Dahulu kala, ada sepasang suami istri yang hidup berbahagia. Kuchai, sang suami, bekerja giat dengan mengolah sawahnya sehingga kehidupan mereka berkecukupan. Panen tahun ini berhasil, karena hujan turun merata. Dengan keadaannya yang berkecukupan dan malahan berkelimpahan rezeki, mereka menjadi keluarga yang disegani. Dulu, gubuknya yang reyot, telah diubah menjadi rumah tembok yang lebih megah. Mereka bahkan telah membeli sebidang tanah untuk ditanami buah-buahan yang sangat menguntungkan waktu itu, antara lain pisang, pepaya, mangga, dan sebagainya.
Sebenarnya, mereka harus sudah puas dengan keadaannya sekarang. Mereka telah memiliki harta yang berkecukupan, rumah, sawah ladang, pekerja yang selalu patuh dan kuda tunggangan untuk bepergian. Dengan semua kekayaan yang telah dimilikinya, sebetulnya mereka tinggal bersyukur saja dengan lebih banyak berderma untuk orang-orang miskin di sekitar lingkungannya. Tetapi tidak. Mereka selalu menginginkan barang-barang yang mewah yang belum dimilikinya.
Pernah suatu ketika sang istri, Hannah, menginginkan sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda yang kerap diperlihatkan dalam kirab agung Maharaja Moghulsyah.
“Kereta kencana ini akan aku gunakan untuk bersilaturahim ke saudara-saudara jauhku di desa seberang.” Kata sang istri.
“Aku tahu, tetapi kenapa harus kereta kencana? Kita sudah punya kuda tunggangan yang besar-besar dan kuat?”
“Apa kau mau seluruh tulang tubuhku rontok gara-gara naik kuda binal milikmu, jalan desa tempat saudaraku banyak yang bergelombang, aku tak mau sesampai di sana nampak kelihatan lelah!”
Kereta kuda belum juga dibeli, tetapi istrinya sudah membayangkan seakan-akan di depannya hadir kereta kuda yang cantik warnanya. Kereta itu disepuh emas dengan ukiran yang bagus dan bantal kursinya yang empuk. Kereta itu juga ditarik oleh delapan ekor kuda yang gagah-gagah dan berbulu lebat. Gemerincing gelang di kaki kuda yang menggeliat-geliat tak sabar untuk segera ditumpanginya.
“Suamiku, aku ingin ibu ikut untuk mengunjungi saudara-saudara kita di desa dengan naik kereta kencana milik kita, boleh kan?” kata sang istri kepada suaminya. Padahal kereta kencana itu belum juga dibelinya.
“Apa perlunya? Aku tak ingin di perjalanan nanti ibu akan merepotkan kita!” kata sang suami menimpali istrinya, yang sebenarnya suami itu tidak perlu menjawab demikian, karena kereta kencananya juga belum mereka miliki.
“Aku tahu, tetapi apa gunanya aku bersenang-senang sementara ibu sendirian di rumah dan menderita?”
“Tidak, aku tetap tidak memperbolehkan kau membawa ibumu!” kata suaminya yang tidak kalah tololnya.
“Memang kau siapa, berani melarangku?”
“Jelas aku suamimu, aku kepala rumah tangga di sini! Jadi, aku yang berhak mengatur semuanya!! Sebagai istri, kau harus menurut perintahku!!!”
“Pokoknya aku akan tetap akan membawa ibuku!”
Pertengkaran pun tak dapat dielakkan lagi. Hannah membangkang pada suaminya, Kuchai. Inilah yang menyebabkan laki-laki berkulit kecoklatan, hidung sebesar terong, rambut keriting, dan mata bulat ini naik pitam. Ia lalu mengambil sapu lidi dan mulai memukul istrinya. Tetapi istrinya tidak mau kalah. Ia berlari dan mengambil piring dan dilemparkan ke arah Kuchai.
Dengan sigap Kuchai menghindar, tetapi celakanya piring itu mengenai jendela kaca tetangga hingga pecah. Tak hanya itu, akibat kejadian itu, seorang anak laki-laki yang kebetulan lewat terkena pecahan kaca hingga kepalanya berdarah dan parah lukanya.
Keributan ini menyebabkan para tetangga berdatangan. Tetapi yang paling merasa berkepentingan adalah orangtua anak yang kepalanya berdarah tadi dan tetangga yang jendelanya pecah terkena lemparan piring. Mereka tidak terima dengan kerugian yang mereka alami dan menuntut ganti rugi.
Seorang Hakim yang bijaksana menemui mereka. Lalu, suami istri itu menceritakan kejadian yang sebenarnya, hingga mereka bertengkar hebat. Hakim tadi terheran-heran kepada suami istri yang menceritakan penyebab kejadian tersebut.
“Ini semua baru kami rencanakan. Tetapi, ia sudah merencanakan akan meminta untuk membawa serta ibunya. Padahal, aku tidak suka jika ia membeli kereta kencana!” jawab Kuchai.
Semua yang hadir dan mendengar ceritanya tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku konyol mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa bertengkar hebat tentang kereta kencana, sementara kereta kencana yang mereka maksud masih ada dalam angan-angan. Bukankah ini sama saja dengan sikap konyol?
Pada waktu itu, Kuchai naik pitam karena terhasut istrinya yang membangkang. Sementara istrinya adalah orang yang panjang angan-angan. Ia membayangkan kereta kencana yang indah sudah benar-benar hadir di hadapannya. Ia tak sadar semua itu hanyalah ilusi atau halusinasinya yang begitu menginginkan kereta kencana.
Akibat dari kekonyolannya itu, mereka tetap diharuskan membayar ganti rugi kepada orang-orang yang menjadi korbannya. Lalu mereka memberikan separuh tanahnya untuk membiayai pengobatan anak yang kepalanya robek yang cukup parah, sementara hasil kebun yang belum terjual diberikan kepada tetangga sebelah yang kaca jendelanya pecah terkena lemparan piring istrinya.
Sebenarnya, mereka harus sudah puas dengan keadaannya sekarang. Mereka telah memiliki harta yang berkecukupan, rumah, sawah ladang, pekerja yang selalu patuh dan kuda tunggangan untuk bepergian. Dengan semua kekayaan yang telah dimilikinya, sebetulnya mereka tinggal bersyukur saja dengan lebih banyak berderma untuk orang-orang miskin di sekitar lingkungannya. Tetapi tidak. Mereka selalu menginginkan barang-barang yang mewah yang belum dimilikinya.
Pernah suatu ketika sang istri, Hannah, menginginkan sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda yang kerap diperlihatkan dalam kirab agung Maharaja Moghulsyah.
“Kereta kencana ini akan aku gunakan untuk bersilaturahim ke saudara-saudara jauhku di desa seberang.” Kata sang istri.
“Aku tahu, tetapi kenapa harus kereta kencana? Kita sudah punya kuda tunggangan yang besar-besar dan kuat?”
“Apa kau mau seluruh tulang tubuhku rontok gara-gara naik kuda binal milikmu, jalan desa tempat saudaraku banyak yang bergelombang, aku tak mau sesampai di sana nampak kelihatan lelah!”
Kereta kuda belum juga dibeli, tetapi istrinya sudah membayangkan seakan-akan di depannya hadir kereta kuda yang cantik warnanya. Kereta itu disepuh emas dengan ukiran yang bagus dan bantal kursinya yang empuk. Kereta itu juga ditarik oleh delapan ekor kuda yang gagah-gagah dan berbulu lebat. Gemerincing gelang di kaki kuda yang menggeliat-geliat tak sabar untuk segera ditumpanginya.
“Suamiku, aku ingin ibu ikut untuk mengunjungi saudara-saudara kita di desa dengan naik kereta kencana milik kita, boleh kan?” kata sang istri kepada suaminya. Padahal kereta kencana itu belum juga dibelinya.
“Apa perlunya? Aku tak ingin di perjalanan nanti ibu akan merepotkan kita!” kata sang suami menimpali istrinya, yang sebenarnya suami itu tidak perlu menjawab demikian, karena kereta kencananya juga belum mereka miliki.
“Aku tahu, tetapi apa gunanya aku bersenang-senang sementara ibu sendirian di rumah dan menderita?”
“Tidak, aku tetap tidak memperbolehkan kau membawa ibumu!” kata suaminya yang tidak kalah tololnya.
“Memang kau siapa, berani melarangku?”
“Jelas aku suamimu, aku kepala rumah tangga di sini! Jadi, aku yang berhak mengatur semuanya!! Sebagai istri, kau harus menurut perintahku!!!”
“Pokoknya aku akan tetap akan membawa ibuku!”
Pertengkaran pun tak dapat dielakkan lagi. Hannah membangkang pada suaminya, Kuchai. Inilah yang menyebabkan laki-laki berkulit kecoklatan, hidung sebesar terong, rambut keriting, dan mata bulat ini naik pitam. Ia lalu mengambil sapu lidi dan mulai memukul istrinya. Tetapi istrinya tidak mau kalah. Ia berlari dan mengambil piring dan dilemparkan ke arah Kuchai.
Dengan sigap Kuchai menghindar, tetapi celakanya piring itu mengenai jendela kaca tetangga hingga pecah. Tak hanya itu, akibat kejadian itu, seorang anak laki-laki yang kebetulan lewat terkena pecahan kaca hingga kepalanya berdarah dan parah lukanya.
Keributan ini menyebabkan para tetangga berdatangan. Tetapi yang paling merasa berkepentingan adalah orangtua anak yang kepalanya berdarah tadi dan tetangga yang jendelanya pecah terkena lemparan piring. Mereka tidak terima dengan kerugian yang mereka alami dan menuntut ganti rugi.
Seorang Hakim yang bijaksana menemui mereka. Lalu, suami istri itu menceritakan kejadian yang sebenarnya, hingga mereka bertengkar hebat. Hakim tadi terheran-heran kepada suami istri yang menceritakan penyebab kejadian tersebut.
“Ini semua baru kami rencanakan. Tetapi, ia sudah merencanakan akan meminta untuk membawa serta ibunya. Padahal, aku tidak suka jika ia membeli kereta kencana!” jawab Kuchai.
Semua yang hadir dan mendengar ceritanya tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku konyol mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa bertengkar hebat tentang kereta kencana, sementara kereta kencana yang mereka maksud masih ada dalam angan-angan. Bukankah ini sama saja dengan sikap konyol?
Pada waktu itu, Kuchai naik pitam karena terhasut istrinya yang membangkang. Sementara istrinya adalah orang yang panjang angan-angan. Ia membayangkan kereta kencana yang indah sudah benar-benar hadir di hadapannya. Ia tak sadar semua itu hanyalah ilusi atau halusinasinya yang begitu menginginkan kereta kencana.
Akibat dari kekonyolannya itu, mereka tetap diharuskan membayar ganti rugi kepada orang-orang yang menjadi korbannya. Lalu mereka memberikan separuh tanahnya untuk membiayai pengobatan anak yang kepalanya robek yang cukup parah, sementara hasil kebun yang belum terjual diberikan kepada tetangga sebelah yang kaca jendelanya pecah terkena lemparan piring istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar