Jumat, 15 Mei 2009

Aku Menangisi Adikku 6 Kali

Aku lahir di suatu desa di pegunungan yang sangat terpencil. Untuk memenuhi kebutuhan kami, setiap hari dengan berpeluh orangtuaku membajak lahan kami yang tandus. Dan aku mempunyai seorang adik laki-laki yang usianya tiga tahun lebih muda daripada aku.Suatu saat, karena tertarik untuk membeli sebuah sapu tangan yang di pakai banyak gadis di desa kami, aku mencuri uang lima puluh sen dari laci ayahku.Ayahku segera menyadari kehilangan uang tersebut. Ayah memerintahkan aku dan adikku untuk berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya."Siapa yang mencuri uang itu?" ayah bertanya dengan sangat marah. Aku terdiam, terlalu takut untuk berbicara.Ayah semakin marah ketika tidak ada yang mengaku, dan ia berkata, "Baik, kalau begitu kalian berdua akan kuhajar!" Ayah mengangkat tongkat bambu itu tinggi tinggi.Tiba-tiba, adikku mencengkram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"Tongkat panjang itu segera bertubi-tubi menghantam punggung adikku. Ayah begitu marah, sehingga ia lupa diri dan terus memukul adikku sampai beliau kehabisan napas.Sesudah itu, ayah duduk di atas ranjang batu kami dan memarahi adikku, "Kamu sudah belajar mencuri sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa yang akan datang?... Kamu layak di pukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!".Malam itu ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikan air mata setetespun. Pada tengah malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku, karena tidak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perbuatanku.Bertahun-tahun telah lewat, tetapi kejadian tersebut sekan baru terjadi kemarin. Aku tidak pernah melupakan wajah adikku ketika ia melindungiku. Ketika itu, adikku berusia 8 tahun dan aku berusia 11 tahun.Setelah adikku lulus SMP, ia akan melanjutkan ke sebuah SMA di kabupaten. Pada saat yang bersamaan, aku di terima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, terus menerus sampai menhabiskan berbungkus-bungkus rokok. Aku mendengarnya menggerutu, "Kedua anak kita memberikan hasil yang sangat baik.. hasil yang sangat baik.." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela napas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligua?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar menghampiri ayah dan berkata, "Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku telah cukup membaca banyak buku."Ayah mengyunkan tangannya dan memukul adikku, "Keparat, mengapa kamu mempunyai jiwa yang begitu lemah? Sekalipun hal tersebut bearti bahwa aku harus mengemis di jalanan, aku tetap akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai!"Setelah itu ayah mengetuk setiap rumah di desa untuk mencoba meminjam uang.Dengan penuh kelembutan, aku menjulurkan tanganku ke wajah adikku yang membengkak. Aku coba menasehatinya, "Seorang anak laki-laki harus melanjutkan sekolahnya. Jika tidak, maka ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku seorang wanita.Sekolah tidaklah penting. Aku telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan di universitas.Pada keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, di luar dugaan, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, sambil menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Saat itu adikku berusia 17 tahun, sedangkan aku berusia 20 tahun.Dengan uang hasil pinjaman ayah pada beberapa warga desa, ditambah dengan uang dari adikku(hasil kerja adik sebagai kuli panggul semen di lokasi konstruksi), akhirnya aku berhasil melewati tahun ketiga di universitas.Pada suatu hari, ketika aku sedang belajar di kamar, teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk desa menungumu di luar!"Mengapa ada seorang penduduk desa mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.Aku bertanya kepadanya, "Mengapa tidak kamu katakan kepada temanku bahwa kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihatlah penampilanku. Apa yang akan mereka pikirkan jika mereka tahu bahwa aku adalah adikmu? Apakah mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa sangat terharu dan air mata kembali mengalir dari mataku. Aku membersihkan semua debu yang melekat pada adikku, dengan agak tersendat-sendat aku berkata, "Aku tidak perduli omongan siapapun! Kamu adalah adikku.. apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana penampilanmu..."Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah jepit kupu-kupu. Ia memakaikannya di rambutku, dam kemudian menjelaskan, "Aku melihat semua gadis di kota memakainya, Jadi aku pikir kamu juga harus memakainya. "Dan, aku pun tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku memeluk adikku, menangis dan menangis.Waktu terus berlalu, adikku telah berusia 20 tahun sedangkan aku berusia 23 tahun. Saat aku pertama kali membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah di ganti, dan rumahku terlihat bersih.Setelah pacarku pulang, aku menari nari seperti seorang gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumahkita!"Ibu hanya tersenyum dan berkata, "Ini adalah karena adikmu yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidaklah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela batu itu."Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat wajahnya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit obat pada lukanya dan membalut lukanya."Apakah masih sakit?" aku bertanya kepadanya.Tidak, tidak sakit. Kamu tahu ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap saat. Hal tersebut bahkan tidak menghentikanku untuk bekerja dan.."Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikan tubuhku memunggunginya, air mata mengalir deras turun ke wajahku.Tahun terus berlalu, dan saat aku menikah, adikku telah berusia 23 tahun, sedangkan aku berusia 26 tahun. Setelah menikah, aku tinggal di kota. Sering kali suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka selalu menolak. Mereka mengatakan, jika meninggalkan desa, mereka tidak tahu apa yang harus di perbuat. Adikku juga tidak setuju, ia berkata, "Kak, jaga saja mertuamu. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur di pabrik tempat ia bekerja. Kami menginginkan agar adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manager pada bagian pemeliharaan alat theknik. Tetapi, adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras untuk tetap bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari adikku terkena sengatan listrik ketika ia naik tangga untuk memperbaiki kabel listrik.Ia di masukan ke RS. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Setelah melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, "Mengapa kamu menolak tawaran untuk menjadi seorang manajer? Seorang manajer tidak akan pernah melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihatlah dirimu saat ini, mendapat luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengarkan kami sebelumnya?"Dengan berwajah serius, ia menjelaskan . "Pikirlah kakak ipar .. ia baru saja menjadi seorang direktur, dan aku tidak mempunyai pendidikan. Jika aku dijadikan seorang manajer, gosip seperti apa yang akan tersebar?"Mataku dan mata suamiku dipenuhi oleh air mata, lalu keluarlah perkataanku dengan terpatah patah, "Tetapi, kamu kurang pendidikan juga karena aku!""Mengapa membicarakan masa lalu?" jawab adikku sambil menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 tahun, sedangkan aku berusia 29 tahun.Adikku berusia 30 ketika ia menikah dengan seorang gadis petani dari desa kami. Pada acara pernikahannya, pembawa acara pesta bertanya kepadanya.. "Siapa yang paling anda hormati dan anda kasihi?" Bahkan tanpa berpikir, ia segera menjawab, "Kakakku."Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali suatu kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika aku masih di sekolah dasar, sekolah kami berada di desa yang berbeda. Setiap hari kakakku dan aku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan salah satu sarung tanganku.Lalu kakakku memberikan satu dari sarung tangannya. Dan ia hanya memakai satu sarung tangan saja dan berjalan sangat jauh. Ketika kami kembali ke rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin, sampai -sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakakku dan berbuat baik kepadanya."Tepuk tangan memenuhi ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Bibirku terasa berat dan sulit untuk mengucapkan kata-kata, "Dalam hidupku, orang yang kepadanya aku sangat berterima kasih adalah suamiku."Dan, pada saat yang paling berbahagia itu, di depan kerumunan orang banyak dalam perayaan itu, air mataku mengalir turun seperti sungai membasahi wajahku.

Tidak ada komentar: