Di sebuah
desa yang terpencil, tersebutlah seorang petani tua bernama, Kalinda.
Kalinda hidup sangat sederhana. Sehari-hari ia hanya mengandalkan
kemampuannya mencangkul untuk membantu menggarap sawah orang lain.
Keadaan Kalinda sebenarnya serba kekurangan, tapi ia tak pernah
mengeluh. Ia bekerja dengan riang gembira. Satu-satunya harta Kalinda
yang paling berharga adalah cangkulnya. Karena dengan cangkulnyalah
Kalinda dapat mencari makan untuk sehari-hari.
”Wah...hari
ini aku menggemburkan tanah dan menanam cukup banyak padi. Semoga
imbalannya cukup untuk aku makan sampai esok....Hhh...melelahkan
juga...mungkin ada baiknya aku beristirahat di dekat kali sebentar.”
Kalinda berkata dalam hati. ”Aah...nyaman sekali di sini...rimbun dan
sejuk...cocok sekali untuk beristirahat setelah seharian di sawah...”
Kalinda berkata sambil bersantai di pinggir kali.
Kalinda
pun tertidur. Namun tidak lama kemudian ia terbangun karena mendengar
suara gemerisik dedaunan. Karena terlalu kaget, Kalinda tidak sengaja
menggulingkan cangkulnya! Oh, cangkul menggelinding di pinggir kali yang
landai itu dan....cangkulnya tercemplung ke dalam kali!
”Ya
ampun, aku tak sengaja menendang cangkulku sendiri! Aduuh, bagaimana
ini, cangkulku tenggelam dan aku tak bisa berenang! Apa yang harus
kulakukan?” Kalinda kebingungan sekali. Ketika Kalinda sedang
kebingungan, tiba-tiba muncul lah seorang anak muda yang tampan dan
gagah perkasa, ”Hai, pak petani yang baik. Mengapa wajahmu murung
begitu?”
”Ah,
tidak anak muda...hanya saja...cangkulku tenggelam di kali...dan aku
sudah terlalu tua untuk menyelam...padahal itu satu-satunya cangkulku.”
Kalinda berkata pada sang pemuda. ”Oh, begitu. Bagaimana kalau aku coba
mengambilkannya untukmu?” sang pemuda mencoba menawarkan. ”Apakah benar
kau mau melakukan itu untukku, anak muda? Wah, aku sangat berterima
kasih, sangat-sangat berterima kasih!” Kalinda berkata dengan gembira.
Maka
pemuda itu langsung saja menceburkan diri ke dalam kali. Tak lama
kemudian, pemuda itu muncul di permukaan dengan mengacungkan sebuah
cangkul emas, ”Apakah ini cangkulmu, Pak Petani?” teriak sang pemuda.
”Bukan...itu bukan milikku. Tak mungkin aku memiliki cangkul dari emas.
Kembalikan saja ke dasar kali.” Kalinda berteriak kebingungan.
Pemuda
itu pun kembali menyelam mencari cangkul si petani. Tak berapa lama ia
muncul kembali dengan membawa sebuah cangkul perak, “Ah, ini pasti
cangkulmu! Betul kan, Pak?” sang pemuda kembali berteriak dari kali.
“Maafkan aku anak muda, tapi cangkul perak itu bukan milikku. Cangkulku
itu sudah tua dan berkarat.” Kalinda menjawab. “Baiklah, akan kucari
lagi.” Sang pemuda berkata sambil menyelam kembali ke dalam kali.
Setelah
beberapa waktu, pemuda itu muncul lagi membawa cangkul yang sudah tua
dan berkarat. “Nah! Ini baru cangkulku! Terima kasih banyak, anak muda.
Maaf aku tak bisa memberikanmu imbalan kecuali ucapan terima kasih yang
tak terhingga.” Kalinda berkata pada sang pemuda.
“Kalinda,
dengarkan aku....aku sebenarnya adalah dewa sungai. Kau telah melewati
uji kejujuran. Aku bangga padamu Kalinda, walaupun kau hidup serba
kekurangan, kau tetap jujur dan tidak mau mengakui hak yang bukan
milikmu.” Tiba – tiba saja sang pemuda berkata. Kalinda pun kaget tak
menyangka sama sekali. “Kau adalah petani yang baik hati. Sebagai hadiah
atas kebaikan dan kejujuranmu, ambillah cangkul emas dan cangkul perak
ini. Gunakan untuk hal-hal yang baik. Sampai jumpa lagi, Kalinda.” Sang
pemuda berkata sambil memberikan kedua cangkul tersebut kepada Kalinda.
Kalinda
terpana melihat Dewa Sungai tiba-tiba menghilang. Di hadapannya kini
telah tersedia satu cangkul emas dan satu cangkul perak. Maka Kalinda
pulang ke rumahnya membawa dua cangkul ajaib itu. Yang perak segera
dijualnya untuk membeli sawah sendiri, sedangkan yang emas ia gunakan
untuk mencangkul. Konon, hasil sawahnya selalu bagus dan memuaskan, jadi
Kalinda tidak perlu lagi hidup kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar