Sabtu, 09 Mei 2009

Gadis Penjual Bunga



Springdale adalah nama sebuah desa yang berada di lembah hijau nan subur dan permai. Itu sebabnya, sebagian besar penduduk di desa tersebut bekerja sebagai petani. Selain menanam sayur dan buah-buahan, penduduk di Desa Springdale gemar juga menanam berbagai jenis bunga, seperti bunga mawar, bunga anggrek, bunga tulip, dan masih banyak lagi jenis bunga yang lainnya.

Pagi itu, suasana pasar di Desa Springdale cukup ramai. Penjual dan pembeli memenuhi setiap sudut pasar. Di tengah-tengah pasar tersebut terdapat deretan kios-kios yang diperuntukkan untuk menjual berbagai macam jenis bunga. Tampak banyak sekali bunga yang berwarna-warni. Ada bunga yang berwarna merah, kuning, biru, ungu, putih, dan juga berwarna pink. Semuanya terlihat sangat indah.

Hampir setiap kios bunga ramai dikunjungi pembeli, kecuali satu kios bunga yang terletak paling ujung dari deretan kios-kios bunga tersebut. Penjaga sekaligus penjual bunga di kios tersebut adalah seorang perempuan muda berusia kurang lebih 17 tahun. Nama perempuan tersebut adalah Rosemary.

Sebetulnya, cukup banyak orang yang berlalu-lalang di depan kios bunga milik Rosemary. Setiap kali ada orang yang lewat di depan kiosnya, Rosemary mengambil beberapa tangkai bunga lalu menawarkannya kepada mereka,”Silakan Tuan, Nyonya, beli bunga milik saya ini. Ada bunga mawar, melati, anggrek, dan masih banyak yang lainnya”. Meskipun begitu, tak satu pun orang yang mau membeli bunga miliknya. Hampir semua orang cepat-cepat menghindar ketika Rosemary menawarkan bunga kepada mereka. Tapi, ada juga yang menolak tawaran Rosemary dengan nada halus.

Sudah berjam-jam lamanya Rosemary menawarkan bunga yang dijual di kios miliknya tersebut. Namun, tak ada orang yang mau membeli bunganya walau satu tangkai pun. Sementara, sinar matahari sudah mulai menyengat kulit dan itu tandanya hari sudah siang. Pengunjung pasar hanya tinggal beberapa orang saja dan para penjual pun mulai membereskan barang dagangannya untuk pulang ke rumah masing-masing.

Rosemary merasa sedih karena hari itu tidak ada bunganya yang terjual dan tentu saja ia tidak mendapatkan uang sepeser pun. Dengan wajah yang lesu dan tubuh yang lemas, Rosemary mulai mengemasi bunga dari kiosnya. Ia memasukkan bunga-bunga tersebut ke dalam keranjang untuk dibawa pulang.

Ketika Rosemary sedang mengemasi bunga-bunga miliknya, tiba-tiba terdengar suara dari sekelompok orang yang lewat dan kemudian mengejeknya,”Bagaimana hasil jualanmu hari ini Rosemary? Pasti tidak ada yang laku ya … ha,ha,ha …”
“Lebih baik berjualan makanan ternak saja”.
“Lihat Rosemary, wajahmu itu tidak seindah bunga yang kau jual”.
“ Lebih baik buka saja kerudung yang menutupi wajahmu yang jelek itu.
Pakai kerudung pun tetap saja orang-orang tahu kejelekan wajahmu.”
“Mungkin kamu terkena kutukan ya, Rosemary sehingga wajahmu jelek
Begitu. Aduh kasihan … ha,ha,ha …”.
Ternyata, kata-kata ejekan itu berasal dari para perempuan, yang sama-sama menjadi penjual bunga di kios-kios bunga yang lain. Rosemary diam saja mendengar kata-kata ejekan itu. Meskipun demikian, jauh di dalam hatinya, Rosemary merasa sedih dan terluka.

Memang benar bahwa wajah Rosemary terlihat jelek karena sebagian wajahnya terlihat berwarna hitam. Itulah sebabnya orang lain sering mengejek atau merasa katakutan apabila melihat wajah Rosemary. Jadi, tidak mengherankan jika Rosemary tidak memiliki teman dan ia merasa sangat kesepian.

Siang itu, sehabis berjualan, Rosemary pulang berjalan kaki ke rumahnya. Ia melewati jalanan sepi yang terletak di tepi aliran sungai. Pikirnya, di jalan yang sepi seperti itu, ia tidak akan menjumpai seorang pun yang akan mengejeknya. Dari raut wajah Rosemary dapat terlihat bahwa pikiran dan perasaannya terasa kacau dan tak menentu.

Rosemary berjalan dengan lambat sambil melamun. Dalam hatinya ia berkata,”Mengapa aku harus dilahirkan dengan wajah seperti ini? Aku sama sekali tidak ingin dilahirkan dengan wajah yang buruk. Belum lagi, aku sudah menjadi anak yatim piatu sejak kecil. Hidup ini memang tidak adil … aku benci semuanya … ”.

Selama ini, segala keluhan hanya dipendam oleh Rosemary dalam hatinya. Tapi sesekali, Rosemary menceritakan keluhan dan penderitaan yang ia alami kepada Bibi Matilda, yang sudah belasan tahun tinggal bersamanya. Setiap kali Rosemary mengungkapkan keluhannya, Bibi Matilda selalu menghibur dan menguatkan semangatnya.

Panas terik dan rasa lelah setelah berjualan di pasar sejak pagi hari, membuat Rosemary berhenti sejenak dan berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Sambil berteduh, Rosemary mengeluarkan bekal yang dibawanya dari rumah, yaitu dua potong roti yang telah diolesi selai kacang. Kebetulan, Rosemary pun sudah merasa lapar sekali. Ia bermaksud memakan roti tersebut sementara berteduh dari terik sinar matahari.



Setelah menyandarkan punggung di batang pohon dan meluruskan kedua kakinya, Rosemary mengambil sepotong roti dan siap untuk memakannya. Baru saja Rosemary hendak melahap roti tersebut, tiba-iba terdengar suara seseorang yang menegurnya. “Nona, bolehkah kakek meminta sepotong roti darimu?” Rosemary tersentak kaget mendengar suara yang tiba-tiba tersebut. Dengan wajah tertegun, Rosemary memandang wajah seorang kakek tua yang telah berdiri di sampingnya.
“Apakah kau kaget melihatku, Nona? Aku hanyalah seorang kakek yang sedang lewat di jalan ini. Kebetulan aku melihatmu sedang makan roti. Aku ingin minta sepotong roti darimu karena aku merasa lapar. Itu pun jika
engkau mengizinkan,”seru kakek kepada Rosemary.
“Oh … ehm … boleh, boleh, tentu saja boleh, Kek. Ini, ambillah,”kata Rosemary sambil mengulurkan sepotong roti kepada si kakek.
“Kebetulan juga Kek, hari ini aku membawa dua potong roti sebagai bekal makan siang,”lanjut Rosemary lagi.
“Terima kasih, Nona. Engkau memang seorang perempuan yang sangat baik. Maaf kalau aku mengganggu makan siangmu,”seru kakek sambil memakan roti itu dengan lahap.
“Oh, tidak apa-apa, Kek. Sudah kewajibanku untuk membantu orang lain yang membutuhkan,”jawab Rosemary yang juga sedang mengunyah roti di mulutnya.
Kakek tua itu tersenyum sambil melanjutkan makan roti. Sementara, Rosemary pun membalas dengan hal yang sama. Dalam waktu singkat, keduanya telah menghabiskan roti sampai tak bersisa.

“Wah, perutku sudah terasa agak kenyang sekarang. Terima kasih banyak, Nona. Oh ya, aku belum tahu siapa nama nona. Boleh aku tahu nama nona?”sahut kakek tersebut dengan nada ingin tahu.
“Ehm … namaku Rosemary, Kek,”jawab Rosemary pelan.
“Rosemary … wah, itu nama yang bagus sekali nona. Tapi, mengapa wajahmu terlihat murung, Nona?”tanya si Kakek keheranan.
“Apakah dari tadi Kakek tidak melihat wajahku yang buruk ini?”Rosemary balik bertanya.
“Oh, jadi itu masalahnya. Rosemary, aku sudah melihat wajahmu sejak aku berbicara denganmu pertama kali. Meskipun begitu, aku tidak kaget dan tidak takut melihatnya,”jawab Kakek sambil tersenyum.
“Benarkah begitu, Kek?” tanya Rosemary lagi.
“Benar, Rosemary. Kakek tidak berbohong. Kakek bisa tahu apa yang kaurasakan saat ini. Tapi bagi Kakek, engkau adalah seorang perempuan yang sangat cantik, secantik bunga-bunga yang ada dalam keranjangmu. Kebaikan hatimulah yang membuat engkau sangat cantik, Rosemary,”jawab kakek tetap dengan senyuman.
“Selama ini, hanya Bibi Matilda dan kakek saja yang berkata seperti itu. Sedangkan yang lainnya, selalu mengolok-olok aku,” kata Rosemary dengan suara pelan.
“Rosemary,”seru kakek dengan suara perlahan.
“Aku tahu engkau adalah seorang perempuan yang baik hati. Oleh karena itu, engkau berhak untuk menerima pemberian dariku,”sambung si Kakek sambil memberikan setangkai bunga mawar merah yang belum mekar pada Rosemary.

Mendapat setangkai bunga mawar merah yang belum mekar, Rosemary menjadi bingung. Ia pun bertanya kepada si Kakek.

“Kek, mengapa kakek memberikan bunga ini kepadaku? Bukankah aku memiliki banyak bunga di dalam keranjangku?” tanya Rosemary dengan wajah bingung.
“Rosemary, bunga mawar yang kuberikan kepadamu itu bukanlah bunga biasa. Bunga tersebut akan mekar dengan sendirinya dalam waktu 3 hari. Setelah bunga itu mekar, ucapkanlah satu permohonan maka permohonanmu tersebut akan menjadi kenyataan. Hanya, engkau tidak dapat memohon orang yang telah meninggal untuk dapat hidup kembali,” jawab si Kakek dengan panjang lebar.
“Benarkah semua yang kaukatakan itu, Kek?” tanya Rosemary lagi.
“Betul, Rosemary. Kakek tidak berbohong padamu. Oleh karena itu, pikirkanlah baik-baik apa yang akan kau minta sebelum engkau mengucapkannya. Baiklah, Kakek harus melanjutkan perjalanan sekarang. Sampai jumpa lagi Rosemary dan terima kasih untuk roti yang sudah kau beri buat Kakek,” seru Kakek pada Rosemary.
“Sama-sama, Kek. Aku juga berterima kasih untuk bunga yang Kakek berikan padaku ini. Hati-hati di jalan ya, Kek,” kata Rosemary.
“Baiklah, kakek akan berhati-hati di jalan. Selamat tinggal, Rosemary,” seru kakek sambil melambaikan tangannya.

Kakek tua tersebut berjalan perlahan meninggalkan Rosemary. Sementara itu, Rosemary masih termenung sambil memandangi setangkai bunga mawar yang diberikan olek kakek tadi. Dalam diri Rosemary bercampur baur perasaan antara bingung dan gembira. Dia bingung apakah permohonannya nanti akan terkabul ataukah tidak. Sebaliknya, Rosemary merasa gembira karena seandainya perkataan kakek benar, ia memiliki kesempatan untuk memiliki wajah yang bersih dan cantik seperti perempuan-perempuan yang lain.

Hari itu, Rosemary pulang ke rumah dengan membawa sekeranjang bunga yang tidak laku terjual dan juga setangkai bunga mawar yang belum mekar, pemberian si kakek. Rosemary tidak memberitahukan tentang setangkai bunga yang diberikan oleh kakek karena pikirnya Bibi Matilda akan menganggap dirinya terlalu mengada-ada. Lagipula, ia belum tahu apakah betul bunga tersebut dapat mengabulkan permohonannya. Jadi, hal itu hanya menjadi rahasia pribadinya saja.

Meskipun begitu, Bibi Matilda merasakan ada yang aneh dengan sikap Rosemary. Bibi Matilda pun menjumpai Rosemary di kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang dan mulai bertanya pada Rosemary.
“Rosemary, aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada dirimu. Apakah ada sesuatu yang telah terjadi dengan dirimu?” tanya Bibi Matilda.
“Mmm … tidak ada Bi,” jawab Rosemary singkat.
“Tapi, mengapa wajahmu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu?” tanya Bibi Matilda lagi.
“Oh, ehm … tidak ada. Aku tidak memikirkan apa-apa kok, Bi,” jawab Rosemary dengan sedikit salah tingkah.
“Oh, begitu. Syukurlah, bibi pikir kamu sedang mengalami masalah. Mungkin bibi yang terlalu berperasaan. Oh ya, bagaimana dengan hasil berjualan bungamu hari ini?” tanya Bibi Matilda ingin tahu.
“Begini, Bi. Aku sudah berusaha menawarkan bunga dari pagi hingga siang hari. Tapi, tidak ada satu pun pengunjung pasar yang membelinya. Jadi, aku tidak mendapatkan sepeser uang pun hari ini,” jawab Rosemary dengan wajah tertunduk.
“Ya sudahlah kalau begitu,” seru Bibi Matilda dengan helaan napas panjang
“Bibi tidak menyalahkanmu. Bibi tahu kalau kamu sudah berusaha dengan keras,” kata Bibi Matilda lagi.

Suasana mendadak hening sejenak. Kali ini, Bibi Matilda yang tampak merenung. Pandangan matanya menerawang jauh ke luar jendela kamar. Sepertinya ada beban berat yang sedang dipikul oleh Bibi Matilda. Tapi, hal itu tidak dikatakannya pada Rosemary. Tidak berapa lama kemudian, Bibi Matilda meninggalkan Rosemary sendirian di kamarnya.
Sebenarnya, tiga hari merupakan waktu yang tidak lama. Namun bagi Rosemary, waktu tersebut dirasakan cukup lama. Tidak sabar rasanya menunggu selama 3 hari untuk melihat bunga mawar tersebut mekar dengan sempurna. Hanya satu permohonan yang akan diucapkannya, jika bunga itu telah mekar dengan sempurna, yaitu agar wajahnya dapat menjadi cantik bersih seperti perempuan-perempuan yang lain.

Tiga hari kemudian, Rosemary bangun pagi-pagi benar saat mentari baru saja terbit. Ia sudah bersiap-siap duduk di samping meja yang terdapat di kamarnya. Sementara, setangkai bunga mawar pemberian kakek ada di atas meja tersbut. Dengan hati berdebar-debar, ia melihat apa yang akan terjadi pada bunga mawar itu.

Beberapa saat lamanya Rosemary menanti tetapi tak ada satu perubahan pun yang terjadi pada bunga mawar yang sedang dipandanginya. Mulai muncul keragu-raguan pada dirinya. “Apakah mungkin kakek itu berbohong padaku?” tanyanya dalam hati. Ia sudah tidak sabar untuk mengucapkan permohonannya.

Ketika Rosemary sedang bertanya-tanya dalam hatinya, sesuatu terjadi pada bunga mawar tersebut. Dengan mata tak berkedip dan perasaan takjub ia melihat perubahan yang terjadi pada bunga itu. Kelopak bunga yang sebelumnya tertutup kini mulai terbuka sedikit-demi sedikit hingga akhirnya bunga mawar tersebut mekar. Tampak bunga mawar itu berwarna merah dengan cahaya keemasan. “Wah, indah sekali bunga ini. Lebih indah dari bunga yang selama ini pernah aku lihat,” pikir Rosemary.

Hampir saja Rosemary lupa dengan permohonannya karena begitu kagumnya ia pada keindahan bunga mawar tersebut. Tetapi, ia segera sadar dan ingat akan permohonan yang akan diucapkannya. Rosemary menarik napas panjang dan ia segera akan mengucapkan permohonannya.
Tepat pada waktu Rosemary hendak mengucapkan permohonannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras. “Dar… dar…dar…Matilda, buka pintunya, cepat!” terdengar suara teriakan dari luar rumah. Rosemary kaget mendengar suara gaduh tersebut. Ia cepat-cepat keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi, tanpa sempat mengucapkan permohonannya.

Ketika Rosemary keluar kamar, ia terkejut melihat Bibi Matilda yang terjengkang jatuh karena terdorong oleh pintu depan rumah yang dibuka secara paksa. “Bibi Matilda!” seru Rosemary sambil menghampiri Bibi Matilda yang sedang tergeletak di lantai. Belum habis rasa kagetnya, Rosemary melihat dua orang pria bertubuh besar dan berwajah menyeramkan masuk ke dalam rumah.

“Bibi Matilda …,” seru Rosemary sambil berlari menghampiri bibinya tersebut.
“Bibi tidak apa-apa?” tanya Rosemary seraya membantu Bibi Matilda untuk berdiri.
“Bibi tidak apa-apa, Rosemary,” sahut Bibi Matilda dengan memegangi dahinya yang tampak memar akibat terbentur lantai. Sementara itu, kedua pria yang mendobrak pintu tadi hanya memperhatikan tanpa ada perasaan belas kasihan sama sekali.

Setelah Bibi Matilda dapat berdiri kembali, kedua pria yang semenjak tadi memperhatikan mereka tiba-tiba angkat bicara.
“Hai, Matilda! Sudah waktunya engkau membayar hutang kepada tuan kami, yaitu Tuan Boyle!” bentak seorang di antara kedua pria itu.
“Apa? Bibi Matilda berhutang? Ta..tapi, mana mungkin itu terjadi?” seru Rosemary dengan penuh rasa heran.
“Jadi, kamu tidak percaya? Hai, gadis jelek, kalau engkau tidak percaya, coba tanyakan saja pada bibimu itu,” jawab pria tadi dengan nada sinis.
“Bibi, apakah betul kalau engkau telah berhutang kepada Tuan Boyle?” tanya Rosemary ingin tahu.
“Benar, Rosemary. Selama ini bibi memang berhutang kepada Tuan Boyle tanpa sepengetahuanmu. Upah yang bibi terima dari hasil mencuci pakaian orang lain ternyata tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita berdua. Maafkan bibi, Rosemary,” jawab Bibi Matilda lirih.

Mendengar kata-kata Bibi Matilda, tubuh Rosemary terasa lemas. Ia tidak tahu bagaimana caranya menolong Bibi Matilda untuk bebas dari hutang-hutangnya. Rosemary merasa bingung.

“Ah, sudah…sudah. Cukup sudah pembicaraan kalian. Aku sudah tidak sabar lagi. Hai, Matilda…bayar sekarang hutang-hutangmu!” seru seorang di antara penagih hutang itu.
“Ma…ma…maaf tuan. Mohon tuan jangan marah. Berilah kiranya aku waktu satu minggu lagi, pasti akan kulunasi semua hutang-hutangku,” pinta Bibi Matilda.
“Apa? Satu minggu katamu? Selama ini Tuan Boyle sudah bermurah hati kepadamu. Kalau engkau tidak bisa membayar hutang-hutangmu hari ini, maka rumah ini beserta isinya akan kami sita dan kalian akan menjadi gelandangan yang tidur di pinggir jalan, ha…ha…ha…Ayo, mana uangnya, Matilda?” seru si penagih hutang itu lagi.
“Am…am…ampun, tuan. Aku tidak mempunyai uang saat ini. Tolong, berikan aku waktu lagi,” jawab Bibi Matilda dengan nada memelas.
“Oh…jadi engkau tidak mau membayar hutang-hutangmu. Baik, kalau begitu terpaksa kalian harus menjadi gelandangan mulai hari ini juga,” kata seorang penagih hutang itu dengan tangan yang siap memegang Bibi Matilda dan Rosemary untuk menyeret keduanya keluar dari rumah.

Ketika tangan dari kedua orang penagih hutang yang kasar itu hendak memegang mereka berdua, tiba-tiba Rosemary berteriak.
“Stop…jangan sentuh kami! Aku akan membayar hutang tersebut,” teriak Rosemary dengan suara bergetar.

Mendengar kata-kata tersebut, para penagih hutang itu pun mundur dan tidak jadi menyeret keluar Bibi Matilda dan Rosemary.

“Rosemary, apa yang kau lakukan ini?” bisik Bibi Matilda cemas.
“Bibi tenanglah. Tidak usah takut,” jawab Rosemary menenangkan bibinya.

Kedua penagih hutang itu memandang Rosemary dengan tatapan mata yang tajam.
“Apa tidak salah kata-kata yang aku dengar ini? Betulkah engkau akan membayar hutang bibimu, wahai gadis jelek?” tanya seorang penagih hutang itu dengan nada sinis.
“Betul, aku akan membayarnya. Sekarang sebutkan, berapa jumlah hutang Bibi Matilda?” seru Rosemary lantang.
“Hutang bibimu sejumlah lima puluh ribu gulden. Engkau sanggup membayarnya, wahai gadis jelek?” penagih hutang itu balik bertanya.
Rosemary terdiam sejenak sambil memandang wajah Bibi Matilda yang masih tampak cemas, tapi kemudian ia berkata lagi,”Aku sanggup membayarnya. Tunggu sebentar,” jawab Rosemary sambil melangkah ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar, Rosemary duduk di samping meja di mana setangkai bunga mawar merah dengan kemilau keemasan, pemberian seorang kakek tua, ada di atasnya. Ia memandang bunga tersebut dengan perasaan berdebar-debar. Mulutnya siap untuk mengucapkan sebuah permohonan. Tidak berapa lama Rosemary berkata,”Wahai bunga mawar, aku minta uang sejumlah lima puluh ribu gulden.” Baru saja Rosemary mengucapkan permohonannya, tiba-tiba bunga mawar tersebut mengeluarkan cahaya yang sangat terang sehingga terlalu silau bagi Rosemary untuk melihatnya. Ia menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajahnya dari kesilauan cahaya tersebut. Setelah cahaya dari bunga mawar tersebut lenyap, Rosemary melihat ke atas meja tempat bunga tadi berada. Betapa terkejutnya ia karena bunga mawar tersebut telah berubah menjadi sekantung uang. Rosemary menghitung uang yang ada di dalam kantung tersebut dan bertambah rasa terkejutnya ketika ia mendapati bahwa uang yang dihitungnya tepat berjumlah lima puluh ribu gulden. “Ajaib. Apa yang dikatakan oleh kakek tua itu ternyata benar,” kata Rosemary dalam hati.

Segera Rosemary keluar kamarnya dengan membawa kantung uang yang baru saja didapatnya.
“Ini uang sejumlah lima puluh ribu gulden untuk membayar hutang Bibi Matilda,” kata Rosemary sambil menyerahkan kantung uang itu kepada seorang di antara penagih hutang.
Dengan pandangan mata curiga, orang tersebut menerima kantung uang dari Rosemary.
“Ayo, hitunglah!” desak Rosemary.
“Baik, aku akan menghitungnya,” jawab orang itu.

Setelah uang dalam kantung dihitung, wajah si penagih hutang itu terlihat puas.
“Baiklah Matilda. Engkau beruntung memiliki seorang keponakan yang begitu baik dengan melunasi seluruh hutangmu. Tapi ingat Matilda, lain kali tidak ada kata terlambat untuk melunasi hutang, ha…ha…ha…,” seru si penagih hutang. Setelah berkata demikian, kedua penagih hutang yang berwajah menyeramkan itu berjalan meninggalkan rumah. Sementara, Rosemary memeluk Bibi Matilda yang masih tampak ketakutan.
Setelah ketakutannya mereda, Bibi Matilda bertanya kepada Rosemary,
“Rosemary, darimana kamu mendapatkan uang tersebut?”
“Aku tidak bisa mengatakannya Bibi. Tapi yang pasti, aku tidak melakukan hal-hal yang jahat untuk mendapatkannya,”seru Rosemary.
Bibi Matilda bisa memaklumi jawaban Rosemary dan ia pun tidak bertanya lagi.

Malam harinya, Rosemary tampak merenung sendirian di atas tempat tidur. Pikirannya terbayang-bayang pada setangkai bunga mawar pemberian kakek. Sekarang, bunga mawar itu sudah lenyap tetapi Rosemary sendiri tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu wajah yang cantik dan bersih. Tanpa sadar, air mata pun meleleh di pipi Rosemary. “Aku merasa sangat sedih karena tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. Tetapi, aku senang Bibi Matilda sudah terbebas dari hutang-hutangnya,”Rosemary berkata dalam hatinya.

Keesokan paginya, seperti biasa Rosemary berjualan bunga di pasar. Wajah Rosemary masih tampak lesu di balik kerudung yang ia kenakan di kepalanya. Kiosnya tempat berjualan bunga masih tampak sepi sementara kios-kios bunga yang lain semakin ramai oleh pembeli.

Sementara Rosemary duduk terdiam, seseorang telah berdiri di depan kios tanpa disadarinya. “Rosemary,”sapa orang tersebut. Rosemary yang sedang melamun sangat terkejut dan ia melihat seseorang berdiri di depan kios sambil tersenyum kepadanya. Rosemary tampak tidak terkejut dan sepertinya ia sudah pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya.
“Kakek … mengapa kakek bisa sampai ke sini?” tanya Rosemary penuh rasa heran.


Rupanya, orang yang datang menjumpai Rosemary tersebut adalah kakek tua yang pernah memberikan padanya setangkai mawar ajaib.
“Rosemary, aku sengaja datang kemari untuk menjumpaimu,”kata kakek tua itu.
“O, ya. Ada perlu apa, Kek? Apakah ada sesuatu yang bisa aku Bantu?” tanya Rosemary.
Sambil tersenyum kakek tersebut berkata,”Rosemary, aku betul-betul bangga kepadamu. Engkau adalah seorang yang baik hati. Untuk menolong orang lain, engkau rela mengorbankan keinginanmu sendiri.”
“Kek, apakah kakek tahu kalau aku menggunakan mawar pemberian kakek untuk menolong Bibi Matilda,”seru Rosemary keheranan.
“Ya, aku tahu itu. Engkau meminta sejumlah uang, tapi uang itu kaugunakan untuk melunasi hutang bibimu. Sungguh suatu perbuatan yang mulia, Rosemary,”kata kakek dengan suara bijak.
“Apakah kamu tidak menyesal mengorbankan keinginanmu sendiri, Rosemary?” kakek balik bertanya pada Rosemary.
“Tidak, Kek. Aku sama sekali tidak menyesal. Aku memang sedih karena tidak mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini, yaitu wajah yang cantik dan bersih. Tetapi, aku sangat senang jika aku bisa menolong orang lain. Apalagi, orang yang aku tolong itu adalah bibiku sendiri yang telah mengasuhku sejak kecil,”jawab Rosemary dengan panjang lebar.
“Bagus, bagus. Kakek tahu bahwa kakek tidak salah menilaimu,”seru kakek sambil tertawa puas.
“Tapi, Kek. Aku masih penasaran, dari mana kakek tahu semua yang aku lakukan untuk menolong Bibi Matilda?” tanya Rosemary keheranan.
“Ha… ha…ha…Itu tidaklah penting, Rosemary. Yang penting sekarang adalah aku ingin memberikan sesuatu kepadamu,”kata kakek sambil merogoh sesuatu di dalam kantong yang ia bawa.

Rosemary menunggu dengan hati yang berdebar-debar dan penuh rasa ingin tahu. Matanya senantiasa tertuju pada tangan kakek. Dan, mata Rosemary terbelalak ketika ia melihat sesuatu yang diambil oleh kakek dari dalam kantongnya.
“Rosemary, inilah yang ingin kuberikan kepadamu,”kata kakek sambil mengulurkan tangannya.
“Bu…bu…bunga mawar,”seru Rosemary seolah tak percaya.
“Benar, Rosemary. Anggaplah ini sebagai ganti dari permohonanmu yang belum terkabul itu. Bunga ini telah mekar dengan sempurna sehingga bisa mengabulkan permohonanmu saat ini juga,”jawab kakek pada Rosemary.
“Te…te…terima kasih, Kek,”seru Rosemary gembira bercampur haru.
“Ayo, mintalah sesuatu, Rosemary,”pinta kakek.
“Baiklah, Kek,”jawab Rosemary dengan penuh semangat.

Rosemary segera memejamkan matanya sambil menarik napas dalam-dalam. Sambil menatap bunga mawar itudalam-dalam, Rosemary mengucapkan permohonannya,”Wahai bunga mawar, aku ingin agar wajahku menjadi cantik dan bersih.”

Baru saja Rosemary mengucapkan permohonannya, tiba-tiba bunga mawar itu mengeluarkan cahaya yang sangat kemilau. Sinar itu nampak semakin terang dan mulai menutupi wajah Rosemary perlahan-lahan. Sementara, kakek tua itu melihat apa yang terjadi dengan wajah tersenyum.

Rupanya, peristiwa menakjubkan itu menarik perhatian orang-orang yang sedang berlalu lalang di pasar itu. Tidak terkecuali gadis-gadis penjual bunga yang berada di sekitar kios bunga milik Rosemary. “Hei lihat, apa yang terjadi pada Rosemary. Cahaya apa itu?” tanya mereka dengan penuh rasa heran.


Sesaat kemudian, cahaya itu berangsur-angsur meredup. Setelah cahaya itu hilang sama sekali, tampaklah Rosemary yang masih gugup. Ia segera mengambil cermin kecil yang biasa dibawanya dan mulai bercermin. “Hei … wa…wa…wajahku…wajahku cantik sekarang,”teriak Rosemary sambil meraba wajahnya.

Perlahan-lahan, Rosemary mulai membuka kerudung yang selama ini dipakainya. Setelah kerudungnya terlepas, nampaklah seorang wanita yang cantik jelita bak putri istana. Rambut yang berwarna keemasan terurai menutupi bahu dan kulit wajah yang putih bersih membuat kecantikan Rosemary semakin bersinar-sinar. Tidak tampak lagi noda kehitaman yang menutup separuh wajahnya. Sebutan yang pantas untuk Rosemary sekarang adalah gadis cantik jelita dan bukan gadis buruk rupa.

Untuk sesaat Rosemary merasa kegirangan dan lupa dengan orang-orang yang berkerumun di sekeliling kiosnya. Tapi kemudian ia tersadar dan teringat kepada kakek tua yang telah memberinya sekuntum bunga mawar ajaib. Tapi, kakek tua tersebut sudah lenyap dari hadapannya. “Kek…kakek…kakek di mana?” teriak Rosemary sambil melayangkan pandangannya ke arah kerumunan orang.
“Maaf, apakah ada di antara saudara yang melihat seorang kakek tua yang baru saja singgah di tempat ini?” tanya Rosemary pada orang banyak itu.
“Tidak nona. Tapi, kalau seorang perempuan yang cantik jelita, memang kami melihatnya,”jawab seorang pria sambil tersenyum ke arahnya.
“Betul nona, dan orang itu adalah nona sendiri,”sambung orang-orang yang lain.



Rosemary tersipu-sipu malu mendengar pujian orang banyak itu. Tapi, di dalam hatinya ia merasa senang, karena tidak ada lagi orang yang memanggilnya sebagai gadis buruk rupa melainkan gadis cantik jelita. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih kepada kakek tua yang telah memberinya kesempatan untuk memiliki wajah cantik jelita.

Sekalipun wajahnya telah menjadi cantik, rosemary tetap rendah hati. Ia masih menjadi penjual bunga di pasar. Hanya bedanya, sekarang kiosnya tidak lagi sepi. Sebaliknya, banyak pengunjung, kebanyakan laki-laki, yang berebutan ingin membeli bunga di kiosnya. Sambil membeli bunga, mereka ingin menikmati kecantikan wajah Rosemary. Banyak di antara pembeli yang menyanjung kecantikan Rosemary setinggi langit. Bahkan seorang pria setengah baya berkata,”Rosemary, engkau adalah wanita tercantik di desa ini bahkan di seluruh negeri ini. Engkau tidak sepantasnya tinggal di desa kecil seperti ini. Seharusnya engkau tinggal di istana sebagai istri seorang pangeran tampan, Rosemary.” Mendengar kata-kata itu, Rosemary hanya tersenyum. Ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di istana yang megah. Namun, kata-kata yang didengarnya itu akan menjadi kenyataan.

Satu bulan kemudian, ketika Rosemary sedang sibuk menata bunga di kiosnya, seorang pria muda berpakaian indah datang menemui Rosemary dengan diiringi beberapa pengawalnya. Kehadiran mereka rupanya menarik perhatian dari orang-orang yang ada di pasar.
“Maaf Nona, apakah betul anda yang bernama Rosemary,”tanya pria muda tersebut.

Rosemary yang sedang sibuk terkejut ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya. Ia mengangkat kepalanya dan dilihatnyalah seorang pria muda dengan pakaian seperti seorang bangsawan. Wajah pria itu begitu tampan dan memancarkan karisma yang mempesona. Agaknya, pria tersebut sangat menarik perhatian Rosemary. Untuk sesaat Rosemary tertegun, tetapi kemudian ia tersadar dan menjawab,”Yyyaa…ya betul, sayalah orangnya. Tapi, boleh saya tahu siapakah tuan dan untuk keperluan apa tuan menemui saya pagi-pagi benar?” Rosemary balik bertanya.

“Beliau adalah Pangeran Andrew yang merupakan calon pewaris takhta kerajaan di negeri ini. Kedatangan beliau untuk menanyakan apakah Nona Rosemary bersedia untuk menikah dengannya,”jawab seorang pengawal pada Rosemary.

Mendengar penjelasan pengawal tadi, seakan-akan Rosemary tidak percaya. “Pa…pa…pangeran. Me…me…menikah. Betulkah apa yang kudengar ini?” tanya Rosemary dengan suara gemetar.

Pangeran Andrew kemudian menjawab dengan suara lembut,”Benar, Rosemary. Apa yang dikatakan oleh pengawalku tadi memang benar. Aku adalah Pangeran Andrew. Kabar tentang kecantikanmu telah kudengar dari para bawahanku. Tapi, aku ingin memastikan kalau itu adalah benar. Aku telah mengutus seseorang untuk mengetahui kebenarannya. Ternyata, engkau lebih dari apa yang aku bayangkan selama ini. Sekalipun cantik, engkau tidak menjadi sombong dan tetap rendah hati. Bukan hanya itu, engkau pun gemar menolong orang lain. Wanita sepertimulah yang aku butuhkan untuk mendampingiku sebagai permaisuri ketika kelak aku memimpin negeri ini. Sekarang, aku memohon kepadamu,” seru Pangeran Andrew sambil berlutut dan memegang tangan kanan Rosemary,”Menikahlah denganku, Rosemary.”

Penderitaan yang dialami oleh Rosemary selama bertahun-tahun, akibat cacian dan cemoohan orang lain, seolah lenyap ketika mendengar permohonan Pangeran Andrew untuk menikah dengannya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Rosemary bahwa ia akan dilamar oleh seorang pangeran. Air mata mulai menetes di pipi Rosemary. Tapi, air matanya bukan lagi air mata kesedihan tetapi air mata kebahagiaan.

Dengan penuh keyakinan, Rosemary menjawab,”Ya, aku bersedia.” Jawaban Rosemary itu disambut gembira oleh para pengawal Pangeran Andrew. Bukan hanya mereka, para pengunjung yang sejak tadi berkerumun pun bersorak gembira ketika Rosemary memutuskan untuk menikah dengan Pangeran Andrew. Tapi, yang paling senang tentulah Pangeran Andrew. Ia mencium tangan Rosemary dan segera bangun, lalu memeluk Rosemary yang menangis haru.

Pangeran Andrew menggandeng tangan Rosemary untuk mengajaknya pergi meninggalkan pasar tersebut. Tiba-tiba terdengar suara yang menghentikan langkah mereka,“Rosemary, tunggu sebentar. Kami ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Suara tersebut berasal dari gadis-gadis penjual bunga yang selama ini sering mengejek Rosemary.
“Rosemary, kami telah bersalah kepadamu. Kami sering mengejek dan mengolok-olokmu selama ini. Kami berharap engkau mau mengampuni kami,”seru seorang di antara mereka dengan suara gemetar.
Sementara teman-temannya, gadis-gadis penjual bunga yang lain, menunduk dan tidak berani memandang wajah Rosemary. Rupanya mereka merasa bersalah karena pernah menyakiti Rosemary. Mereka juga takut kalau-kalau Rosemary akan membalas perbuatan mereka setelah menikah dengan Pangeran Andrew nanti.
Mendengar kata-kata itu, Rosemary tersenyum penuh kasih dan berkata pada gadis-gadis penjual bunga itu,“Sahabat-sahabatku, aku tidak pernah membenci ataupun berniat membalas apa yang pernah kalian lakukan kepadaku. Aku sudah mengampuni kalian dan tidak pernah mengingat-ingat apa yang sudah lalu. Untuk membuktikan bahwa aku sudah mengampuni kalian semua, aku memohon agar kalian membantu persiapan pesta pernikahanku nanti.” Pangeran Andrew menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang dikatakan Rosemary.
“Tentu…tentu kami bersedia,”jawab mereka serempak. Gadis-gadis penjual bunga itu merasa lega karena Rosemary sudah mengampuni mereka.

Tidak menunggu waktu yang lama, Pangeran Andrew dan Rosemary menikah di istana dengan disaksikan ribuan rakyat negeri itu. Pernikahan tersebut dibarengi pula dengan penobatan Pangeran Andrew sebagai raja baru di negeri itu, menggantikan ayahandanya yang sudah berusia lanjut, dan tentu saja Rosemary sebagai permaisurinya. Semua orang di negeri itu, baik tua maupun muda, larut dalam kegembiraan. Tidak terkecuali Bibi Matilda yang turut dibawa Rosemary untuk tinggal bersamanya di istana kerajaan.


“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”
(Roma 8:28)


Tidak ada komentar: