Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-Ishwara
menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman
kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara
Kala. Sebagai-mana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati,
Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan
kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa. Pada suatu
hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja
raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada
Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya.
Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan
Sang Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan
menjadi raja Hastina. Sementara itu Raksasa Porusada, yang ingin
disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan
seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan
diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan
ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak
dan membunuh para lawannya, Sotasoma titisan Sang Buddha menghadapinya
dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan
tapanya, berubah menjadi air amerta. Semakin marahlah Siwa, sehingga ia
menjelma menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para
bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi
melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak
dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon.
“Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat
tiba (yuganta)”.Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa
ring apan kena parwanosên, Mangkā Jinatwa lawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud
Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun
bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang? Hakikat ajaran Buddha
dan Siwa sebenarnya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada
kebe-naran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada
akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa
Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada
tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama
ciptaan.