Sabtu, 09 Mei 2009

Pemburu Rajawali


Pagi itu, terdengar suara tangisan bayi yang cukup keras di tengah-tengah perkampungan suku Kawani. Suku Kawani adalah salah satu suku terbesar yang hidup di pedalaman hutan Afrika. Rupanya, suara tangisan bayi yang terdengar pagi itu adalah tangisan dari anak kepala suku Kawani yang baru lahir.
“Suamiku, lihat! Anak yang lahir bagi kita ternyata kembar” ,kata istri kepala suku dengan perasaan senang. “Betul, istriku! Akhirnya, kita memiliki anak laki-laki!” ,seru kepala suku dengan girang. Anak yang lahir bagi kepala suku tersebut ternyata kembar dan kedua-duanya berjenis kelamin laki-laki. Selama beberapa tahun, kepala suku tersebut menantikan kehadiran anak laki-laki.
“Kita harus bersyukur karena kita diberikan dua orang anak laki-laki. Tetapi, kelak aku harus memilih salah seorang di antara mereka untuk menggantikan kedudukanku sebagai kepala suku. Semoga Tuhan memberikan aku hikmat untuk dapat memilih seorang yang terbaik di antara mereka” ,kata si kepala suku dengan mata menerawang jauh.
Anak laki-laki yang lahir terlebih dahulu diberi nama Manu, sedangkan anak yang lahir kemudian diberi nama Kiara. Kedua anak laki-laki dari kepala suku tersebut semakin bertambah besar. Meskipun keduanya adalah anak kembar, namun sifat mereka sangat berlawanan. Manu bersifat kasar dan suka menyakiti teman-temannya, tidak terkecuali adiknya sendiri, yaitu Kiara. Tidak ada seorang anak pun seusia dirinya di kampung itu yang berani terhadapnya. Maklum, tubuh Manu lebih besar dan kuat dibandingkan anak-anak sebayanya. Oleh sebab itu, selain suka berlaku kasar, Manu pun adalah anak yang sombong.
Kiara sangat berbeda bentuk tubuh maupun sifat dengan Manu. Ia memiliki tubuh yang kurus, tetapi ia tidak kasar dan sombong seperti kakaknya, Manu. Kiara sangat lembut dan ia tidak pernah menyakiti atau melukai perasaan teman-temannya. Tidak heran jika Kiara lebih memiliki banyak teman dibandingkan Manu. Meskipun Kiara tahu bahwa dirinya adalah anak kepala suku, tetapi ia sadar bahwa ia tidak boleh berlaku semena-mena terhadap orang lain. Sifat yang dimiliki oleh Manu dan Kiara terus terbawa sampai mereka tumbuh menjadi dua orang pemuda yang dewasa.
Ada peraturan tak tertulis yang berlaku turun-temurun di mana seorang anak kepala suku diwajibkan untuk bisa berburu binatang. “Manu…Kiara…cepat ambil busur dan tabung anak panah kalian masing-masing” ,teriak sang ayah kepada Manu dan Kiara. “Baik ayah” ,jawab mereka berdua dengan serempak. “Hari ini ayah akan mengajak kita berburu binatang. Lebih baik kamu tidak usah ikut karena kamu tidak pandai memanah, ha…ha…ha…” ,ejek Manu pada adiknya Kiara.
Memang betul jika Kiara tidak pandai memanah. Tubuhnya yang kurus dan kurang bertenaga menyebabkan ia tidak dapat menarik tali busur dengan cukup kuat. Seringkali tangannya gemetaran ketika menarik tali busur karena tenaga yang dikeluarkannya kurang kuat. Tidak heran jika anak panah yang dilepaskan dari busur pun tidak pernah mengenai sasaran. Lain halnya dengan Manu, kakaknya. Tubuh Manu cukup besar, berotot, dan memiliki tenaga yang cukup kuat untuk menarik tali busur serta mengarahkannya dengan tepat pada sasaran. Oleh karena itu, setiap kali sang ayah mengajak berburu, Manu pasti mendapatkan binatang buruan, entah itu kelinci, rusa, ataupun babi hutan. Tetapi adiknya, Kiara, tidak pernah membawa pulang satu binatang buruan pun.
Mendengar ejekan kakaknya, Kiara hanya diam saja. Dalam hatinya ia berkata, “Aku memang tidak pandai berburu. Tetapi, aku akan ikut berburu untuk menaati perintah ayah.” Kiara menaiki seekor kuda dan mengikuti ayah serta kakaknya dari belakang.
Mereka bertiga menunggangi kuda dan menuju hutan yang ada di daerah pegunungan. Di tengah jalan, seekor babi hutan tiba-tiba melintas di depan mereka. Segera sang ayah berkata, “Ayo segera kejar babi hutan itu. Kalian harus mendapatkannya.”
Manu dan Kiara segera memacu kudanya untuk mendapatkan babi hutan tersebut. Pada waktu jarak dengan babi hutan itu semakin dekat, Kiara mengambil busur dan sebuah anak panah dari tabung yang disandangnya. Ia mencoba menarik tali busur. Tetapi, seperti biasa tenaga yang dikeluarkannya tidak mampu menarik tali busur dengan cukup kuat sehingga lengannya gemetaran. Ketika anak panah itu dilepaskan arahnya pun tidak tepat dan melenceng jauh dari sasaran. Anak panah itu hanya menancap di batang pohon. Akan tetapi, Manu yang berada tidak jauh di belakang Kiara segera menarik tali busurnya dengan kuat dan melepaskan anak panah yang telah disiapkannya “Wuuusss…jleb! Nguuuikk…!”
Anak panah yang melesat dari busur Manu tepat mengenai perut babi hutan itu. Babi hutan tersebut mengerang kesakitan, tapi tak lama kemudian mati kehabisan darah. Manu berteriak kegirangan sementara wajah Kiara terlihat tertunduk. Ia sangat menyesal karena anak panahnya tidak berhasil mengenai babi hutan tersebut. Manu yang melihat wajah adiknya kembali tertawa sambil mengejek, “ha…ha…ha…Sudah kubilang, kamu bukanlah seorang pemburu. Lebih baik kamu tinggal di rumah saja membantu ibu memasak…ha…ha…ha....” Hati Kiara merasa sangat sedih karena ucapan kakaknya itu. Meski demikian, ia tidak mau membalas ejekan kakaknya karena pada dasarnya ia memiliki sifat lemah lembut dan bukan pendendam.
Manu segera memanggul babi hutan yang sudah mati itu di atas bahunya, kemudian menaikkannya ke atas punggung kuda. Mereka pun kembali menemui sang ayah yang tak jauh menunggu dari situ. Ketika sang ayah melihat kedua anaknya sudah kembali, ia pun segera berteriak dari jauh, “Bagaimana anakku? Apakah kalian mendapatkannya?” “Aku mendapatkannya, Yah!” ,jawab Manu dengan penuh semangat. Sementara itu, Kiara mendekati ayahnya masih dengan wajah tertunduk. Melihat wajah Kiara yang murung, sang ayah bertanya, “Mengapa mukamu murung dan terlihat sedih anakku?” Belum sempat Kiara menjawab, Manu sudah menyela, “Dia sedih karena aku selalu berhasil dalam berburu, Yah. Dia memang tidak pandai berburu. Lihat saja tampangnya, tidak terlihat tampang seorang pemburu. Lebih cocok sebagai juru masak…ha…ha…ha...” Kembali Manu mengejek sang adik di depan ayahnya. “Sudah, diam. Tidak usah diteruskan lagi. Ayo kita pulang” ,seru sang ayah kepada Manu dengan wajah agak marah. Manu pun terdiam. Ia tidak berani membantah ayahnya. Mereka bertiga kemudian pulang ke rumah dengan membawa hasil buruan berupa seekor babi hutan.
Malam harinya, bulan purnama bersinar terang dengan ditemani bintang-bintang yang berkilau dengan indahnya. Kiara yang tidak dapat tidur, membuka jendela kamarnya lalu pandangan matanya diarahkan ke arah bulan purnama yang bersinar terang di langit malam. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam. Rupanya, ia sedang memikirkan sesuatu. Ia bertanya di dalam hatinya, “Apakah aku dapat menggantikan ayah menjadi kepala suku suatu hari nanti? Aku tidak pandai berburu. Mungkin, kakakku Manu-lah yang cocok menggantikan ayah sebagai pemimpin suku ini.”
“Apa yang sedang kamu pikirkan Kiara?” ,tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing bagi Kiara. Ternyata suara itu adalah suara ayahnya sendiri. “Mmmm…tidak…aku tidak memikirkan apa-apa ayah” ,jawab Kiara sambil mengelak. Sambil tersenyum, sang ayah berkata, “Jangan berbohong Kiara. Ayah tahu kamu sedang memikirkan peristiwa tadi siang bukan?” Kiara tidak bisa mengelak lagi. Ia pun menjawab, “Benar ayah. Aku sedang memikirkan peristiwa tadi siang.” Setelah terdiam agak lama, Kiara berkata lagi, “Ayah, aku ingin bertanya sesuatu.” “Silakan, nak” ,jawab sang ayah. “Ayah, menurut ayah, apakah aku ini punya kesempatan untuk menggantikan ayah sebagai kepala suku suatu hari nanti?” Sang ayah merasa keheranan dan kemudian balik bertanya, “Mengapa kamu bertanya seperti itu, anakku?” “Begini , Yah” ,jawab Kiara, “Ayah tahu bahwa syarat yang harus kupenuhi untuk menjadi seorang kepala suku adalah aku harus pandai berburu. Aku merasa bahwa aku tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk menjadi kepala suku karena aku tidak pandai berburu. Tanganku tidak cukup kuat untuk merentang tali busur dan melepaskan anak panah ke arah yang tepat.”
Sambil tersenyum, sang ayah menjawab, “Anakku, Kiara. Ayah tahu bahwa tubuh dan tenagamu tidak sebesar serta sekuat kakakmu, Manu. Tetapi, bukan berarti kamu tidak dapat menjadi seorang pemburu yang hebat. Kamu dapat menggunakan akalmu untuk menangkap binatang buruan. Kalau kamu dapat menggunakan akalmu dengan baik, bukan mustahil kamu dapat menjadi pemburu yang hebat seperti kakakmu dan berhak untuk menjadi kepala suku menggantikan ayah. Minggu depan, ayah akan memberikan kepada kalian berdua suatu ujian. Yang berhasil dalam ujian tersebut akan menggantikan ayah sebagai kepala suku.” Setelah berkata demikian, sang ayah pun meninggalkan Kiara seorang diri di dalam kamarnya.
Kiara memikirkan kata-kata ayahnya tadi. Dalam hatinya, ia merasa senang karena masih ada harapan untuk dapat menjadi kepala suku menggantikan ayahnya. Tetapi, ia pun merasa bingung bagaimana caranya berburu binatang dengan menggunakan akal.
Satu minggu berlalu dengan cepat. Sekarang tibalah saatnya bagi kepala suku Kawani untuk memilih salah seorang anaknya agar dapat menjadi kepala suku yang baru menggantikan dirinya.
Pagi itu, Kepala suku Awani mengumpulkan segenap penduduk suku tersebut. “Wahai rakyatku yang tercinta” ,seru kepala suku, “Aku sudah puluhan tahun menjadi kepala suku dan menjadi pemimpin kalian. Sekarang aku sudah bertambah tua dan kekuatanku sudah jauh menurun. Oleh sebab itu, aku akan memilih salah seorang di antara kedua anakku untuk menggantikanku sebagai kepala suku.” Penduduk suku tersebut saling berbisik satu dengan yang lain “Siapa kira-kira yang akan terpilih, Manu atau Kiara?” Mendengar bisik-bisik di antara rakyatnya, kepala suku itu berkata lagi, “Dengar kalian semua. Aku akan memberikan suatu ujian kepada kedua anakku ini. Dari zaman nenek moyang kita, seorang kepala suku haruslah pandai berburu. Oleh sebab itu, aku akan memberikan ujian kepada mereka berupa tugas untuk berburu binatang.”
Mendengar kata-kata ayahnya, Manu tersenyum girang. Ia berkata
dalam hatinya, “Sudah tentu akulah yang akan menjadi kepala suku menggantikan ayah.” Sang kepala suku kemudian berkata kepada kedua anaknya, “Kalian berdua diharuskan untuk berburu seekor burung rajawali.” “Apa? berburu rajawali?” ,teriak Manu keheranan. Sementara itu, Kiara diam tak bersuara. Penduduk suku itu pun heran karena baru kali ini mereka mendengar tentang berburu rajawali. Baik Manu maupun Kiara, mereka berdua tidak pernah berburu burung rajawali sebelumnya. “dan ingat” ,seru kepala suku, “kalian harus membawa burung rajawali itu hidup-hidup kepadaku dalam waktu paling lama 7 hari. Apakah kalian berdua sanggup?” Manu dan Kiara menjawab, “Sanggup ayah.” Mereka menjawab dengan satu pertanyaan di kepala mereka, yaitu bagaimana caranya menangkap seekor burung rajawali.
Akhirnya Manu dan Kiara berangkat berburu dengan peralatannya masing-masing. Di tengah perjalanan, Manu mencoba menakut-nakuti adiknya dengan berkata, “Hai Kiara, ujian ini terlalu berat dan berbahaya bagimu. Lebih baik kamu menyerah saja. Sudah pasti akulah yang akan berhasil menggantikan ayah menjadi kepala suku. Lagipula, kamu kan tidak pandai berburu ha…ha…ha…” Manu tertawa dengan penuh kesombongan. Kiara yang selama selalu diam mendengar ejekan kakaknya, sekarang mulai bersuara. Ia berkata kepada Manu, “Kak, aku tahu kalau selama ini kakak lebih pandai berburu dari pada aku. Tetapi aku akan membuktikan bahwa aku pun seorang pemburu yang hebat.” Manu menjawab dengan nada mengejek, “Oh ya. Dengan apa kamu akan membuktikannya, adikku?” “Dengan akal dan hikmat yang aku miliki.” Seru Kiara mantap dengan telunjuk yang menunjuk kepalanya. “Baiklah” ,seru Manu, “Kita buktikan, siapakah di antara kita yang pantas disebut sebagai pemburu terbaik.” Setelah berkata demikian, Manu dan Kiara berpisah di persimpangan jalan. Mereka mengambil jalan masing-masing untuk berburu seekor burung rajawali. Tugas yang sangat sulit, tetapi Manu dan Kiara bersemangat untuk menjalaninya.
Setiap hari, sang kepala suku beserta rakyatnya menanti dengan rasa ingin tahu, siapakah yang akan lulus dalam ujian dan menjadi kepala suku, Manu ataukah Kiara? Rasa ingin tahu mereka pun akhirnya terjawab. Tepat di hari yang ketujuh setelah Manu dan Kiara pergi berburu, seorang penjaga kampung yang ada di atas pohon berteriak, “Ada yang datang…ada yang datang…” Kepala suku yang diberitahu segera berlari ke pintu masuk perkampungan Suku Kawani. Di sana penduduk Suku Kawani sudah bayak yang berkumpul. Kepala suku dan rakyatnya melihat dari kejauhan ada seseorang laki-laki muda yang datang mendekati kampung. Ketika jarak orang itu semakin dekat, kepala suku dan rakyatnya dapat melihat dengan jelas bahwa yang datang tersebut adalah Manu. Tampak Manu berjalan perlahan menghampiri ayahnya dengan wajah letih, pakaian yang lusuh dan bekas luka di kedua tangannya. Dari barang yang dibawanya, tidak terlihat kalau ia membawa burung rajawali.
Kepala suku bertanya kepada anaknya itu, “Bagaimana keadaanmu Manu? Baik-baik saja? Apakah kamu berhasil menangkap seekor rajawali untuk ayah?” Sambil menunduk Manu berkata, “Tidak, Yah. Aku gagal menangkap burung rajawali.” Sang kepala suku dan orang-orang yang ada di situ pun terdiam semuanya. Tidak berapa lama kemudian, kepala suku berkata kepada Manu dengan nada menghibur, “Sudah, tidak perlu bersedih hati, Manu. Yang penting kamu pulang dengan selamat, ayah sudah bersyukur.” “Tapi, mengapa ada bekas luka di kedua lenganmu?” ,tanya kepala suku lagi. Manu menjawab, “Begini, Yah. Aku berpisah dengan Kiara di persimpangan jalan. Kemudian, aku pergi ke atas bukit batu di pegunungan. Aku pikir begitu karena rajawali suka membuat sarang di tempat yang tinggi. Ketika aku sampai di puncak sebuah bukit batu, aku melihat seekor induk burung rajawali yang besar dengan kedua anaknya yang baru lahir. Karena ayah meminta untuk membawa burung rajawali hidup-hidup, maka aku tidak menggunakan panah untuk menangkapnya. Aku berjalan perlahan-lahan dari belakang untuk menangkap burung rajawali itu dengan tangan. Tetapi, rupanya induk rajawali itu tahu dan mungkin untuk melindungi anak serta sarangnya, ia menyerang aku sampai aku tergelincir dan hampir jatuh ke dalam jurang. Beruntung kedua tanganku masih sempat memegang bebatuan di pinggir bukit sehingga aku selamat, meskipun kedua tanganku terluka karena tergores dinding batu. Setelah itu, aku juga menemukan seekor burung rajawali yang sedang bertengger di atas sebuah pohon. Aku memanjat pohon itu dengan diam-diam dan setelah mendekati rajawali itu, aku menyiapkan tali untuk menjeratnya. Tapi, lagi-lagi burung rajawali itu mengetahui kedatanganku dan kemudian terbang tinggi. Setelah itu, aku tidak pernah menemukan lagi seekor pun burung rajawali. Akhirnya aku pulang tanpa membawa burung rajawali untuk ayah.”
Baru saja Manu selesai bercerita kepada ayahnya, tiba-tiba penjaga kampung dari atas pohon berteriak kembali, “Ada yang datang…ada yang datang…” Semua mata pun memandang ke kejauhan. Tampak oleh mereka semua dari kejauhan, seorang laki-laki muda berjalan mendekati kampung. Sang kepala suku dan penduduk kampong menanti dengan hati berdebar-debar. Mungkinkah yang datang itu adalah Kiara? Berhasilkah Kiara membawa pulang seekor burung rajawali? Ketika laki-laki muda itu berada semakin dekat dengan kampung, tiba-tiba ia berteriak, “Ayah...ini aku Kiara, anakmu. Aku telah kembali, Yah.” Mendengar kata-kata tersebut, kepala suku, Manu, dan penduduk kampung itu yakin bahwa orang yang datang itu adalah Kiara, adik dari Manu. Mereka segera berlari menghampiri Kiara.
“Ayah aku telah berhasil dalam ujian yang ayah berikan. Lihat ini...” ,seru Kiara menunjuk kepada sangkar yang dibawanya. Sangkar tersebut tertutup oleh kain berwarna hitam. Ketika sang ayah membuka kain penutup sangkar tersebut, terkejutlah ia. Dalam sangkar tersebut nampak oleh sang kepala suku dan orang-orang kampung yang hadir, seekor rajawali muda dengan bulu coklat keemasan. Sorot matanya yang tajam membuat rajawali tersebut terlihat semakin gagah. “Ha...ha...ha...ha....Akhirnya, aku menemukan seorang yang tepat untuk menggantikanku sebagai kepala suku ini” ,teriak kepala suku dengan kegirangan. Penduduk kampung itu pun ikut bergembira. Mereka mengelu-elukan Kiara sambil bersorak, “Hidup Kiara...Hidup kepala suku kita yang baru...” Hari itu, penduduk suku Kawani keluar dari rumahnya, baik anak-anak hingga orang tua, untuk menyambut kepala suku mereka yang baru.
Setelah sorak-sorai penduduk mereda, Sang kepala suku yang lama bertanya kepada Kiara, yang tak lain adalah anaknya sendiri. “Kiara anakku, coba ceritakan di depan ayah dan juga penduduk suku ini, bagaimana engkau dapat menangkap rajawali tersebut. Bukankah selama ini engkau tidak pandai berburu seperti kakakmu, Manu?” sahut kepala suku. “Keberhasilanku ini berkat pertolongan ayah juga” ,sahut Kiara. “Oh, ya...” ,seru ayahnya dengan wajah kebingungan. Kiara melanjutkan kata-katanya, “Begini yah. Bukankah ayah sendiri yang berkata bahwa aku harus menggunakan akalku untuk berburu. Aku melakukan seperti yang ayah katakan. Ketika aku berhenti di tepi sungai untuk beristirahat, aku melihat seekor rajawali terbang tinggi di atas kepalaku. Aku berpikir keras bagaimana aku bisa menangkap rajawali itu. Lalu, terpikirkan olehku sebuah cara. Aku memancing seekor ikan di sungai tersebut. Ikan yang aku dapat kemudian kuletakkan di atas sebuah batu besar di pinggir sungai. Sementara, aku sendiri bersembunyi di balik pohon, untuk melihat apa yang terjadi. Aku berharap rajawali itu melihat umpan ikan yang aku letakkan dan memakannya. Ternyata, harapanku terkabul. Rajawali tersebut turun dari ketinggian dan hinggap di atas batu. Awalnya, mata rajawali tersebut memandang sekeliling penuh rasa curiga. Tetapi, kemudian rajawali itu memakan ikan tersebut. “ “Lalu, ketika rajawali tersebut makan, engkau langsung keluar dan menangkap rajawali tersebut?” ,tanya ayahnya penuh rasa ingin tahu. Kiara menjawab, “Tentu tidak yah. Setelah puas makan ikan, rajawali itu kubiarkan terbang kembali ke udara dan aku melakukan hal yang sama selama 4 hari. Aku memperhatikan bahwa rajawali tersebut semakin berkurang rasa curiganya melihat ikan yang ada di atas batu setiap hari. Baru pada hari yang kelima, aku menaruh jaring tepat di atas rajawali itu biasa memakan ikan, sementara seekor ikan tetap diletakkan di atas batu tersebut. Seperti biasa, rajawali itu datang untuk memakan ikan tersebut. Mulanya, rajawali itu agak curiga melihat jaring yang sebelumnya tidak ada di tempat itu. Namun, karena dilihatnya tidak ada orang di sekitar tempat itu, akhirnya ia pun memakan ikan tersebut tanpa rasa curiga. Ketika rajawali itu sedang asyik memakan ikan, dengan cepat aku menarik tali yang terhubung dengan jaring tersebut. Rajawali itu kaget dan berusaha untuk terbang, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melepaskan diri dari jaring yang telah melilit tubuhnya. Akhirnya, aku pun menangkap rajawali tersebut dan memasukkannya ke dalam sangkar.”
Selesai bercerita, sang ayah berkata kepada Kiara, “Engkau memang anakku yang hebat. Ayah bangga karena engkau memiliki hikmat yang luar biasa. Engkau memang pantas menggantikan ayah sebagai pemimpin yang bijaksana.” Sambil memandang wajah Manu, anaknya yang pertama, kepala suku itu berkata, “Anakku, Manu, engkau harus belajar kepada adikmu, Kiara. Ayah tahu, bahwa kemampuan berburumu sangat hebat. Tetapi engkau lupa, bahwa dalam berburu bukan hanya kekuatan otot saja yang dibutuhkan tetapi juga hikmat dan akal budimu. Sama halnya juga dengan memimpin orang-orang suku ini. Seorang kepala suku harus memiliki hikmat untuk dapat menjadi pemimpin yang bijaksana dan dicintai oleh rakyatnya.” Manu mendengarkan kata-kata ayahnya dengan wajah tertunduk. Sang ayah kemudian berkata lagi, “Manu, meskipun engkau telah gagal dalam ujian, janganlah bersedih hati. Ayah tetap memberikan kedudukan kepadamu sebagai wakil kepala suku. Dengan begitu, engkau bisa membantu adikmu untuk memimpin suku Kawani dengan baik.” Manu yang mendengar kata-kata ayahnya terkejut dan ia pun berkata kepada ayahnya dengan wajah gembira, “Terima kasih ayah. Mulai saat ini aku tidak akan menyombongkan diri lagi. Aku akan belajar untuk menggunakan hikmat dan bukan kekuatanku saja. Aku berjanji untuk membantu Kiara dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala suku Kawani ini.”
Manu mendekati Kiara dan memeluknya dengan penuh kasih. “Maafkan aku Kiara. Aku telah bersalah padamu” ,seru Manu sambil menangis terisak-isak. Kiara pun menangis haru dan menjawab, “Tidak apa-apa kakakku. Aku telah memaafkanmu dan aku tidak pernah membencimu. Engkau adalah kakakku yang terbaik. Sekarang, mari kita bersama-sama memimpin penduduk suku ini.” Demikianlah, akhirnya Kiara diangkat sebagai kepala suku dalam sebuah upacara pengangkatan sedangkan Manu mendampinginya sebagai wakil kepala suku. Semua penduduk suku Kawani bersukacita karena seorang kepala suku baru yang penuh hikmat dan kebijaksanaan telah terpilih untuk memimpin mereka semua.


THE END

Tidak ada komentar: