Senin, 26 Oktober 2009

The Magic Kettle


Tepat di tengah-tengah negara Jepang, tinggi di atas pegunungan, hidup seorang lelaki tua dalam sebuah rumah kecilnya. Ia sangat bangga dengan rumahnya dan tidak pernah lelah mengagumi putihnya warna tikar-tikar jeraminya dan dinding-dinding kertasnya yang cantik, yang bila dalam cuaca hangat terdorong ke belakang sehingga bau harum bunga-bunga dan pepohonan bisa masuk.

Suatu hari ia sedang berdiri melihat gunung di seberang rumahnya, ketika ia mendengar suara gaduh dalam kamar di belakangnya. Ia menoleh keliling dan pada pojok itu ia melihat sebuah ketel besi tua yang telah berkarat, yang mungkin telah bertahun-tahun tidak lihat terangnya hari. Bagaimana ketel itu bisa sampai ke sana orang tua itu tidak tahu, tapi ia mengamatinya dan mengawasinya secara cermat, dan ketika ia menemukan bahwa ketel itu masih utuh ia membersihkan debunya dan membawanya ke dapur. "Itulah rejeki nomplok," katanya, sambil tersenyum sendiri. "Sebuah ketel yang baik mahal harganya, dan tidak ada jeleknya memiliki ketel kedua bila suatu saat membutuhkannya. Ketelku hampir rusak sekarang, dan airnya sudah mulai bocor lewat pantatnya."

Kemudian ia memindahkan ketel itu dari api, mengisi ketel yang baru itu dengan air dan menaruhnya pada tempatnya.

Kejadian aneh terjadi begitu air dalam ketel itu menjadi panas, dan orang tua itu, yang berdiri di dekatnya, mengira bahwa ia pasti sedang bermimpi. Pertama pegangan ketel itu berangsur-angsur berubah bentuknya dan menjadi sebuah kepala, dan corotnya berubah menjadi ekor, sedangkan keluar dari tubuhnya muncul empat buah cakar, dan dalam beberapa menit saja orang tua itu mendapati dirinya sendiri sedang menyaksikan -- bukan ketel lagi, melainkan seekor mahkluk yang hidup yang orang-orang Jepang menyebutnya tanuki.

Ia melompat dari api dan meloncat-loncat ke seluruh ruangan itu seperti seekor anak kucing, berlari naik dinding dan ke atas langit-langit, sampai orang tua itu merasa kesal sekali jangan-jangan kamarnya yang cantik itu jadi berantakan. Ia berteriak kepada seorang tetangganya untuk minta bantuan, dan mereka berhasil menangkap tanuki dan menguncinya dengan aman dalam sebuah kotak kayu.

Kemudian, karena sangat lelah, mereka duduk dan bertukar pikiran tentang apa yang harus mereka lakukan dengan binatang yang menjengkelkan ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjuatnya dan meminta anak kecil yang sedang lewat untuk mengantarkan mereka seorang pedagang tertentu yang dipanggil Jimmu.

Ketika Jimmu datang, orang tua itu mengatakan kepadanya bahwa ia memiliki sesuatu yang ingin jual, dan ia mengangkat kotak kayu itu di mana ia mengurung tanuki tersebut. Tapi, anehnya, tanuki tersebut tidak ada dalam kotak itu, tidak ada selain ketel yang telah ia temukan di pojok itu. Kejadian ini sungguh sangat ganjil, tapi orang tua itu ingat apa yang telah terjadi di atas api dan tidak ingin menyimpan ketel itu dalam rumahnya lagi, maka, setelah tawar-menawar sebentar tentang harganya, Jimmu pergi dengan membawa ketel itu.

Nah belum lama Jimmu pergi ia merasa bahwa ketel itu semakin berat. Setibanya di rumah ia begitu lelah sehingga ia merasa lega setelah meletakkannya di pojok kamarnya dan kemudian melupakannya begitu saja.

Namun demikian, di tengah malam, ia dibangunkan oleh suara gaduh di pojok itu di mana ketel itu berdiri dan ia bangkit dari ranjangnya untuk mengetahui suara apa itu. Namun tak ada apa-apa selain ketel itu, yang kelihatan cukup tenang. Ia berpikir bahwa ia pasti telah bermimpi dan tidur lagi, hanya untuk dibangunkan oleh gangguan yang sama. Ia melompat dan pergi ke pojok itu dan, dengan sinar lampu ia selalu ia nyalakan, ia melihat bahwa ketel itu telah menjadi tanuki, yang berlari-lari dengan menyeret ekornya. Setelah lelah berlari-lari, tanuki itu berjungkirbalik beberapa kali di balkon karena hatinya begitu senang.

Pedagang itu sangat repot dengan apa yang harus dilakukan dengan makhluk itu, dan sudah hampir pagi ia baru bisa tidur. Tapi ketika ia membuka kedua matanya, tidak ada tanuki, selain ketel tua yang telah ia tinggalkan di pojok itu malam sebelumnya.

Segera setelah merapikan rumahnya, Jimmu mulai menceritakan ceritanya kepada seorang teman di sebelah rumahnya. Orang itu mendengarkan dengan tenang dan tidak kelihatan begitu heran sebagaimana harapan Jimmu, karena ia ingat telah mendengar sesuatu tentang sebuah ketel kerja yang menakjubkan pada masa mudanya.

"Pergilah dan bepetualanglah dengan ketel itu; pamerkanlah ia," katanya, "kau akan bisa menjadi orang kaya. Tapi pertama-tama hati-hatilah untuk meminta persetujuan tanuki. Juga akan bijaksana bila kau melakukan beberapa upacara sihir untuk mencegahnya melarikan diri karena melihat banyak orang."

Jimmu berterima kasih pada temannya atas nasehatnya, yang ia ikuti dengan tepat. Persetujuan tanuki diperoleh, dibangun sebuah stan dan di luarnya digantung sebuah pengumuman yang mengundang orang-orang untuk datang dan menyaksikan perubahan bentuk yang paling menakjubkan yang pernah dilihat.

Mereka datang berbondong-bondong, dan ketel itu berpindah dari tangan ke tangan. Mereka diijinkan untuk memeriksanya secara keseluruhan bahkan melihat di dalamnya. Kemudian Jimmu mengambilnya kembali dan, setelah meletakkan ketel itu di atas panggung, memerintahkannya untuk menjadi tanuki. Dalam waktu sekejap pegangan ketel itu mulai berubah menjadi kepala dan corotnya menjadi ekor, sedangkan keempat cakarnya muncul pada sisi-sisinya.

"Menarilah," kata Jimmu, dan tanuki itu melangkah-langkah, pertama bergerak di atas satu sisi dan kemudian ke sisi lainnya, sampai akhirnya orang-orang tidak bisa lagi bersikap tenang untuk tidak ikut menari. Dengan gemulai tanuki memimpin tarian kipas dan meluncur tanpa henti beralih ke tarian bayangan dan tarian payung, dan kelihatan seakan-akan ia terus menari selamanya. Dan sangat mungkin makhluk ini bisa menari terus-menerus, Jika Jimmu tidak menyatakan bahwa tanuki telah menari dengan cukup dan sekarang panggungnya harus ditutup.

Berhari-hari panggung itu selalu penuh sehingga sulit sekali untuk masuk ke dalamnya, dan apa yang diramalkan oleh tetangganya menjadi kenyataan dan Jimmu menjadi orang kaya. Namun tidak merasa bahagia. Ia adalah orang jujur dan berpikir bahwa ia harus membagikan sebagian dari kekayaannya kepada orang yang telah menjual ketel itu kepadanya.

Satu pagi, ia menaruh seratus keping uang emas ke dalam ketel itu dan, dengan menggantungkannya diatas lengannya, ia kembali ke rumah orang tua yang telah menjual ketel itu kepadanya. "Aku tak punya hak lagi untuk menyimpannya lebih lama lagi," tambahnya ketika ia telah menceritakan kisahnya, "jadi aku membawanya kembali kepadamu, dan di dalamnya kau dapat menemukan seratus keping emas yang telah kutaruh di dalamnya sebagai upah sewanya."

Orang itu berterima kasih pada Jimmu, dengan mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang jujur. Dan ketel itu memberikan keberuntungan kepada mereka berdua; segala sesuatu berjalan baik-baik saja dengan mereka sampai mereka meninggal, yang mesti mereka alami bila mereka sudah benar-benar sangat tua dan dihormati oleh setiap orang.

Tidak ada komentar: