Pada zaman dahulu kala di Jepang, ada kuil Budha yang berlokasi di kaki gunung. Kuil itu dijaga oleh seorang pendeta tua dan murid-muridnya. Di antara murid-muridnya, pendeta yang paling mudalah yang paling disayanginya. Mengapa? Karena pendeta termuda itu tidak pernah membantah jika disuruh pergi ke desa guna membelikan sesuatu atau pun menyampaikan surat. Padahal untuk pergi ke desa, ia harus berjalan kaki jauh sekali.
Setiap pendeta muda kembali ke kuil setelah menyelesaikan tugasnya di desa, pendeta tua akan memberikan sedikit upah, satu atau dua sen. Pendeta muda itu tentu saja senang sekali. Sepanjang perjalanan pulang, ia sudah tersenyum-senyum membayangkan uang yang akan diterimanya.
Hari itu pun, pendeta tua memberikan uang kecil kepada si pendeta muda. “Terima kasih, Bapak Kepala Kuil,” kata si pendeta muda sambil membungkuk-bungkuk penuh rasa syukur.
Pendeta tua tersenyum melihat muridnya yang tahu berterima kasih.
Uang satu dua sen memang tidak banyak. Bahkan untuk membeli satu tusuk kue dango saja tidak cukup. Tetapi kalau ditabung, lama-lama tentu menjadi banyak. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Begitu pikir si pendeta muda ketika ia memasukkan uang logamnya ke dalam guci tanah liat bertutup kayu. Guci itu dipakainya sebagai pengganti celengan.
Benar saja. Suatu hari ketika ia mengangkat guci untuk disimpan, wah, gucinya sudah jadi berat sekali. Pasti jumlahnya sudah banyak. Tiba-tiba ia menjadi takut kalau-kalau guci uangnya dicuri orang. Apa akal?
Mula-mula ia menyembunyikan guci itu di sudut dapur. Namun, guci itu ditemukan pendeta temannya yang mengira guci itu guci penyimpan asinan sayur. Untung waktu itu si pendeta muda sempat melihatnya. Kemudian, ia menyembunyikan guci itu di antara guci-guci hiasan. Tetapi lalu ia dimarahi pendeta tua karena ketahuan menaruh guci buruk di antara guci-guci antik koleksi kuil.
Akhirnya si pendeta muda mendapat gagasan bagus ketika melihat seekor anjing menguburkan tulang di dalam tanah di sudut halaman.
“Kenapa anjing lebih pintar?” pikirnya. Pasti tidak ada yang menyangka kalau ada harta di dalam tanah. Maka suatu malam, ia menggali lubang di dekat rumah lonceng kuil, lalu menguburkan guci uangnya di sana.
Belum cukup, si pendeta muda lalu menangkupkan kedua tangannya, dan komat-kamit membaca mantra, ”Wahai, Guci Uang. Kalau orang menemukanmu, jadilah kodok. Kalau aku yang menemukanmu, tetaplah jadi uang.” Mantra itu diulang-ulang berkali-kali sampai ia merasa tenang dan puas.
Pendeta kepala menyaksikan perbuatan si pendeta muda dengan menahan tawa. “Pendeta bodoh ini perlu diberi pelajaran,” pikirnya. Timbul pikiran usil di benak pendeta tua.
Ketika pendeta muda sudah pergi, pendeta tua menangkap tiga ekor kodok hijau. Kemudian ia menggali guci dari dalam tanah. Semua uang receh yang ada di dalam guci dipindahkannya ke dalam kantong. Lalu, sebagai gantinya, ia memasukkan ketiga ekor kodok ke dalam guci.
Keesokan harinya, pendeta tua memanggil pendeta muda untuk disuruh pergi berbelanja ke desa. Sepulangnya si pendeta muda, pendeta tua memberikan kepingan logam satu sen kepadanya. Si pendeta muda dengan hati berbunga-bunga pergi ke dekat rumah lonceng, tempat ia menguburkan gucinya.
“Nah ini dia,” ujarnya gembira menemukan guci hartanya.
Tetapi, ketika dibuka, “Huwaaa!!!” betapa terkejutnya si pendeta muda. Yang keluar dari guci bukannya uang, tetapi tiga ekor kodok yang gemuk-gemuk!
“Kwak kwak! Kwok kwok!”
Kodok-kodok itu melompat-lompat ke sana kemari. Apa yang dilakukan si pendeta muda?
“Tunggu! Tunggu! Uangku, jangan lari!” teriaknya sambil pontang-panting mengejar kodok-kodok itu. “Ini aku! Bukan orang lain! Kembali! Berubahlah jadi uang lagi! Jangan lari!”
Dari tempat tersembunyi, pendeta tua tertawa terbahak-bahak menyaksikan kejadian konyol itu.
Lalu bagaimana nasib uang si pendeta muda? Jangan kuatir, setelah itu semuanya dikembalikan utuh kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar