John Stephen
Akhwari, pria kelahiran tahun 1938 yang berkebangsaan Tanzania, membuat
satu catatan penting yang akan dikenang sepanjang masa. Kisahnya terjadi
di Mexico City pada tahun 1968. Saat itu Mexico menjadi tuan rumah
Olimpiade ke 19.
Hari sudah gelap,
sebagian lampu stadion sudah dipadamkan. Pertandingan lari marathon
memang sudah berakhir. Setelah lewat satu jam lomba usai, tiba-tiba
penonton di kejutkan oleh pengumuman dari pengeras suara. Pertandingan
ternyata belum usai. Masih ada satu pelari yang akan memasuki stadion.
Gemuruh tepuk tangan pun membahana saat seorang pelari mulai memasuki
stadion. Para penonton memberikan standing ovation pada pelari bernomor
36 itu. Ia menjadi pelari terakhir yang sanggup menyelesaikan lomba lari
marathon berjarak 42 km. Sebelas pelari lainnya memilih menyerah.
Walaupun menjadi pelari paling buncit, sejarah mencatatnya sebagai
pelari berhati baja, kukuh bagai karang di dalam mengemban sebuah tugas.
Langkahnya memang tak mulus lagi, bahkan sempat terhenti saat memasuki
pintu stadion. Sejenak ia tampak meringis menahan sakit, tetapi tekadnya
sungguh mengalahkan segalanya. Dengan kaki terbebat perban, dia menuju
garis finish.
Padahal, beberapa
saat setelah bendera dikibarkan sebagai tanda dimulainya lomba lari
marathon tersebut, Akhwari terjatuh dan mengalami lepas engsel pada
sendi lututnya. Panitia menyarankan agar ia mengundurkan diri, tetapi
Akhwari memutuskan untuk melanjutkan perlombaan tersebut. Sambil
mengatasi rasa nyeri, Akhwari terus berlari hingga mencapai garis
finish.
Setelah usai,
Akhwari diwawancarai dan ditanya oleh wartawan mengapa ia terus bertekad
untuk berlari. Akhwari menjawab : ”Negaraku tidak mengirim aku sejauh
5000 mil ke Mexico City untuk memulai perlombaan. Mereka mengirim aku
untuk menyelesikannya.” Akhwari tidak ingin mengecewakan negara dan
seluruh rakyat Tanzania. Negaranya tidak mengirimkannya untuk hanya
memulai lomba lari marathon tersebut, tetapi juga untuk mengakhirinya.
Ia tahu beban apa yang diletakkan di pundaknya dan ia mau bertanggung
jawab untuk menyelesaikannnya.
Gelar “a king without crown’ atau ‘raja tanpa mahkota’ akhirnya disematkan kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar