Rabu, 03 Oktober 2012

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia,  maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagai-mana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih  hidup sebagai seorang pertapa. Pada  suatu hari,  para  pertapa   mendapat  gangguan  dari Porusada,  raja  raksasa  yang  suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana, akhirnya  ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak dan membunuh para lawannya, Sotasoma titisan Sang Buddha menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta. Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjelma menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”.Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosên, Mangkā Jinatwa lawan Śiwatatwa tunggal,  Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenarnya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada kebe-naran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama ciptaan.

Kisah di atas dikutip dari Kakawin Sotasoma, karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit (1340). Hal penting yang perlu diga-risbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini adalah asal-usul istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini menjadi salah satu dari Catur Pilar Kebangsaan Indonesia, khususnya ada-lah makna filosofinya. Perlu dicatat pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata salam nasional kita “Merdeka”), dan nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”,  − ungkapan yang menurut Dr. Soewito Santosa dalam bukunya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, − “is a magic one of great signifince and it ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle  to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community”.
 
Seperti sinopsis kisahnya yang telah dikutip selayang pandang, kisah ini mula-mula hendak menekankan pentingnya kerukunan antara kedua aliran agama pada zaman itu, yaitu agama Hindu (Siwa) dan agama Buddha. Sosok Bathara Siwa mewakili Hindu dan Raja Sutasoma mewakili ajaran Buddha, yang dimata sang pujangga sekalipun secara lahiriah berbeda-beda tetapi keduanya merupakan ekspresi kebenaran tunggal yang sama. Anda boleh tidak setuju kepada kesimpulan teologis mengenai adanya the transcendental unity of religions yang diwakili oleh ungkapan: Tan Hana Dharma Mangrwa (Tidak ada kebenaran agama yang mendua). Tetapi inti masalahnya yang hendak dipecahkan sang pujangga pasti semua tidak keberatan. Yaitu bagaimana menjinakkan kutub-kutub ekstrim yang ada pada setiap agama, agar tersedia “ruang bersama” untuk saling berbagi, saling melengkapi dalam membangun NKRI sebagai rumah bersama. Karena itu, kini ungkapan bhinneka tunggal ika tercantum sebagai seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks.  Meskipun dalam narasi di atas konteksnya hanya mengacu kepada kemajemukan dalam agama, tetapi dalam implementasinya dalam kehidupan kenegaraan falsafah Bhinneka Tunggal Ika menjiwai kehi-dupan sosial politik kenegaraan secara lebih luas pada zaman itu, tercermin dari tatanan sosial politik, budaya, dan hukum, sebagaimana yang kita implementasikan dalam problem kebangsaan kita yang sekarang jauh lebih kompleks.

Dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang, khususnya apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dalam pergulatan nasional mereka, meskipun problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks. Salah satu faktor, kita memiliki pijakan historis dan filosofis  yang jauh lebih kuat. Kita bisa membandingkan, Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal Qu’est ce qu’une Nation? –“Apakah suatu Bangsa itu?”, di Universitas Sorbone, Prancis tahun 1882. Renan menekankan bahwa agama tidak bisa menjadi landasan kokoh berdirinya suatu bangsa, mungkin setelah ia melihat perpecahan Belanda dan Belgia, yang salah satu faktornya karena kepentingan wilayah Belgia yang mayoritas Katolik tidak dapat merasa terakomodasi oleh pemerintah pusat Belanda yang mayoritas Protestan. Dalam hal tumbuhnya kesadaran mengelola kemajemukan masyarakat, di Barat − yang memang relatif sebagai suatu yang sangat baru − dapat dibilang sangat lambat. Kita memiliki pijakan historis yang lebih kokoh. Jauh sebelum Barat menya-darinya, seloka Bhinneka Tunggal Ika, sudah diperkenalkan lebih kurang 600 tahun sebelumnya (1340), bahkan jauh sebelum munculnya kesadaran Pluribus Unum-nya Amerika, karena memang ketika Mpu Tantular menulis karyanya, saat itu Amerika belum lahir.

Bahkan dari kisah yang dikutip sekilas di awal tulisan ini, Mpu Tantular tidak hanya telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi malahan sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar dan memadai. Karena itu bukan tanpa kebetulan kalau para founding fathers di awal berdirinya NKRI menjadikan Maja-pahit (dan Sriwijaya) menjadi “model” bagi negara kebangsaan (Nationale Staat) dalam mengatasi masalah warisan kemajemukan, sebagaimana yang ditekankan Bung Karno dalam pidatonya tang-gal 1 Juni 1945. Perlu dicatat pula bahwa sekalipun Majapahit pada waktu itu mayoritas Hindu-Buddha, ini berbeda dengan Kesultanan Demak, Pajang, Banten, Ternate, Tidore, dan negara-negara merdeka lain di Nusantara, namun bagitu Majapahit bukan negara theokrasi Hindu, melainkan sebagai negara nasional dengan spirit Hindu dan Buddha sebagai dua agama yang dominan waktu itu dan dikelola oleh prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”.

Bahkan dibuktikan bukan hanya pada sistem politik kenegaraannya, falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” ini juga tercermin pada politik Hukum Majapahit yang tidak didasarkan mentah-mentah pada Hukum Manu (Manawa Dharmasastra) India, melainkan telah dikembangkan suatu sistem hukum nasional yang sesuai dengan warisan sosial dan budaya bangsa pada zamannya, seperti tercermin dalam dua kitab Undang-undang Majapahit, yaitu Sang Hyang Kutaramanawa atau Sang Hyang Āgama, yang asal-usulnya dapat dilacak dari zaman Raja Hayamwuruk (1350-1389) dan Sang Hyang Ādigama, yang berasal dari zaman Raja Wikramawardhana (1389-1428). Kedua kitab undang-undang Majapahit ini yang sampai sekarang masih menjadi salah satu rujukan dalam Hukum Adat di Bali, termasuk dari kitab-kitab Catur gama. Bahkan dibuktikan juga, bahwa ternyata beberapa kompalasi hukum Nusantara yang berasal dari zaman pra-kolonial, seperti Pepakem Cirebon, Simbur Cahaya, dan lain-lain, juga berasal dari lontar-lontar hukum dari zaman Majapahit. Bahkan pranata hukum yang berlaku pada zaman kerajaaan-kerajaan Nusantara pra-kolonial juga berasal dari sistem Majapahit, misalnya sistem Jeksa Pepitu dalam pepakem Cirebon, ternyata berasal dari Sapta Upapati. Seperti disebutkan dalam Undang-undang digama, pada zaman Majapahit penegakan hukum yang transparan digambarkan dengan “Dewan Hakim Tujuh” yang biasanya menyidangkan perkara di bawah pohon beringin (lambang pengayoman) dan disaksikan oleh rakyat banyak.
(oleh: Bambang Noorsena)

Tidak ada komentar: