Sabtu, 12 Desember 2009

Buto Ijo Makan Rembulan


Terang bulan adalah saat-saat yang ditunggu oleh Rangga dan teman-temannya untuk bermain-main di lapangan yang luas. Sinar rembulan yang terang membuat mereka merasa sayang kalau harus melewatkannya di rumah saja, karena di jalanan malam jadi terang seterang siang.

Dahulu, di desa tidak ada listrik. Maka, kala tidak terang bulan keadaan akan menjadi gelap gulita. Rumah mereka hanya diterangi lampu minyak yang tidak begitu terang. Sehabis sholat isya’, mereka langsung masuk ke dalam rumah masing-masing untuk melepas lelah sambil bercengkrama dengan orangtua hingga mereka semua tertidur. Tetapi malam ini, bulan nampak bundar dengan cahaya keemasan. Tubuh-tubuh mereka disepuh sinar keemasan hingga masing-masing begitu gembira dan berteriak-teriak kegirangan.

Anak-anak bermain dengan suka cita, sementara para orangtua hanya duduk menonton anak-anak yang sedang bergembira itu sambil sesekali melempar senyum melihat tingkah laku mereka yang polos.

Amboi indahnya rembulan! Sinarmu berkah bagi kami! Tetapi, kami lebih kagum pada yang menciptakanmu!
Rangga termasuk anak yang paling bahagia malam itu. Karena, sejak kemarin, ia bersedih sebab hampir sebulan ia merindukan untuk bisa bermain bersama anak-anak yang lain. Maka, begitu tahu kalau malam ini terang bulan, semenjak adzan maghrib dan sehabis mengaji serta sholat isya’, ia sudah berkumpul bersama teman-temannya.
Rangga larut dalam kegembiraan itu. Ia meloncat-loncat, berlari-lari, dan tertawa bersama teman-temannya. Anak yang berusia sekitar sepuluh tahun dan bertubuh hitam itu kulitnya berubah menjadi kuning kecoklatan karena tersiram cahaya rembulan. Rambutnya yang kaku, hidungnya yang sedikit pesek tetapi lincah bergerak ini, kelihatan jelas di bawah sinar rembulan.

Tiba-tiba…..entah kenapa, keadaan menjadi gelap. Bulan yang tadinya memancarkan sinar terang itu perlahan-lahan permukaannya menjadi gelap….gelap…..dan akhirnya sinarnya benar-benar menghilang. Sontak saja anak-anak yang sedang bermain berlarian menyelamatkan diri di belakang punggung orangtuanya masing-masing.

Keadaan yang gelap gulita membuat burung-burung hantu mencicit keras, suara riuh rendah anak-anak yang menangis karena takut membuat suasana menjadi semakin tegang. Dari arah pojok perkampungannya, sebuah suara kentongan ditabuh bertalu-talu, mereka meneriakkan sesuatu yang baru pertama kali diketahui oleh Rangga dan teman-temannya.

“Buto ijo…….Buto Ijo menelan rembulan…….! Sembunyi…sembunyi…di bawah kolong tempat tidur……!” Seseorang yang memukul kentongan tanda bahaya ini memberi isyarat pada siapa pun yang masih berada di lapangan untuk kembali ke rumah dan sembunyi di bawah kolong tempat tidur.

Rangga ketakutan sekali. Ia berlari kencang kemudian dengan gerakan lincahnya tahu-tahu ia sudah berada di bawah meja. Tiarap seperti tentara. Masih dengan nafasnya yang terburu-buru, ia menutup matanya dengan dua tangannya. Ia ngeri kalau membayangkan Buto Ijo itu akan masuk ke rumahnya dan kemudian Buto Ijo yang bertubuh sebesar raksasa, kulitnya berwarna hijau, dan bermata besar akan menelan dirinya mentah-mentah.

Kata ibu, Buto Ijo akan menelan anak-anak yang nakal dan tidak patuh pada orangtuanya. Ia akan datang dengan terlebih dahulu menelan rembulan bulat-bulat, kemudian mencari anak-anak yang nakal.

Lalu Rangga teringat, kalau kemarin ia telah mengambil uang ibunya tanpa permisi. Uang yang diselipkan di bawah taplak meja dapur itu, ia ambil untuk membeli es dan mentraktir teman-temannya. Ia tahu, ibunya kebingungan, ketika Rangga ditanya ia tidak juga mengaku.

Ibu waktu itu hanya berkata, “Ibu nggak akan menuduhmu berbohong, tetapi kalau kau memang tidak mau mengaku, tunggu saatnya kau akan dimakan Buto Ijo!”

Maka, saat ini, Rangga merasa bersalah dan takut sekali kalau apa yang dikatakan ibunya benar: Buto Ijo akan mencari anak-anak yang nakal dan tidak patuh pada orangtuanya untuk dimakannya jadi lauk.
“Ampun Buto Ijo dagingku pahit……! Aku juga masih kecil, kalau kau makan juga tidak akan mengenyangkanmu……”

“Ada apa kok kamu berkata seperti itu?” Tanya ibu bijaksana.
“Ampun Bu…..aku nggak mau dimakan Buto Ijo, aku mengaku bersalah……”
“Salah apa?” Ibu Rangga nampak mengernyitkan dahinya.

“Aku telah mencuri uang ibu…….aku takut, nanti kalau ketahuan Buto Ijo aku akan dimakannya…..”
“Oh….Itulah upah anak yang suka berbohong. Kalau kau bohong lagi, biar Buto Ijo benar-benar akan mendatangimu!”

Tidak ada komentar: