuat?”
“Apa kau mau seluruh tulang tubuhku rontok gara-gara naik kuda binal milikmu, jalan desa tempat saudaraku banyak yang bergelombang, aku tak mau sesampai di sana nampak kelihatan lelah!”

Kereta kuda belum juga dibeli, tetapi istrinya sudah membayangkan seakan-akan di depannya hadir kereta kuda yang cantik warnanya. Kereta itu disepuh emas dengan ukiran yang bagus dan bantal kursinya yang empuk. Kereta itu juga ditarik oleh delapan ekor kuda yang gagah-gagah dan berbulu lebat. Gemerincing gelang di kaki kuda yang menggeliat-geliat tak sabar untuk segera ditumpanginya.

“Suamiku, aku ingin ibu ikut untuk mengunjungi saudara-saudara kita di desa dengan naik kereta kencana milik kita, boleh kan?” kata sang istri kepada suaminya. Padahal kereta kencana itu belum juga dibelinya.
“Apa perlunya? Aku tak ingin di perjalanan nanti ibu akan merepotkan kita!” kata sang suami menimpali istrinya, yang sebenarnya suami itu tidak perlu menjawab demikian, karena kereta kencananya juga belum mereka miliki.
“Aku tahu, tetapi apa gunanya aku bersenang-senang sementara ibu sendirian di rumah dan menderita?”
“Tidak, aku tetap tidak memperbolehkan kau membawa ibumu!” kata suaminya yang tidak kalah tololnya.
“Memang kau siapa, berani melarangku?”
“Jelas aku suamimu, aku kepala rumah tangga di sini! Jadi, aku yang berhak mengatur semuanya!! Sebagai istri, kau harus menurut perintahku!!!”
“Pokoknya aku akan tetap akan membawa ibuku!”

Pertengkaran pun tak dapat dielakkan lagi. Hannah membangkang pada suaminya, Kuchai. Inilah yang menyebabkan laki-laki berkulit kecoklatan, hidung sebesar terong, rambut keriting, dan mata bulat ini naik pitam. Ia lalu mengambil sapu lidi dan mulai memukul istrinya. Tetapi istrinya tidak mau kalah. Ia berlari dan mengambil piring dan dilemparkan ke arah Kuchai.

Dengan sigap Kuchai menghindar, tetapi celakanya piring itu mengenai jendela kaca tetangga hingga pecah. Tak hanya itu, akibat kejadian itu, seorang anak laki-laki yang kebetulan lewat terkena pecahan kaca hingga kepalanya berdarah dan parah lukanya.

Keributan ini menyebabkan para tetangga berdatangan. Tetapi yang paling merasa berkepentingan adalah orangtua anak yang kepalanya berdarah tadi dan tetangga yang jendelanya pecah terkena lemparan piring. Mereka tidak terima dengan kerugian yang mereka alami dan menuntut ganti rugi.

Seorang Hakim yang bijaksana menemui mereka. Lalu, suami istri itu menceritakan kejadian yang sebenarnya, hingga mereka bertengkar hebat. Hakim tadi terheran-heran kepada suami istri yang menceritakan penyebab kejadian tersebut.

“Ini semua baru kami rencanakan. Tetapi, ia sudah merencanakan akan meminta untuk membawa serta ibunya. Padahal, aku tidak suka jika ia membeli kereta kencana!” jawab Kuchai.

Semua yang hadir dan mendengar ceritanya tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku konyol mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa bertengkar hebat tentang kereta kencana, sementara kereta kencana yang mereka maksud masih ada dalam angan-angan. Bukankah ini sama saja dengan sikap konyol?

Pada waktu itu, Kuchai naik pitam karena terhasut istrinya yang membangkang. Sementara istrinya adalah orang yang panjang angan-angan. Ia membayangkan kereta kencana yang indah sudah benar-benar hadir di hadapannya. Ia tak sadar semua itu hanyalah ilusi atau halusinasinya yang begitu menginginkan kereta kencana.

Akibat dari kekonyolannya itu, mereka tetap diharuskan membayar ganti rugi kepada orang-orang yang menjadi korbannya. Lalu mereka memberikan separuh tanahnya untuk membiayai pengobatan anak yang kepalanya robek yang cukup parah, sementara hasil kebun yang belum terjual diberikan kepada tetangga sebelah yang kaca jendelanya pecah terkena lemparan piring istrinya.

Adu Cerdik Dua Pengembara


Dua orang pengembara nampak kelelahan sehabis melakukan perjalanan jauh. Mereka lalu beristirahat di bawah pohon yang rindang sambil menambatkan kuda-kuda mereka dan menaruh bekal di samping mereka.

Pengembara yang mengendarai kuda coklat, berhidung mancung, tinggi besar, berkulit putih, dan berambut pirang bernama Chekov. Ia berasal dari bangsa Rusia. Sementara yang bertubuh pendek, gemuk, kulit hitam, mata agak sipit, dan punya kelopak mata berwarna coklat bernama Yazid. Ia berasal dari bangsa Mongolia.

Meskipun keduanya nampak selalu bersama dalam perjalanan, tetapi sebenarnya Chekov punya hati yang culas dan berusaha untuk memanfaatkan Yazid agar ia bisa memperoleh keuntungan selama perjalanan. Hanya saja Yazid bukan orang yang mudah diperdayai. Ia dikenal sebagai orang yang cerdik dan licik pula, sehingga ia bisa menerka maksud jahat seseorang. Apalagi Chekov adalah orang yang baru saja dikenalnya, jadi ia harus waspada. Semenjak kecil ibunya selalu menanamkan nasihat untuk tidak mudah percaya pada orang yang baru dikenalnya.

Hari telah beranjak malam, mereka pun memasang tenda untuk menginap. Tetapi begitu mereka akan tidur, mereka teringat kuda tunggangan mereka.

“Siapa yang akan menjaga kuda-kuda kita?” tanya Yazid.
“Bagaimana kalau kita bergantian menjaganya?” usul Chekov.
“Ya, tapi permasalahannya siapa yang akan menjaganya pertama kali?” kata Yazid yang menyadari bahwa kecapekan melanda dirinya, dan pasti juga melanda temannya karena mereka berdua baru saja mengadakan perjalanan yang jauh.

Keduanya merasa enggan kalau harus menjaga duluan. Rasa lelah dan mengantuk membuat mereka berat untuk menjaga kuda tunggangannya.

“Bagaimana kalau kita menjaga kuda kita masing-masing?” tawar Chekov.
Akhirnya disepakati, bahwa mereka harus menjaga kuda tunggangan masing-masing. Tenda yang susah payah didirikan, justru tidak ditempati. Mereka menginap di luar sambil menjaga kuda mereka masing-masing. Menjelang larut malam, Yazid pura-pura tertidur, suara dengkurnya dikeras-keraskan agar dikira tidur betulan. Chekov yang melihat Yazid tertidur, merasa kesal, kemudian timbul niat jahat dari dalam hatinya.

Dengan sangat hati-hati, ia melepaskan kuda tunggangan milik Yazid. Kemudian ia masuk ke dalam tenda dan tertidur dengan pulasnya. Yazid yang pura-pura tertidur itu mengetahui benar bagaimana ulah Chekov. Ia lalu gantian melepaskan kuda milik Chekov dengan sangat hati-hati tanpa sepengetahuan Chekov yang memang telah tertidur pulas sekali.

Esok harinya, Chekov memberitahu Yazid.
“Hei bangun….bangun……aku bermimpi kudamu dibawa lari oleh setan belang!” kata Chekov.
“Ya, aku pun juga bermimpi kudamu dibawa lari oleh pencuri!” kata Yazid dengan tenangnya. Chekov terkesiap kaget dan menuju tempat menambatkan kuda, ternyata kudanya juga hilang.

Rupanya, ia gagal memperdayai Yazid karena ia sudah mengetahui niat buruk Chekov sedari awal.
Tiba saatnya bagi mereka untuk melanjutkan perjalanan, hanya saja kali ini mereka merasa bingung bagaimana melanjutkan perjalanan tanpa kuda tunggangan. Lantas Yazid yang cerdik itu pun mengusulkan sesuatu.

“Bagaimana kalau kita bergantian menggendong? Kau menggendong aku duluan, nanti aku yang gantian menggendongmu.” usul Yazid“Ya, tapi masalahnya sampai sebatas mana aku menggendongmu?” jawab Chekov.
“Sampai aku mengantuk. Nah, untuk mengetahui aku mengantuk atau tidak, aku akan bernyanyi untukmu. Kalau nyanyianku berhenti, berarti aku mengantuk. Nanti setelah itu, baru aku menggendongmu.” kata Yazid dengan cerdiknya.

Akhirnya, Chekov menggendong Yazid duluan. Sepanjang perjalanan Yazid terus bernyanyi. Anehnya sampai sore, Yazid juga tak berhenti bernyanyi. Itu artinya, Yazid belum mengantuk.

Menjelang istirahat, Chekov tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia merasa lelah dan mengantuk hingga terpaksa Yazid yang membuat tenda dan api unggun untuknya. Tetapi permasalahan kembali timbul, yaitu saat keduanya ingin membuat makanan. Ternyata bekal makanan yang mereka bawa hanya tersisa untuk satu orang. Jika makanan itu dibagi dua, tentu tidak akan mengenyangkan perut mereka.

Timbul niat jahat dalam diri Chekov. Ia akan memperdayai Yazid kembali. Kali ini ia yang mengusulkan….
“Bagaimana kalau sekarang kita tinggal tidur saja. Siapa yang bermimpi paling indah, maka dia yang berhak mendapatkan seiris roti itu.”

Yazid menyetujui, tetapi ia tidak dapat tidur karena belum mengantuk sebab seharian ia digendong oleh Chekov. Perut Yazid menjadi kian lapar dan menginginkan makanan itu.

Mengetahui temannya sudah tertidur pulas, Yazid langsung menghabiskan bekal makanan itu tak bersisa. Setelah kenyang, baru ia bisa tertidur. Pagi harinya, Chekov membangunkan Yazid kembali.

“Hei bangun….bangun…..tadi malam aku bermimpi diajak bidadari ke surga, disambut oleh para malaikat di surga yang indah.”

“Ya…..aku juga bermimpi yang sama, kau diajak malaikat dan bidadari di surga. Aku kira kau tidak akan kembali, maka roti itu kumakan daripada busuk menunggu kau yang tidak tahu kapan kembalinya.” jawab Yazid dengan tenangnya.

Sejak saat itu, Chekov memutuskan untuk mengembara sendiri. Ia segera mengemasi barangnya dan berlalu dari tempat itu.


Jumat, 11 Desember 2009

Si Gemuk Domba Mentega


Pada zaman dahulu, ada seorang anak yang tubuhnya gemuk sekali. Berat badannya hampir satu kwintal. Konon, ia menjadi gemuk karena ibunya selalu memperhatikan makanannya. Ia tak pernah terlambat makan. Ia makan sangat banyak dan lahap melebihi saudara-saudaranya. Walaupun gemuk, ia bukan anak yang pendiam tak mau bermain. Ia tetap bermain dengan saudara-saudaranya yang lain, berlari-larian, petak umpet, atau lompat tali.

Dalam bermain, si Gemuk ini selalu dikalahkan oleh saudara-saudaranya. Jika berlari ia selalu ketinggalan di belakang karena tubuhnya terlalu berat untuk berlari dengan saudara-saudaranya yang larinya secepat angin. Bahkan, ketika berlari, si Gemuk berjalannya seperti raksasa hingga menyebabkan bumi bergetar.

Kalau bermain petak umpet, ia akan mudah kelihatan kalau bersembunyi sebab tidak ada tempat persembunyian yang pas untuknya. Tempat persembunyiannya selalu lebih kecil dari tubuhnya, sehingga bagian tubuhnya pasti kelihatan. Misalnya, kakinya menyembul atau tangannya kelihatan seperti cabang pohon yang besar.

Meskipun sering kalah, tetapi si Gemuk tetap riang. Si Gemuk ini sering diolok-olok dengan julukan Domba Mentega tetapi ia sama sekali tak marah. Si Gemuk menyadari, kalau mereka adalah saudara-saudaranya yang baik hati dan tak mungkin menjerumuskannya.

Julukan Domba Mentega itu diberikan pada si Gemuk karena saudara-saudaranya itu membayangkan tubuh Si Gemuk layaknya seekor domba, apalagi kalau dimasak menggunakan mentega, kelezatannya akan semakin bertambah. Zaman dahulu, domba adalah makanan mewah yang hanya dimakan oleh kalangan pembesar kerajaan. Rakyat kecil seperti keluarga si Gemuk hanya bisa menikmati masakan domba yang lezat hanya pada akhir tahun ketika pihak kerajaan mengadakan pesta tahunan dengan mengundang rakyat jelata. Pada saat itu, rakyat dapat merasakan lezatnya masakan istana, khususnya domba mentega. Maka, tak heran, jika si Gemuk yang dijuluki Domba Mentega itu sedemikian tenar julukannya hingga ke negeri-negeri tetangga.

Si Gemuk sekarang justru berterima kasih kepada saudara-saudaranya. Julukan yang sesungguhnya untuk menghina dirinya itu, kini malah menjadi berkah baginya dan keluarganya. Orang-orang yang merasa penasaran dengan julukan itu berbondong-bondong berdatangan ke rumahnya untuk melihat sendiri bagaimana sosok “Domba Mentega” itu. Begitu menyaksikan betapa besar tubuh si Gemuk, mereka merasa gemas dan berusaha untuk mencubit atau memegang bagian tubuhnya. Lalu, dengan penjagaan yang ketat dari Ibu dan saudara-saudaranya, si Gemuk mendapat perlindungan yang berarti.

Hingga suatu hari, kabar tentang si Gemuk itu didengar oleh seorang nenek tua sakti yang menyukai daging gemuk manusia. Ia adalah seorang kanibal yang kelaparan dan sudah lama tidak merasakan bagaimana rasanya menyantap daging manusia. Ia kemudian datang kepada keluarga si Gemuk dan ingin melihat bagaimana keadaannya. Tetapi, Ibu yang sudah tahu maksud jahat nenek tua yang datang itu, telah memberitahu anak-anak sebelumnya untuk bersembunyi di dalam rumah. Ia kemudian menemui nenek tua itu.

“Maaf nek, Si Domba Mentega sekarang sedang bermain-main di luar!” kata ibu Si Gemuk.
“Wah, sayang sekali, padahal aku membawakannya hadiah yang bagus-bagus,” kata nenek tua itu.
Mendengar nenek itu menyebut hadiah, Si Gemuk langsung melonjak kegirangan dan menemui nenek itu. Secepat kilat anak itu langsung dimasukkan ke dalam karung untuk dibawanya pulang. Ibunya tak dapat berkutik karena takut akan disihir menjadi binatang. Di dalam karung, si Gemuk dapat menemukan sebuah pisau dan menyobeknya. Walhasil, si Gemuk bisa melarikan diri tanpa diketahui nenek sakti tersebut.

Paginya, nenek tua sakti itu kembali ke rumah si Gemuk. Kali ini, ia memakai tipuan yang lain.
“Maaf Nek, Si Domba Mentega sedang berburu bersama kakak-kakaknya!” kata Ibunya.
“Wah sayang sekali, sebenarnya tak perlu berburu karena aku membawakannya daging kelinci yang lezat!” kata nenek tua penyihir itu.

Mendengar nenek itu menyebut daging kelinci, terbayanglah dalam benak si Gemuk akan daging kelinci yang lezat. Si Gemuk yang masih kecil itu kemudian keluar dan menanyakan daging kelinci tersebut.
Nenek sakti itu kembali menangkapnya dan memasukkannya ke dalam karung. Ibunya tidak berani berontak. Kali ini, si Gemuk tak bisa berkutik karena di dalam karung juga tidak ada pisau. Meskipun Si Gemuk berontak, tapi kekuatan nenek jahat itu lebih hebat.

Sesampainya di tempat tinggal nenek jahat tersebut, si Gemuk lalu dimasukkan ke dalam belanga yang besar yang diisi air. Nenek itu lalu menyusun kayu bakar. Ketika nenek itu mencari-cari korek api, Si Gemuk meraba-raba sesuatu di bawahnya. Mungkin, ada sesuatu yang bisa dipergunakannya untuk melawan nenek tua itu.

Benar saja, si Gemuk menemukan sebuah sendok besar yang tertinggal dalam belanga. Si Gemuk diam-diam menyembunyikannya di belakang punggungnya. Ia pura-pura pasrah. Hingga, ketika nenek tua itu akan menyulut tungkunya dengan korek api, ia langsung memukul kepala nenek tua itu hingga pingsan. Lalu, si Gemuk dapat melarikan diri.

Sejak saat itu, ibu dan saudara-saudara di Gemuk tak pernah menjulukinya Domba Mentega. Ia memanggil nama aslinya, Tom. Tetapi, kadang-kadang mereka menambahkan kata di belakangnya namanya dengan Si Pemberani, atau lengkapnya, Tom Si Pemberani.

Selasa, 08 Desember 2009

Sepatu Kulit Buaya


Seorang perempuan sangat ingin mempunyai sepatu dari kulit buaya.
Dia pun pergi ke toko sepatu dan kecewa karena mahalnya.
“Mahal amat sih,” tanya si perempuan.
“Kalau ingin murah ya menangkap buaya sendiri sana,” kata si pemilik toko.

Terinspirasi oleh perkataan si pemilik toko, perempuan tersebut pergi ke sungai besar di daerah situ sambil membawa senjata api.
Beberapa saat kemudian si pemilik toko datang dan terkagum-kagum ketika melihat tiga ekor buaya mati ditumpuk di pinggir sungai.

Sementara itu si perempuan terlihat di tengah sungai sedang membidikkan senjatanya ke seekor buaya lainnya. Suara tembakan terdengar, kemudian si perempuan menyeret buaya keempat yang baru ditembaknya ke pinggir dan kemudian menyumpah, “Sialan! Yang ini juga tidak memakai sepatu.”

Senin, 07 Desember 2009

Beda Jurusan


Malam itu di sebuah got ada seekor ibu tikus dan seekor anak tikus, Mereka sedang mengobrol di pinggir got.

Anak tikus melihat seekor kelelawar terbang di atasnya dan kemudian bertanya pada ibu tikus.

"Ibu, apa itu yang di atas?"

Sang ibu tikus pun menjawab, "Ooo ..., itu kelelawar namanya ...."

Si anak tikus pun bertanya lagi, "Kok wajahnya mirip kita?"

Sang ibu menjawab, "Sebenarnya kelelawar itu masih sebangsa dengan kita ..., tapi dia ambil jurusan penerbangan...!!!"

Sabtu, 05 Desember 2009

Foolowing Fat Woman


Seorang ibu gendut sedang berjalan tapi ia merasa ada anak kecil yang mengikutinya di belakang.

Kemudian ia berhenti dan bertanya ke anak kecil tersebut: "Hey, nak. Kamu dari tadi mengikuti aku terus adakah yang kamu inginkan dari saya?"

Anak Kecil : "Oh tidak Bu."

Ibu Gendut : "Lalu apa yang kamu mau?"

Anak Kecil : "Saya hanya merasa teduh berjalan di belakang Ibu."

Bayi Raja Copet


Seorang raja copet yang terkenal menjemput istrinya untuk dibawa pulang setelah habis melahirkan anaknya. Mungkin karena groginya suster yang melayani bayi sang raja copet itu, hingga bayinya itu tertukar dengan bayi yang lain.

Istri : "Hai! Pak, ini bukan anak kita."

Copet : "Diam kamu, hayo cepat jalan."

Istri : "Tunggu dulu pak, ini bukan bayi kita, bayi kita ada tanda merah di tangan kirinya."

Copet : "Bodoh kamu, biar ini bukan bayi kita, tapi di tangan kirinya ada gelang emas!"

Istri : "????"

Rumah Makan Amigos


Wenny mempunyai seorang teman yang sangat anti makan di Warteg (warung Tegal) Suatu hari dia mengajak temannya tersebut untuk makan siang bersama.

Wenny : "David, mau nggak kita makan siang bersama hari ini."
David : "Boleh aja, tapi elo tau kan selera gue."
Wenny : "Oke, hari ini elo gue traktir di rumah makan Amigos."
David : "Wah setuju banget, ayo kita berangkat."

Akhirmya mereka berangkat bersama dan sesaat kemudian tibalah mereka di pinggiran toko-toko yang memang banyak warung makannya.

David : "Lho kok, kita makan disini, katanya ke Amigos."
Wenny : (dengan tenang menjawab) "lha ini kan Amigos, Agak Minggir Got Sedikit."

Let,s Get Married


Adi dan Erna akan menikah dan mereka berdua sedang menentukan bulan apa yang cocok buat mereka menikah nanti.

"Bagaimana kalau kita menikah bulan Juni saja, Mas?"

"Oh, jangan bulan Juni. Sebab pada bulan Juni nanti aku ke Surabaya untuk mengikuti Penataran selama sebulan."

"Kalau begitu bulan Juli saja, bagaimana?"

"Jangan bulan Juli, sebab bulan Juli nanti aku pasti sibuk karena ada Training Managemen di kantor selama sebulan."

"Kalau begitu bulan Agustus saja, ya Mas?"

"Jangan bulan Agustus, sebab bulan Agustus nanti aku pasti sibuk jadi Panitia Tujuh Belasan di kantorku."

"Kalau begitu kita menikah bulan September saja, ya?"

"Jangan. Di bulan September nanti aku ikut Pendidikan Kenaikan Pangkat di Menado selama satu bulan. Sebaiknya bulan Oktober saja."

"Jangan, Mas. Sebab bulan Oktober nanti pasti kau masih ada di Rumah Sakit karena Gegar Otak."

"Dari mana kau tahu, Dik?"

"Sebentar lagi aku akan memukul kepalamu pakai kursi ini!" jawab Erna sang calon Isteri dengan dongkol.

History of Christmas Tree


Banyak sekali dongeng mengenai asal usul dari pohon Natal, orang yg tidak berkenan dgn pohon Natal, memberikan dongeng sebagai berikut:

Bangsa Romawi menggunakan pohon cemara untuk perayaan Saturnalia, menghiasinya dengan hiasan-hiasan kecil dan topeng-topeng kecil, karena pada tgl 25 Desember itu adalah tanggal hari kelahiran dewa matahari Mithras yg asalnya dari dewa matahari Iran yang kemudian dipuja di Roma. Selain itu, hari Minggu adalah hari untuk menyembah dewa matahari sesuai dgn arti kata Zondag, Sunday atau Sonntag. Perlu ditekankan di sini bahwa dewa-dewa matahari lainnya juga seperti Osiris, dewa mataharinya orang Mesir, dilahirkan pada tgl 27 Desember. Dewa matahari Horus dan Apollo pada tanggal 28 Desember. Oleh sebab itu, ada aliran-aliran gereja tertentu yang mengharamkan tradisi pohon Natal ini sebab dianggap memuja dewa matahari.

Cerita lainnya lagi ialah: tradisi penggunaan pohon Natal ini berasal dari Martin Luther (1483-1564) yang mempopulerkan pohon Natal di Jerman. Ia begitu berkesan akan keindahan suasana Natal dan bertaburannya bintang di atas pohon cemara di sekitar rumahnya, sehingga ia berusaha untuk mengalihkan suasana Natal ini ke dalam rumahnya dengan cara mendekorasi pohon cemara tersebut menjadi pohon Natal.

Pertama kali pohon Natal tercantum secara tertulis di Elsas pada tahun 1520, sedangkan lukisan tertua yang menggambarkan pohon natal dihias berasal dari tahun 1579. Baru di tahun 1850 pohon Natal itu merambat menjadi tradisi di seluruh dunia. Pohon Natal bukanlah suatu keharusan di gereja maupun di rumah sebab ini hanya merupakan simbol saja agar kehidupan rohani kita selalu bertumbuh dan menjadi kesaksian yg indah bagi orang lain "evergreen".

Pohon Natal (cemara) ini juga melambangkan "hidup kekal", sebab pada umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok daunnya, kecuali pohon cemara yang selalu hijau daunnya. Sedangkan perkataan Natal sendiri berasal dari bahasa Portugis yang artinya maulid, kelahiran, seperti dalam istilah Dies Natalis (Hari Kelahiran), adalah satu dari kata-kata, misalnya: sekolah, gereja, keju, mentega, yg kita warisi dari misioner Portugis yang datang ke Indonesia pada akhir abad XV. Sedang kata Christmas berasal dari kata Cristes maesse, frase dlm bhs Inggris yg berarti Mass of Christ (Misa Kristus). Kata Christmas sering disingkat menjadi Xmas. Sebab abjad "X" adalah abjad pertama dlm bhs Yunani untuk nama Kristus (Yesus).

Jumat, 04 Desember 2009

Meja Kayu


Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.

Mother's Love


Suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur. Ia menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya. Setelah sang ibu mengeringkan tangannya dengan celemek. Ia pun membaca tulisan itu dan inilah isinya:

Untuk memotong rumput Rp. 5000
Untuk membersihkan kamar tidur minggu ini Rp. 5000
Untuk pergi ke toko disuruh ibu Rp. 3000
Untuk menjaga adik waktu ibu belanja Rp. 5000
Untuk membuang sampah Rp. 1000
Untuk nilai yang bagus Rp. 3000
Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp. 3000
Jadi jumlah utang ibu adalah Rp. 25000

Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh harap. Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang ibu. Lalu ia mengambil pulpen, membalikkan kertasnya. Dan inilah yang ia tuliskan:

Untuk sembilan bulan ibu mengandung kamu, gratis
Untuk semua malam ibu menemani kamu, gratis
Untuk membawamu ke dokter dan mengobati saat kamu sakit, serta mendoakan kamu, gratis
Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurus kamu, gratis
Kalau dijumlahkan semua, harga cinta ibu adalah gratis
Untuk semua mainan, makanan, dan baju, gratis
Anakku… dan kalau kamu menjumlahkan semuanya,
Akan kau dapati bahwa harga cinta ibu adalah GRATIS

Seusai membaca apa yang ditulis ibunya, sang anak pun berlinang air mata dan menatap wajah ibunya, dan berkata: “Bu, aku sayang sekali sama ibu” ia kemudian mendekap ibunya. Sang ibu tersenyum sambil mencium rambut buah hatinya.”Ibupun sayang kamu nak” kata sang ibu.

Kemudian sang anak mengambil pulpen dan menulis sebuah kata dengan huruf-huruf besar sambil diperhatikan sang ibu: “LUNAS”

Rabu, 02 Desember 2009

Miracle at Christmas Night


Kisah nyata ini terjadi di malam Natal pada saat perang dunia I di tahun 1914, tepatnya di front perang bagian barat di Eropa. Pada saat tersebut tentara Perancis, Inggris dan Jerman saling baku tembak satu
dengan yang lain. Di malam Natal yang dingin dan gelap begini, hampir setiap prajurit merasa sudah bosan dan muak untuk berperang, apalagi telah berbulan- bulan mereka meninggalkan rumah mereka, jauh dari istri, anak maupun orang tuanya.

Pada malam Natal biasanya mereka selalu berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarganya masing-masing, makan bersama, bahkan menyanyi bersama di bawah pohon terang di hadapan tungku api yang hangat.

Berbeda dengan malam Natal yang sekarang ini, di mana cuaca di luar sangat dingin sekali dan saljupun turun dengan lebatnya, mereka bukannya berada di antara anggota keluarga yang mereka kasihi, melainkan berada di hadapan musuh perang mereka yang setiap saat bersedia untuk menembak mati siapa saja yang bergerak.

Tiada hadiah yang menunggu selainnya peluru dari senapan musuh, bahkan persediaan makananpun sudah berkurang jauh, sehingga hari ini pun hampir seharian penuh mereka belum makan. Pakaian pun basah kuyup karena turunnya salju. Biasanya mereka berada di lingkungan suasana yang hangat dan bersih, tetapi kali ini mereka berada di dalam lubang parit, seperti layaknya seekor tikus, boro-boro bisa mandi dan berpakaian bersih, tempat di mana mereka berada sekarang ini pun basah, becek penuh dengan lumpur. Mereka menggigil kedinginan. Rasanya tiada keinginan yang lebih besar pada saat ini selain rasa damai untuk bisa berkumpul kembali dengan orang-orang yang mereka kasihi.

Seorang tentara sedang merintih kesakitan karena barusan saja terkena tembakan, sedangkan tentara lainnya menggigil kedinginan, bahkan pimpinan mereka yang biasanya keras dan tegas entah kenapa pada malam ini kelihatannya sangat sedih sekali, terlihat air matanya turun berlinang, rupanya ia teringat akan istri dan bayinya yang baru berusia enam bulan. Kapankah perang ini akan berakhir ? Kapankah mereka akan bisa pulang kembali ke rumahnya masing-masing ? Kapankah mereka bisa memeluk lagi orang - orang yang mereka kasihi ? Dan masih merupakan satu pertanyaan besar pula, apakah mereka bisa pulang dengan selamat dan berkumpul kembali dengan istri dan anak - anaknya ? Entahlah...

Tidak sepatah kata pun terdengar. Suasana malam yang gelap dan dingin terasa hening dan sepi sekali, masing-masing teringat dan memikirkan keluarganya sendiri. Selama berjam-jam mereka duduk membisu seperti demikian.

Tiba-tiba dari arah depan di front Jerman, ada cahaya kecil yang timbul dan bergoyang, cahaya tersebut kelihatan semakin nyata. Rupanya ada seorang prajurit Jerman yang telah membuat pohon Natal kecil yang diangkat ke atas dari parit tempat persembunyian mereka, sehingga nampak oleh seluruh prajurit di front tersebut.

Pada saat yang bersamaan terdengar alunan lembut suara lagu "Stille Nacht, heilige Nacht" (Malam Kudus), yang pada awalnya hanya sayup-sayup kedengarannya, tetapi semakin lama lagu yang dinyanyikan tersebut semakin jelas dan semakin keras terdengar, sehingga membuat para pendengarnya merinding dan merasa pilu karena teringat akan anggota keluarganya yang berada jauh dari medan perang ini.

Ternyata seorang prajurit Jerman yang bernama Sprink yang menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang sangat indah, bersih, dan merdu. Prajurit Sprink tersebut sebelumnya ia dikirim ke medan perang adalah seorang penyanyi tenor opera yang terkenal. Rupanya suasana keheningan dan gelapnya malam Natal tersebut telah mendorong dia untuk melepaskan emosinya dengan menyanyikan lagu tersebut, walaupun ia mengetahui dengan menyanyikan lagu tersebut, prajurit musuh bisa mengetahui tempat di mana mereka berada.

Ia bukan hanya sekedar menyanyi dalam tempat persembunyiannya saja, ia berdiri tegak, tidak membungkuk lagi, bahkan ia naik ke atas sehingga dapat terlihat dengan nyata oleh semua musuh - musuhnya. Melalui nyanyian tersebut ia ingin membawakan kabar gembira sambil mengingatkan kembali makna dari Natal ini, ialah untuk berbagi rasa damai dan kasih. Untuk ini ia bersedia mengorbankan jiwanya, ia bersedia mati ditembak oleh musuhnya. Tetapi apa yang terjadi, apakah ia ditembak mati ?

Tidak! Entah kenapa seakan-akan ada mukjizat yang terjadi, sebab pada saat yang bersamaan semua prajurit yang ada di situ, satu demi satu turut keluar dari tempat persembunyiannya masing-masing, dan mereka mulai menyanyikannya bersama. Bahkan seorang tentara Inggris musuh beratnya Jerman, turut mengiringi mereka menyanyi sambil meniup dua peniup bagpipes (alat musik Skotlandia) yang dibawanya khusus ke medan perang. Dengan perasaan terharu mereka turut menyanyikan lagu Malam Kudus. Hujan air mata tak dapat dibendung. Air mata dari mereka yang berada jauh dari orangtua, anak, calon istri, kakak, adik, dan sahabat mereka.

Yang tadinya lawan sekarang menjadi kawan, sambil saling berpelukan mereka menyanyikan bersama lagu Malam Kudus dalam bahasanya masing - masing, di sinilah rasa damai dan sukacita benar - benar terjadi. Setelah itu, mereka meneruskan menyanyi bersama dengan lagu Adeste Fideles (Hai Mari Berhimpun), mereka berhimpun bersama, tidak ada lagi perbedaan pangkat, derajat, usia maupun bangsa, bahkan perasaan bermusuhanpun hilang dengan sendirinya.

Mereka berhimpun bersama dengan musuh mereka yang seyogianya harus saling tembak, membunuh satu dengan yang lain, tetapi entah kenapa dalam suasana Natal tersebut mereka ternyata bisa berkumpul dan menyembah bersama kelahiran-Nya, Sang Juru Selamat. Rupanya inilah mukjizat Natal yang benar - benar bisa membawa suasana damai di malam yang suci.

Christmas Story: A Little Match Seller


Di malam natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api. "Mau beli korek api?" "Ibu, belilah korek api ini." "Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak." Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu.

Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, akan dipukuli oleh ayahnya. Ketika akan menyeberangi 'alan. Grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. "Hyaaa! Awaaaaas!" Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak lakilaki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. "Wah, aku menemukan barang yang bagus."
Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya. Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah.

Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, dan penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan natal yang lezat. Gadis itu meneteskan air mata. "Ketika ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan natal seperti ini." Dari jendela terlihat pohon natal berkelipkelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah. Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi.

Salju yang dingin terus turun. Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju. Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak. Gadis yang kedinginan itu, menghembus-hembuskan nafasnya ke tangan. Tetapi, sedikit pun tak menghangatkannya. "Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat." Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding.

Crrrs Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah penghangat. "Oh, hangatnya." Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas. Pada saat api itu padaamtungku pemanaspun menghilang. Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan.

Di depan matanya, berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. "Wow! Kelihatannya enak." Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang. Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs!
Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. "Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi." Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. "Wah! Indah sekali!" Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi, cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak.

Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang beralih. "Wah, malam ini ada seseorang yang mati dan pergi ke tempat Tuhan,ya... Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya." Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada Neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin lagi. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud Nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu.
"Nenek!" Serasa mimpi gadis itu melo ' mpat ke dalam pelukan Nenek. "Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu' " Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. "Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek." Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam. "Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi..."

Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang harl. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahanlahan. "Nenek, kita mau pergi ke mana?" "Ke tempat Tuhan berada."

Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, "Kalau sampai di surga, Ibumu yang menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita." Gadis itu tertawa senang. Pagi harinya. Orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. "Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini." "Cepat panggil dokter!"

Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis dengan keras dan berkata, "Kasihan kamu, Nak. Kalau tidak ada tempat untuk pulang, sebaiknya kumasukkan ke dalam rumah." Orang-orang kota mengadakan upacara pemakaman gadis itu di gereja, dan berdoa kepada Tuhan agar mereka berbuat ramah meskipun pada orang miskin.

Selasa, 01 Desember 2009

Cerita Natal: Seandainya Aku Seekor Burung


Suatu ketika, ada seorang pria yang menganggap Natal sebagai sebuah takhayul belaka. Dia bukanlah orang yang kikir. Dia adalah pria yang baik hati dan tulus, setia kepada keluarganya dan bersih kelakuannya terhadap orang lain. Tetapi ia tidak percaya pada kelahiran Kristus yang diceritakan setiap gereja di hari Natal . Dia sunguh-sungguh tidak percaya. "Saya benar-benar minta maaf jika saya membuat kamu sedih," kata pria itu kepada istrinya yang rajin pergi ke gereja. "Tapi saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mau menjadi manusia. Itu adalah hal yang tidak masuk akal bagi saya "

Pada malam Natal , istri dan anak-anaknya pergi menghadiri kebaktian tengah malam di gereja. Pria itu menolak untuk menemani mereka. "Saya tidak mau menjadi munafik," jawabnya. "Saya lebih baik tinggal di rumah. Saya akan menunggumu sampai pulang."

Tak lama setelah keluarganya berangkat, salju mulai turun. Ia melihat keluar jendela dan melihat butiran-butiran salju itu berjatuhan. Lalu ia kembali ke kursinya di samping perapian dan mulai membaca surat kabar. Beberapa menit kemudian, ia dikejutkan oleh suara ketukan. Bunyi itu terulang tiga kali. Ia berpikir seseorang pasti sedang melemparkan bola salju ke arah jendela rumahnya . Ketika ia pergi ke pintu masuk untuk mengeceknya, ia menemukan sekumpulan burung terbaring tak berdaya di salju yang dingin. Mereka telah terjebak dalam badai salju dan mereka menabrak kaca jendela ketika hendak mencari tempat berteduh.

Saya tidak dapat membiarkan makhluk kecil itu kedinginan di sini, pikir pria itu.
Tapi bagaimana saya bisa menolong mereka?

Kemudian ia teringat akan kandang tempat kuda poni anak-anaknya. Kandang itu pasti dapat memberikan tempat berlindung yang hangat. Dengan segera pria itu mengambil jaketnya dan pergi ke kandang kuda tersebut. Ia membuka pintunya lebar-lebar dan menyalakan lampunya. Tapi burung-burung itu tidak masuk ke dalam. Makanan pasti dapat menuntun mereka masuk, pikirnya. Jadi ia berlari kembali ke rumahnya untuk mengambil remah-remah roti dan menebarkannya ke salju untuk membuat jejak ke arah kandang. Tapi ia sungguh terkejut. Burung-burung itu tidak menghiraukan remah roti tadi dan terus melompat-lompat kedinginan di atas salju.

Pria itu mencoba menggiring mereka seperti anjing menggiring domba, tapi justru burung-burung itu berpencaran kesana-kemari, malah menjauhi kandang yang hangat itu. "Mereka menganggap saya sebagai makhluk yang aneh dan menakutkan,"kata pria itu pada dirinya sendiri, "dan saya tidak dapat memikirkan cara lain untuk memberitahu bahwa mereka dapat mempercayai saya. Kalau saja saya dapat menjadi seekor burung selama beberapa menit, mungkin saya dapat membawa mereka pada tempat yang aman."

Pada saat itu juga, lonceng gereja berbunyi. Pria itu berdiri tertegun selama beberapa waktu, mendengarkan bunyi lonceng itu menyambut Natal yang indah. Kemudian dia terjatuh pada lututnya dan berkata, "Sekarang saya mengerti," bisiknya dengan terisak. "Sekarang saya mengerti mengapa Engkau mau menjadi manusia."